Esai: Di Balik Tembok Megah Teori Struktural Fungsional

Di Balik Tembok Megah Teori Struktural Fungsional

Oleh: Muhammad Arkan Ash-Shiddiq (Sosiologi 2022)

Pendahuluan

Dewasa ini, ilmu sosiologi telah mencapai posisi yang cukup mapan sebagai sebuah kajian ilmu pengetahuan. Keberhasilan tersebut tidak luput dari peranan para ahli yang banyak menyumbangkan pemikiran mereka melalui teori-teorinya. Salah satu teori besar yang hingga saat ini banyak menebar pengaruhnya bagi kajian ilmu sosiologi, antropologi dan disiplin ilmu pengetahuan lainnya adalah teori struktural fungsional. Tiga teori utama sosiologi meliputi teori fungsionalisme struktural, teori konflik, dan teori interaksi simbolik (Wirawan, 2012). Hingga saat ini teori struktural fungsional masih dianggap relevan dan telah banyak teori lain yang bermunculan berkat adanya teori ini. Teori fungsi struktural telah mempengaruhi perkembangan teori sosiologi hingga saat ini (Jones, 2009).

Struktural Fungsional sebagai salah satu teori besar sosiologi memiliki pandangan tersendiri dalam membantu kita memahami apa, mengapa, dan bagaimana masyarakat bekerja. Asumsi dasar dari teori ini terletak pada tatanan sosial yang teratur, statis, dan seimbang. Teori ini menekankan bahwa masyarakat merupakan satu organisme utuh yang saling menopang antara satu organ dengan organ lainnya. Menurut Durkheim dalam Nugroho (2021: 185), menyatakan bahwa masyarakat adalah suatu kesatuan yang berupa sistem yang didalamnya terdapat bagian-bagian yang berbeda. Masing-masing bagian saling berhubungan dan saling bergantung, sehingga jika salah satu bagian tidak berfungsi maka timbul kondisi patologis dimana keseimbangan sistem terganggu.

Meski begitu, superioritas, keberhasilan dan kelangsungan hidup teori struktural fungsional hingga saat ini telah melalui berbagai evaluasi serta perkembangan. Dimulai dari kemunculannya melalui akar pemikiran Comte, Spencer, dan Durkheim. Kemudian dipengaruhi Malinowski, Radcliffe Brown, Weber, Parsons dan berusaha disempurnakan oleh Merton melalui beberapa postulatnya. Perbaikan-perbaikan tersebut menjadi indikasi kelemahan dan keterbatasan teori ini dalam menjelaskan fenomena yang terjadi di masyarakat. Dalam kajian ini penulis mencoba menelaah secara singkat mengenai 1) Bagaimana Perkembangan Singkat Teori Struktural Fungsional? 2) Bagaimana Keterbatasan Teori Struktural Fungsional dalam Memahami Masyarakat?.

Pembahasan

Perkembangan singkat teori sosiologi struktural fungsional tidak terlepas dari awal kemunculannya yang di gagas oleh berbagai tokoh awal sosiologi. Akar pemikiran teori ini pertama kali muncul dari August Comte melalui analogi organisme kemudian dikembangkan Herbert Spencer dengan kajian komparasi masyarakat dan organisme yang pada akhirnya menghasilkan requisite functionalism. Kemudian Emile Durkheim menghasilkan terminologi organisme yang melengkapi gagasan awal kedua tokoh sebelumnya. Maka, muncullah asumsi dasar yang cukup kuat mengenai bagaimana teori ini memandang masyarakat. Di Inggris, teori ini mencapai puncak pencapaiannya dalam dasawarsa 1930 dan 1950, dalam masa mana struktural-fungsionalisme dikatakan sebagai identik dengan British Social Anthropology (Marzali, 2006).

Bermodalkan fundamental yang dihasilkan Durkheim, teori struktural fungsional di pelihara hingga ke negeri paman Sam oleh seorang antropolog bernama Radcliffe Brown. Ia berpendapat bahwa struktur sosial bukanlah dilihat dari sudut biologis, yaitu yang terdiri dari sel-sel dan cairan, tetapi sebagai person yang menduduki posisi, atau status, di dalam struktur sosial tersebut (Marzali, 2006). Di Amerika teori ini kemudian dikaji lebih lanjut oleh Talcott Parsons hingga mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1950-an melalui berbagai penyempurnaan. Pada akhir 1960-an teori ini semakin banyak menerima kritikan bahkan dari mahasiswa Parsons sendiri yaitu Robert K. Merton.

