Esai: Gender dan Problematika Dakwah: Subordinasi Perempuan dalam Dunia Dakwah

Gender dan Problematika Dakwah: Subordinasi Perempuan dalam Dunia Dakwah
Oleh: Zahratul Umami
 
Dewasa ini, isu gender semakin menuntut keadilan dalam struktur sosial serta budaya laki-laki dan perempuan. Hilary M. Lips dalam bukunya yang berjudul “Sex and Gender” mendefinisikan gender sebagai harapan budaya laki-laki dan perempuan (Hasanah, U, 2019). Perempuan dikenal lembut, cantik, penyayang dan teladan, sedangkan laki-laki dikenal kuat, rasional, dan maskulin. Sehubungan dengan konstruksi ini, diharapkan tercapai keseimbang fungsi, kondisi dan karakteristik antar jenis kelamin. Akan tetapi, ternyata konstruksi ini justru memunculkan permasalahan terkait ketidaksetaraan gender atau diskriminasi gender.

Dalam bidang sosial budaya, laki-laki selalu mendominasi karena dianggap lebih cocok untuk memenuhi peran di sektor publik. Anggapan patriarki di kalangan muslim ini juga dipengaruhi oleh interpretasi agama. Menurut (Nurani, S. 2015), ahli tafsir klasik mempertegas pemikiran yang mengakar pada konstruksi pola pikir dan budaya masyarakat. Misalnya, pada penafsiran ayat 1 surat An-Nisa, mayoritas penafsir klasik sepakat dalam menafsirkan kata Nafs sebagai Nabi Adam. Dikisahkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam. Hal tersebut membuat adanya anggapan bahwa perempuan adalah makhluk kedua sehingga harus tunduk kepada laki-laki.

Inilah yang membuat beberapa ormas ingin membawa perempuan kembali ke rumahnya dan seolah semakin meminggirkan mereka. Padahal salah satu bentuk Islam yang disebut ramatan lil 'alamin adalah umat Islam mengakui derajat perempuan sama dengan derajat laki-laki. Adapun ukuran kehormatan seorang laki-laki di hadapan Tuhan bukanlah jenis kelaminnya melainkan ketaqwaannya. Oleh karena itu, peningkatan peran perempuan dan laki-laki dalam dakwah dan pembangunan berwawasan gender sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, menjadi penting dalam upaya menciptakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

PEMBAHASAN

Islam dan globalisasi merupakan dua faktor yang selalu berkembang, sedangkan umat Islam sendiri merupakan bagian integral dari era globalisasi, sehingga hubungan keduanya berkembang dan saling mempengaruhi. Dengan muncul dan berkembangnya Islam moderat, status dan martabat perempuan dipulihkan sehingga mereka dapat memenuhi perintah Allah, yaitu menjalankan tugasnya untuk memajukan perkembangan umat Islam.

Situasi saat ini membutuhkan upaya serius untuk mengembangkan pedoman berdasarkan nilai-nilai Islam oleh otoritas terkait. Tujuannya untuk memberikan hak yang sama kepada perempuan dan membawa perdamaian, serta keadilan dalam masyarakat untuk semua orang sebagai hamba dan khalifah yang dikirim ke bumi oleh Allah SWT. Oleh karena itu, sebagai muslim wajib mensyiarkan ajaran-ajaran islam sebagai wujud pemenuhan tugas penghambaannya.

Pada dasarnya, perempuan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap agama. Hal ini dikarenakan baik atau tidaknya agama sebuah keluarga tergantung pada kepribadian dan kualitas perempuan dan tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada laki-laki. Oleh karena itu, perempuan masa kini harus melek dan menguasai teknologi agar dapat memasifkan dakwah di era modern, agar keberadaannya tidak hanya dilihat sebagai kelompok ibu rumah tangga atau sebagai makhluk lemah yang selalu membutuhkan perlindungan laki-laki. Keberadaan mereka khususnya di dunia dakwah harus mengemas menu yang berbeda untuk ditawarkan kepada masyarakat. Peran perempuan dalam dakwah sesuai dengan tingkat kemampuannya untuk mengklaim ma'ruf nahi mungkar dan bisa berdakwah di rumah bersama keluarga atau melalui jejaring sosial.

