[RESPECT: “Fenomena Konten ‘Marriage is Scary’ di TikTok: Analisis Persepsi dan Dampaknya terhadap Generasi Muda”]



“Fenomena Konten ‘Marriage is Scary’ di TikTok: Analisis Persepsi dan Dampaknya terhadap Generasi Muda”

Dalam beberapa tahun terakhir, TikTok telah menjadi salah satu platform media sosial yang paling populer di kalangan generasi muda. Salah satu konten yang menarik perhatian belakangan ini adalah konten terkait tema pernikahan yang sering kali dibahas dalam konteks yang humoris namun kritis, dengan judul “Marriage Is Scary”. Konten ini cenderung menyoroti berbagai aspek negatif atau tantangan yang dihadapi dalam pernikahan pengguna akun media sosial tersebut, dari kekhawatiran akan komitmen jangka panjang hingga peran gender dalam rumah tangga.

Mini riset ini kami hadirkan dengan tujuan untuk menganalisis persepsi pengguna TikTok terhadap tema "Marriage is Scary" melalui hasil survei, serta melihat bagaimana konten tersebut memengaruhi pandangan generasi muda khususnya mahasiswa Sosiologi FISIP UNSOED terhadap pernikahan. Dari 13 pertanyaan yang kami tanyakan, berikut adalah hasil servei tersebut: 

  1. Persebaran responden

Survei dilakukan dengan menggunakan metode voluntary sampling yang diisi oleh 75 responden mahasiswa Sosiologi FISIP Unsoed dari lintas angkatan 2020-2024. Berdasarkan hasil survei, diketahui mayoritas atau sebanyak 25 responden adalah mahasiswa Sosiologi angkatan 2023.

  1. Bayangan responden tentang kata “menikah”

Dari 75 responden yang merupakan mahasiswa Sosiologi FISIP Unsoed sebanyak 49,3%  reponden atau sebanyak 37 responden memilih keduanya, yang berarti membayangkan bahwa menikah adalah masa depan yang menyenangkan juga sesuatu yang menakutkan. Sementara sebanyak 33,3% responden atau sebanyak 25 responden membayangkan bahwa menikah adalah masa depan yang menyenangkan. Dan sisanya yaitu sebanyak 13 responden membayangkan bahwa menikah adalah sesuatu yang menakutkan.

  1. Pemikiran responden untuk tidak menikah

Mayoritas responden yaitu sebanyak 65,3% atau sebanyak 49 responden pernah berpikiran untuk tidak menikah. Kemudian sebanyak 34.7% responden atau sebanyak 26 responden tidak pernah memiliki pikiran untuk tidak menikah.

  1. Perasaan cemas dan takut responden saat memikirkan pernikahan di masa depan

Sebanyak 62,7% responden atau sebanyak 47 responden memiliki rasa cemas ketika memikirkan pernikahan di masa depan. Sedangkan 21,3% responden atau 16 responden tidak memiliki kecemasan ketika memikirkan pernikahan di masa depan, berbeda dengan 16% responden lainnya atau 12 responden justru sangat cemas ketika memikirkan pernikahan di masa depan.

  1. Pengaruh trend “Marriage is scary” di TikTok terhadap rasa takut responden akan pernikahan di masa depan

56% responden atau sebanyak 42 responden menjawab mungkin yang berarti trend tersebut dapat berpengaruh ataupun tidak terhadap ketakutan untuk menikah di masa depan. Kemudian sebanyak 28% responden atau 21 responden terpengaruh terhadap konten dan merasa takut untuk menikah. Berbeda dengan 16% responden lainnya atau 12 responden yang tidak terpengaruh dan tidak takut akan pernikahan di masa depan.

  1. Adanya tekanan dari lingkungan sosial untuk menikah di usia tertentu


66,5% responden atau sebanyak 50 responden menjawab tidak merasa tekanan sama sekali,30,7% atau 23 responden menjawab sedikit merasa tertekan,sedangkan 2,7% atau 2 responden menjawab merasa tertekan.Pada pertanyaan ini dapat disimpulkan bahwa sebanyak 75 responden sebagian besar merasa tidak ada tekanan sama sekali dari lingkungan sosial untuk menikah di usia tertentu.