Melalui tangan Parsons dengan skema AGIL yang berisi empat kebutuhan fungsional berhasil menarik banyak perhatian para ilmuan Amerika pada saat itu. Pemikiran Parsons tidak lepas dari pengaruh Durkheim dan Weber. Ia mencoba memunculkan sintesis dari pemikiran Durkheim yang menganggap kesadaran masyarakat yang mempengaruhi individu dengan pemikiran Weber yang menganggap sebaliknya. Namun, meski dengan sejarah panjang teori struktural fungsional di zaman tersebut, Merton masih melihat celah kekurangan yang dimilikinya. Merton sendiri mengusulkan model analisis fungsional Merton, yang ia terima sebagai hasil pengembangan pemahaman yang menyeluruh tentang teori- teori klasik, termasuk karya Max Weber (Nugroho, 2021). Bidah (2017), Menyatakan bahwa Merton mempertanyakan 3 postulat: (1) kesatuan funsgsional dari sistem sosial, (2) Universalitas fungsional dari sistem sosial, (3) indisipensability fungsional untuk sistem sosial.

Nama-nama seperti Kingsley Davis yang menyatakan bahwa teori ini sama dan sebangun dengan antropologi dan sosiologi (Davis, 1959). Kemudian Malanowski yang menekankan individu sebagai makhluk psiko-biologis dalam sebuah masyarakat melalui ketertarikannya pada budaya. Selanjutnya, Ferdinand Tonnies dengan konsep Gemeinschaft dan Gesellschaft. Selain itu ada Willbert E. Moore, Marion J. Levy Jr, Jefferey Alexander, Colomy, Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, Randall Collins, dan tokoh-tokoh lain yang mungkin turut mengembangkan teori struktural fungsional. Pasca Merton di Amerika teori ini terus berkembang bahkan bertransformasi dengan adanya teori baru yaitu Neo-fungsionalisme.

Keterbatasan teori struktural fungsional terdiri dari berbagai kritik yang muncul dari para ahli yang pada akhirnya menunjukkan ketidakmampuan teori ini dalam menjelaskan beberapa fenomena di masyarakat. Kritik yang paling sering dilontarkan adalah bahwa teori ini sangat mengabaikan konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh Nugroho (2021), yang mengatakan bahwa penganut teori ini cenderung menuntut masyarakat berada pada tingkatan yang harmonis dan stabil sehingga dapat berjalan dengan baik. Namun, apabila kita menyelam lebih jauh interaksi yang terjadi di tengah masyarakat sering kali menyeret mereka ke dalam jurang konflik yang tak dapat dihindarkan karena terdapat perbedaan kepentingan. Menurut penulis, dalam konteks ini teori struktural fungsional terlalu pragmatis dalam mengedepankan keteraturan, keseimbangan, dan kesatuan yang utuh. Karena seperti yang dikatakan Marx bahwa pada hakikatnya manusia merupakan makhluk bebas dan universal dan keteraturan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah paksaan. Maka, pandangan teori struktural fungsional mengenai tatanan sosial yang harus selalu dalam keteraturan hanyalah pandangan utopis yang sulit terwujud.

Kedua, teori struktural fungsional salah dalam mengartikan masyarakat dengan mengatakan bahwa masyarakat itu statis dalam keseimbangan. Padahal, seperti yang kita tahu fenomena yang bermunculan di masyarakat terjadi saling beriringan dengan tempo yang cepat. Maka, dalam hal ini masyarakat merupakan perangkat yang dinamis dan perlu tanggap menghadapi perubahan. Teori ini terlalu optimis dan konservatif rekat akan keteraturan dalam memandang masyarakat, sehingga rentan mengalami subjektifitas. Menurut penulis, teori ini terlalu mengglorifikasi harmoni sosial, terlalu melebih-lebihkan kestabilan sampai mengabaikan bahkan meremehkan konflik yang terjadi di masyarakat. Padahal, apabila kita mengacu pada asumsi teori konflik yang meyakini bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial (Tualeka, 2017).