 Para ulama perempuan tidak hanya menjadi panutan, kontribusi mereka dalam menjaga kemajuan umat dapat membantu meningkatkan perkembangan masyarakat muslim. Dalam pelaksanaannya, perempuan sudah berpartisipasi secara aktif untuk menyebarkan nilai-nilai ke-Islaman. Akan tetapi, ketika perempuan merasa layak memasuki ruang publik, muncul berbagai masalah dan ketakutan yang pada akhirnya secara langsung atau tidak langsung menghalangi perempuan untuk mengamankan eksistensinya. Problematika ulama perempuan saat ini yaitu supremasi laki-laki dan pengaruhnya di ranah publik. Tak hanya itu, ulama perempuan juga seringkali menghadapi berbagai tantangan, seperti penelantaran, otoritas, bahkan kekerasan.

Beberapa anggapan masyarakat yang menyebabkan terbungkamnya para ulama perempuan yaitu diasumsikan bahwa sebagian besar perempuan tidak sepenuhnya memahami peran dakwah, persepsi tentang sumber daya yang terbatas, kurangnya pengetahuan perempuan terhadap Islam, adanya anggapan bahwa perempuan tidak memahami pentingnya waktu yang dihabiskan untuk proyek dakwah di luar rumah yang seringkali menimbulkan masalah dalam kehidupan keluarga, serta konsep program dakwah perempuan tidak tertata dengan baik. Pandangan diskriminatif terhadap perempuan dalam tafsir klasik menggambarkan perempuan sebagai makhluk kelas dua yang membuat status perempuan tidak setara dengan laki-laki.

Penafsiran demikian menimbulkan anggapan superioritas laki-laki dan mengakibatkan perempuan menjadi makhluk sekunder setelah laki-laki. Menurut stereotip patriarki, perempuan muslim di Indonesia dipandang sebagai orang yang lemah lembut, santun, anggun, dan tenang, Oleh karena itu, agama menjanjikan surga tertinggi bagi perempuan yang mampu bersabar menghadapi takdir hidupnya sebagai perempuan.

Perempuan yang mampu mengekspresikan diri di depan umum, berkarier, memberdayakan orang lain, dan memimpin masyarakat hingga saat ini masih dipandang hingga sebagai perempuan yang keluar dari kodratnya dan menerima peran yang seharusnya menjadi milik laki-laki. Aturan tidak tertulis ini dibenarkan oleh interpretasi agama, dengan maksud agar laki-laki dianggap sebagai imam sedangkan perempuan hanya ma’mum. Hal ini dikarenakan dalam urusan agama laki-laki masih menjadi fokus kepemimpinan. Terlihat dari banyaknya pendakwah serta pemuka agama laki-laki dibandingkan perempuan (Sholihah, F. 2018).

Menurut Hasibuan, S. (2022), sejauh ini eksistensi perempuan sebagai ulama masih terbatas karena dominasi laki-laki, baik di mimbar maupun di forum pengajian. Salah satu faktor yang menyebabkan minimnya kesempatan menjadi ulama adalah pendidikan. Dalam hal pencapaian pendidikan, perempuan masih menduduki peringkat kedua karena laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah keluarga, sedangkan perempuan hanya melakukan pekerjaan rumah tangga. Padahal pendidikan adalah modal perempuan untuk menaikkan derajatnya.

Sementara perempuan tidak bisa mengimbangi dominasi laki-laki di podium dan pengajian, perempuan memiliki alternatif dengan menggunakan media sosial untuk mengomunikasikan dakwahnya. Hal ini dapat dilakukan dengan memposting video yang berisi ceramah, menyampaikan dakwahnya melalui artikel, surat kabar, buku, majalah, tabloid, buletin, dan lain-lain.

Upaya lain yang dapat dilakukan ulama perempuan untuk tetap mempertahankan eksistensinya yaitu melalui pendidikan. Perempuan yang memiliki pendidikan tinggi, bisa mendapatkan gelar yang setara dengan laki-laki. Selain itu, sebagai ulama perempuan dapat menggunakan media sosial sebagai wadah untuk mengkomunikasikan dakwahnya. Mereka juga dapat memilih tempat kajian yang memberikan pelatihan dan pemberdayaan sehingga dapat mengembangkan potensi perempuan agar nantinya dapat berdaya secara ekonomi dan mampu tidak bergantung pada laki-laki.

Dalam upaya menjawab tantangan problematika dakwah yang diuraikan di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, humanisasi berarti dakwah harus menyumbangkan nilai-nilai kemanusiaan kepada lingkungan, sehingga terwujud struktur sosial budaya yang sehat, dinamis, dan sejahtera. Kedua, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan tujuan membebaskan masyarakat dari belenggu ideologi, kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan nilai-nilai negatif dari struktur budaya sosialisasi yang kacau balau.