  1. Faktor utama yang paling menakutkan tentang pernikahan


Berdasarkan hasil survei, mayoritas responden mempertimbangkan berbagai faktor utama yang paling menakutkan tentang pernikahan. Sebanyak 60% atau 45 respondenmenjawab bahwa faktor perselingkuhan adalah hal yang ditakuti. Selain itu, 54,6% atau 41 responden juga memperhatikan tanggung jawab finansial calon pasangan sebagai salah satu faktor. Faktor takut akan perceraian juga ditakutkan 44% atau 33 responden. Sedangkan sisanya sebanyak 27 responden takut akan komitmen jangka panjang dengan pasangannya dan 5 responden takut akan adanya kekerasan dalam rumah tangga. 


  1. Isu perselingkuhan maupun KDRT yang ada pada media sosial merupakan salah satu faktor yang membuat takut untuk menikah


80% responden atau 60 responden menjawab iya, yang berarti sebagian besar responden merasa takut menikah karena adanya isu kdrt yang ada pada media sosial sedangkan sisanya yaitu 30% atau 15 responden menjawab tidak 


  1. Pengaruh pengalaman pernikahan orang di sekitar terhadap perasaan tentang pernikahan


sebanyak 50,7% atau 38 responden menjawab bahwa pengalaman pernikahan orang lain di sekitarnya memiliki pengaruh sangat besar terhadap perasaan tentang pernikahan serta 32 responden lainnya merasa sedikit terpengaruh. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan dan perasaan mereka terhadap pernikahan sering kali dipengaruhi oleh pengalaman yang mereka saksikan dari orang-orang terdekat, seperti keluarga atau teman. Pengalaman ini bisa membentuk harapan, kekhawatiran, atau perspektif pribadi terhadap pernikahan. 


  1. Hal yang bisa membantu mengurangi rasa takut terkait pernikahan?

 

Berdasarkan survei yang dilakukan, terdapat beberapa faktor yang dianggap dapat membantu mengurangi rasa takut terkait pernikahan. Sebagian responden menjawab bahwa pemahaman lebih lanjut tentang pernikahan dapat membantu mengurangi rasa takut yaitu sebanyak 60% atau 45 responden. Kemudian, sebanyak 58,7% atau 44 responden lainnya menjawab bahwa konseling atau bimbingan pra-nikah juga dapat membantu mengurangi rasa takut,  50,7% atau 38 responden menjawab pengalaman lebih dalam menjalin hubungan, 49,3% atau 37 menjawab dukungan keluarga atau teman dapat membantu mengurangi rasa takut dan sisanya menjawab bahwa pasangan yang sudah siap dan yakin untuk diajak kerjasama, kesiapan diri sendiri, dan ilmu agama yang sudah matang dapat membantu mengurangi rasa takut terhadap pernikahan. Hal ini menunjukkan bahwa ketakutan terhadap pernikahan bisa diatasi dengan berbagai pendekatan yang berbeda, tergantung pada kebutuhan dan preferensi setiap individu.


  1. Hal yang menjadi pertimbangan untuk memilih pasangan?


Berdasarkan hasil survei, mayoritas responden mempertimbangkan berbagai faktor dalam memilih pasangan untuk pernikahan. Sebanyak 92% atau 69 responden menempatkan sifat dan sikap pasangan sebagai pertimbangan terpenting. Selain itu, 73,3% atau 55 responden juga memperhatikan kemampuan finansial calon pasangan sebagai faktor yang signifikan. Sebanyak 60% atau 45 responden memilih kesamaan pemikiran sebagai elemen penting dalam hubungan. Restu keluarga juga menjadi faktor yang dipertimbangkan oleh 52% atau 39 responden, sedangkan sisanya menekankan pentingnya akhlak dan pengetahuan agama yang baik saat memilih pasangan. Hal ini menjelaskan bahwa dalam memilih pasangan untuk pernikahan, mayoritas orang cenderung mengutamakan aspek sifat dan sikap pasangan, menunjukkan pentingnya kepribadian dalam membangun hubungan yang harmonis. Faktor lain juga menjadi pertimbangan penting dalam menjaga keharmonisan pernikahan.