Ketiga, berbicara perubahan sosial teori struktural fungsional terlihat tidak begitu canggih dalam menjelaskan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Pada umumnya, para penganut teori ini hanya mengkaji fenomena pada satu masa tertentu saja, sehingga dapat dikatakan ahistoris. Karena fungsionalis mengabaikan dimensi historis dalam mengkaji kehidupan sosial, mereka sangat sulit menerangkan perubahan sosial. (Stephen,2000;9). Perubahan hanya dianggap sebagai sesuatu yang mengacaukan ketertiban, keseimbangan, dan keteraturan.

Penulis melihat lubang besar di tengah teori ini yang apabila kita mengacu pada asumsi dasar struktural fungsional, maka kemiskinan yang terjadi di masyarakat sekalipun merupakan sealah satu fungsi yang harus dipertahankan dan dilanggengkan. Terlepas dari buruknya kemiskinan bagi yang mengalaminya, sungguh disayangkan ketika teori ini justru melanggengkan, memelihara, dan menganggap kemiskinan merupakan fungsi positif guna mempertahankan kestabilan masyarakat. Penganut teori struktural fungsional memandang segala pranata sosial yang ada dalam masyarakat serba fungsional dalam arti positif dan negatif, termasuk juga kemiskinan (Rosana, 2019).
Kesimpulan:

Teori struktural fungsional merupakan teori yang berhasil mendominasi ilmu pengetahuan dengan melalui sejarah panjang. Asumsinya mengenai masyarakat yang mengatakan bahwa tatanan sosial layaknya organisme yang saling terhubung antar bagian. Berawal dari Comte, Spencer, dan Durkheim kemudian dilanjutkan R-B, disempurnakan Parsons dan Merton. Dari keterbatasan berupa kritikan di atas, penulis telah mencoba merangkum kelemahan atau keterbatasan lain yang dimiliki teori ini; Kecenderungan inheren bahwa fungsionalisme melakukan “refikasi” masyarakat, penjelasan tentang adanya perubahan sosial secara cepat kurang begitu jelas, terlalu melebih-lebihkan aspek sosial dari manusia, kurang memerhatikan persoalan atau pembahasan tentang kekuasaan dan konflik yang ada di dalam masyarakat, potensi terjadinya suatu konflik sosial tidak dipersiapkan, terlalu memfokuskan pada keseimbangan sosial dalam masyarakat, penyimpangan- penyimpangan menjadi sulit terlacak dan lebih sering terjadi yang dapat merugikan perusahaan, tidak menjelaskan kenapa terjadi perbedaan dalam masyarakat ,tidak memperhatikan peran individu dalam masyarakat, tidak memperhatikan peran konflik dalam masyarakat, tidak memperhatikan peran perubahan dalam masyarakat, tidak memperhatikan peran kekuasaan dalam masyarakat.

Daftar Pustaka

Adibah, I. Z. (2017). STRUKTURAL FUNGSIONALROBERT K. MERTON: Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga. INSPIRASI - Vol. 1, No. 1, 171-184.
Davis, Kingsley 1959 "The Myth of Functional Analysis", dalam American Sociological Review, XXIV (December, 1959)
Jones, P. (2009). Pengantar Teori-teori Sosial dari Fungsionalisme hingga Post-modernisme. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Marzali, A. (2006). Struktural-Fungsionalisme. ANTROPOLOGI NO. 52, 33-43.
Nugroho, A. C. (2021). TEORI UTAMA SOSIOLOGI KOMUNIKASI (FUNGSIONALISME STRUKTURAL, TEORI KONFLIK, INTERAKSI SIMBOLIK). MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER KOMUNIKASI MASSA Vol. 2, No. 2, 185-194.
Rosana, E. (2019). KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL FUNGSIONAL. Al-Adyan Vol. 14, No. 1, 19-34.
Stephen, S. K. (2000). Sosiologi makro : sebuah pendekatan terhadap realitas sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
Wirawan, I. B. (2012). Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku sosial. Jakarta: Kencana Prena Media.

*) Penulis adalah mahasiswa Sosiologi tahun angkatan 2022.
----------
KBMS 2023
Pengembangan Intelektual
Kabinet Bhinaraksa Satyatama

Komentar