Laki-laki dan perempuan memainkan peran sesuai dengan kemampuannya, namun tidak harus setara. Akan tetapi, aktivitas keagamaan seperti dakwah telah lama didominasi oleh laki-laki. Sebagai hamba Allah, baik ulama laki-laki maupun perempuan berkewajiban untuk menyembah Allah dan memenuhi semua tugas serta ajaran yang ditentukan dalam Islam. Mereka harus menunaikan tugas kepemimpinannya, baik dalam memimpin dirinya sendiri maupun dalam memimpin masyarakatnya. Keduanya memiliki andil yang sama dalam menjalankan perannya masing-masing baik dalam ibadah, pekerjaan maupun kehidupan dalam hal pendidikan dan dakwah.

KESIMPULAN

Konstruksi sosial membuat perempuan dianggap sebagai komoditas rumah tangga yang “terbelakang” serta mengalami pembungkaman yang berdampak pada diskriminasi terhadap perempuan. Laki-laki dominan dianggap lebih cocok untuk peran di sektor publik, sementara perempuan sering terbatas pada peran di ranah domestik. Anggapan ini juga dipengaruhi oleh penafsiran tafsir klasik yang menggambarkan perempuan sebagai makhluk sekunder.

Meskipun telah ada perubahan dalam eksistensi perempuan sebagai ulama, dominasi laki-laki dalam mimbar dan forum pengajian masih terasa. Problematika yang dihadapi oleh ulama perempuan termasuk supremasi laki-laki, minimnya peluang pendidikan, dan diskriminasi berbasis gender. 

Perempuan merasa terdiskriminasi karena tidak diberi akses yang sama di bidang dakwah. Dilema yang sering dirasakan ulama perempuan ketika memutuskan untuk berekspresi di depan umum bersumber dari peran "keibuan". Hal ini dibenarkan oleh interpretasi agama yang maskulin dan patriarkis untuk menomorduakan perempuan. Padahal, perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk maju menjadi ulama demi kemaslahatan peradaban.

Upaya untuk mengatasi problematika ini mencakup humanisasi dalam dakwah, di mana nilai-nilai kemanusiaan harus diperkenalkan untuk menciptakan struktur sosial budaya yang sehat. Humanisasi juga melibatkan kegiatan pembebasan masyarakat dari ideologi negatif dan keterbelakangan. Selain itu, perempuan dapat memperoleh eksistensinya melalui pendidikan tinggi, pemberdayaan diri, dan penggunaan media sosial sebagai wadah untuk menyampaikan dakwah.

REFERENSI

    Hasanah, U. (2019). Gender dalam dakwah untuk pembangunan (potret keterlibatan perempuan dalam politik). Jurnal Ilmu Dakwah, 38(2), 250-266. https://doi.org/10.21580/jid.v38.2.3887. Dipublikasikan pada 30 Juli 2019. Diakses pada 10 April 2023.
    Hasibuan, S. (2022). Kesetaraan Gender Dan Dominasi Laki-Laki: Konstruksi Peran Perempuan Dalam Dakwah. Al-Manaj: Jurnal Program Studi Manajemen Dakwah, 2(2), 24-29. https://doi.org/10.56874/almanaj.v2i02.1039. Dipublikasikan pada 25 Desember 2022. Diakses pada 10 April 2023.
      Nurani, S. (2015). Implikasi Tafsir Klasik Terhadap Subordinasi Gender: Perempuan Sebagai
Makhluk Kedua. Muwazah, 7(2). https://doi.org/10.28918/muwazah.v7i2.518. Dipublikasikan pada 19 Januari 2016. Diakses pada 10 April 2023.
      Sholihah, F. (2018). Eksistensi Dā’iyah di Tengah Domestikasi Citra Diri Perempuan Shalihah:
Perspektif Feminis Eksistensialis. Sawwa. Jurnal Studi Gender, 13(1), 107116. https://doi.org/10.21580/sa.v13i1.2799. Dipublikasikan pada 11 April 2018. Diakses pada 10 April 2023.

*) Penulis adalah mahasiswa Sosiologi tahun angkatan 2021.
----------
KBMS 2023
Pengembangan Intelektual
Kabinet Bhinaraksa Satyatama

Komentar