  1. Hal yang penting untuk dibahas atau disepakati dengan pasangan sebelum memutuskan untuk menikah


Berdasarkan hasil survei, terdapat beberapa aspek penting yang perlu dibahas dan disepakati dengan pasangan sebelum memutuskan untuk menikah. Para responden menekankan beberapa hal seperti Konsekuensi atas perilaku pasangan dengan memahami dan menyepakati dampak dari perilaku masing-masing pasangan untuk mencegah konflik di kemudian hari, membahas tanggung jawab dalam berbagai aspek kehidupan rumah tangga, membahas bagaimana keuangan atau finansial akan dikelola bersama, termasuk anggaran, tabungan, dan pengeluaran, menilai kesiapan dari segi kesehatan fisik dan mental untuk menghadapi kehidupan pernikahan, menyepakati tingkat komitmen yang diharapkan dari masing-masing pasangan dalam hubungan, menyusun perjanjian pra-nikah untuk mengatur berbagai aspek kehidupan rumah tangga, menentukan bagaimana pembagian tugas dan waktu dalam rumah tangga agar seimbang, mendiskusikan rencana jangka panjang termasuk karier, tempat tinggal, dan tujuan hidup bersama, membahas jumlah anak yang diinginkan, pola asuh, dan tanggung jawab terkait anak, memastikan bahwa tujuan hidup dan pemahaman tentang pernikahan selaras antara pasangan, menentukan metode komunikasi yang efektif dan cara menyelesaikan masalah, menyepakati prinsip dan nilai-nilai yang akan dijadikan pedoman dalam kehidupan bersama, menilai kesiapan masing-masing pasangan dalam menghadapi tantangan pernikahan, membahas pengetahuan dan praktik agama yang dipegang oleh masing-masing pasangan, serta mengatur bagaimana hubungan dengan keluarga besar akan dikelola untuk menghindari konflik.


  1. Aspek terpenting dalam membangun pernikahan yang sehat dan bahagia


Berdasarkan hasil survei, beberapa aspek dianggap penting oleh responden dalam membangun pernikahan yang sehat dan bahagia. Aspek-aspek tersebut meliputi kemampuan komunikasi yang baik guna menyelesaikan masalah dan memperkuat hubungan pernikahan, memiliki komitmen terhadap satu sama lain, dapat saling memahami dan menghargai perasaan serta pandangan pasangan agar tercipta hubungan yang harmonis, dapat membangun dan menjaga kepercayaan kepada pasangan, memiliki kejujuran guna membantu menghindari konflik dan memperkuat hubungan, bersedia melakukan pengorbanan demi kebaikan bersama, memiliki kesiapan baik dalam aspek finansial maupun mental, membangun lingkungan yang positif guna membangun pernikahan yang sehat dan bahagia, memiliki kesetaraan dalam segala aspek, saling bekerjasama dan memiliki tujuan yang sama agar dapat menghadapi segala tantangan di masa depan serta dapat bergerak ke arah yang sama, memiliki kesetiaan untuk membangun kepercayaan dan keamanan pada pasangan, saling melindungi satu sama lain dari berbagai bahaya atau kesulitan menunjukkan kepedulian dan kasih sayang secara konsisten guna memperkuat ikatan emosional dan kebahagiaan bersama.


Teori  yang dibawakan

Dalam isu marriage is scary tersebut kita dapat menelaah melalui teori konstruktivisme sosial yang menekankan pada bagaimana persepsi responden tentang pernikahan dibentuk oleh beberapa faktor. Teori konstruktivisme sosial menekankan bahwa pengetahuan dan realitas sosial dibentuk melalui interaksi sosial dan komunikasi dalam suatu masyarakat. Jean Piaget seorang ahli perkembangan kognitif dari switzerland yang dikenal sebagai konstruktivis pertama berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses penemuan diri, yaitu suatu proses yang dialami seseorang dengan berinteraksi dan mengamati lingkungan. Piaget percaya bahwa seseorang belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Sementara, Vygotsky meyakini bahwa perkembangan kognitif seseorang merupakan hasil interaksinya dengan lingkungan dan masyarakat. Ia percaya bahwa aspek sosial dan budaya seseorang membantu membentuk perkembangan kognitifnya. Menurut konstruktivisme sosial, makna, keyakinan, dan sikap tentang pernikahan tidak bersifat alami atau tetap, tetapi terbentuk melalui pengalaman kolektif dan norma-norma sosial yang terus berkembang seperti budaya, media, dan interaksi dengan orang lain. Dengan kata lain, ketakutan terhadap pernikahan tidak semata-mata muncul dari dalam diri individu, melainkan juga karena pengaruh dari eksternal. Jika lingkungan sosial sering kali menekankan sisi negatif pernikahan seperti konflik atau perceraian maka persepsi bahwa pernikahan itu menakutkan semakin kuat. Dengan kata lain, rasa takut terhadap pernikahan merupakan hasil dari konstruksi sosial yang terus berkembang. Dengan adanya tren "marriage is scary" di TikTok mencerminkan proses pembentukan pemahaman dan makna sosial tentang pernikahan melalui interaksi antarindividu di dunia maya. Persepsi terhadap pernikahan, terutama ketakutan dan keraguannya, dibentuk oleh narasi kolektif yang diciptakan dan dibagikan oleh pengguna TikTok. Semakin banyak orang yang berpartisipasi dalam diskusi ini, semakin normal pula ketakutan terhadap pernikahan dianggap, memperlihatkan perubahan nilai-nilai sosial dan budaya terkait pandangan akan pernikahan di kalangan generasi muda. TikTok sebagai media sosial mempercepat penyebaran dan normalisasi isu ini, sehingga berperan penting dalam konstruksi makna pernikahan yang terus berkembang.


Kesimpulan

Hasil dari survei ini menunjukkan pandangan 75  mahasiswa Sosiologi FISIP Unsoed tentang pernikahan sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi hingga konten media sosial, seperti tren "Marriage is Scary" di TikTok. Sebagian besar responden membayangkan pernikahan sebagai hal yang menyenangkan sekaligus menakutkan, bahkan sebagian responden berpikiran untuk tidak menikah. Ketakutan mereka akan menikah mencakup banyak faktor seperti perselingkuhan, tanggung jawab finansial, dan perceraian. Isu-isu yang sering dibahas di media sosial, seperti kekerasan dalam rumah tangga, juga meningkatkan ketakutan mereka terhadap pernikahan.

Selain itu, mayoritas responden merasa adanya tekanan sosial untuk menikah pada usia tertentu, pengalaman orang-orang terdekat mereka berpengaruh signifikan terhadap pandangan mereka tentang pernikahan. Untuk mengatasi rasa takut tersebut, banyak responden merasa bahwa pemahaman lebih mendalam tentang pernikahan, konseling, serta dukungan keluarga dan pasangan dapat membantu mengurangi rasa takut. Dalam memilih pasangan, responden juga menekankan pentingnya sifat dan sikap, kemampuan finansial,  kesamaan pemikiran dari pasangannya hingga restu dari keluarga merupakan aspek yang penting. Adanya komunikasi, komitmen, saling memahami, serta kepercayaan menjadi kunci dalam membangun pernikahan yang sehat dan bahagia di masa depan.


Referensi

Hartanto, S. N. M. (2024). Marriage Is Scary Jadi Trending di Medsos, Apa Itu? Beritasatu.Com. https://www.beritasatu.com/ototekno/2835921/marriage-is-scary-jadi-trending-di-medsos-apa-itu

S., R. (2024). Tren Marriage is Scary, Ini 6 Faktornya Menurut Pakar Psikologi Umsida. Umsida.Ac.Id. https://umsida.ac.id/tren-marriage-is-scary-ini-kata-pakar-umsida/

Utami, I. G. L. P. (2016). Teori konstruktivisme dan teori sosiokultural: aplikasi dalam pengajaran bahasa inggris. Prasi, 11(01).




Komentar