Cerpen: Nikahan Mantan

NIKAHAN MANTAN
Oleh: Farida Ammara

Salah satu hal yang paling memuakan di dunia ini adalah datang ke pernikahan mantan. Selain hal itu terdengar menyedihkan, itu juga merupakan hal yang tragis buat gue.

Sekarang dengan stelan batik rapih akhir nya gue menjadi salah satu dari banyak orang tragis yang juga merasakan momen ini, sebetulnya gue masih gak begitu paham dari tujuan mantan mengundang mantannya ke acara pernikahan mereka, entah untuk "upacara balas dendam" atau "upacara menjalin hubungan baik", yang jelas bagi gue mengundang mantan ke pernikahan kita bukan hal yang baik.

Dengan mobil yang gak pernah gue ganti sejak 10 tahun lalu, gue menuju ke venue acara pernikahan dia, entah kenapa gua gak merasa sedih seperti kebanyakan orang yang berada di posisi gue saat ini, mungkin kebanyakan orang akan menangis tersedu sambil di usap punggung nya oleh teman-teman mereka, tetapi gue dengan wajah datar dan iringan lagu di radio malah sedang sibuk memikirkan nanti mau abisin makanan berapa porsi.

Kalau dibilang kenapa gue gak sedih, karena gue gak segitunya mencintai dia dulu jawabannya: salah. Gue justru orang yang cintanya lebih besar dari dia. Dulu waktu dia minta putus gue juga orang yang memohon sambil berlutut supaya kita coba hubungan ini sekali lagi, gue sempet gak makan seminggu dan gak napsu hidup beberapa bulan cuma karena putus cinta.

Perasaan gue saat ini malah geli, ingin menertawai kisah hidup gue yang entah kenapa selalu berjalan tragis dan menyedihkan kayak gini di putusin, dan sekarang di tinggal nikah. Nanti di venue, gue udah siap menjadi bahan olok-olokan teman-teman gue.

----------

Gak terasa perjalanan satu jam itu sudah membawa gue ke sebuah parkiran gedung lumayan besar di Jakarta. Gue tersenyum sedikit parau mengingat sesuatu. Gue memastikan sekali lagi penampilan gue di spion mobil, ya memang gue gak begitu ganteng, cuma gak ada salahnya kan tampil rapih.

Gue mengisi buku tamu undangan, awalnya gue berniat menuliskan 'mantan' di sana, tapi berhubung mantan dia gak cuma satu jadi gue kayak nya nulis nama asli aja biar dibilang manusia "legowo" karena mau datang ke acara mantannya.

"Gak nyangka dateng juga, Je?” panggil salah satu teman gue yang juga teman dia,
“Dateng lah,” balas gue ketawa basa-basi sekedarnya,
"Ini gak ada niatan untuk ngerusak acara kan??" ledeknya,
"Sialan, enggak lah,” sembari gue menepuk punggungnya
“Yang lain mana?” tanya gue,

Dulu gue dan dia sempat punya geng pertemanan yang ternyata masih berjalan sampai sekarang walaupun kita nya udah gak barengan,

“Ada, lagi pada siap-siap," jelasnya,
“Duduk Je, di depan sekalian mau?”
Gue menolak, "Belakang aja,” balas gue .

Seharusnya sekitar sepuluh menit lagi acara pemberkatan di mulai, gue memilih kursi belakang agar gak begitu keliatan sama dia, gue juga sebetulnya menghindari kontak mata, takut ada sesuatu dan lain hal yang gak diinginkan terjadi. Sampai detik ini pun perasaan gue masih gak tau merasakan apa antara lucu karena hidup gue yang tragis, dan mulai merasakan atmosfer sedih.

Akhirnya dia masuk diiringi oleh ayahnya. Semua orang berdiri dan termasuk gue, ketika melihat dia masuk dengan gaun putih cantiknya itu, perasan sedih mulai berasa, mungkin sejak tadi gue menolak untuk sedih dan ternyata perasaannya makin lama makin muncul gitu aja.

“Jangan nangis Je,” bisik Tedi di sebelah gue,
“Sembarangan!” jawab gue masih dengan nada bercanda.

Mereka mengucap janji setia, lalu pastor menanyakan soal keberatan, rasanya gue mau angkat tangan dan bilang kalau gue keberatan, tapi yang gue lakukan cuma diam dan ikut tersenyum saat akhirnya mereka mencium satu sama lain.

"Kambing guling di sebelah mana?” tanya gue agar suasana gak makin sedih,
“Hahaha baru selesai pemberkatan langsung kambing guling aja lo!” Tedi menoyor kepala gue.

Acara salam-salaman pun dimulai. Satu persatu tamu naik ke atas panggung untuk menyalami dia dan suami, sementara kaki gue berat banget untuk bergerak kesana,

“Ayo gue temenin," gue menoleh ke arah salah satu teman kita di geng itu juga selain Tedi.
“Eh kemana aja, Cha? Tadi gak liat ada lo?” tanya gue,
"Ngantri kambing guling,” balasnya bercanda,
“Nanti aja deh Cha, masih rame”

Acha menarik gue,
“Justru karena masih rame jadi nanti dia gak terlalu notice itu lo,” gue melirik piring yang barusan gue ambil,
“Tapi gue udah ambil piring, Cha."

Acha mengambil piring itu lalu meletakan nya sembarangan,
“Ayo, tuh mumpung Tedi juga udah salaman.”

Akhirnya gue menurut, gue berjalan bersama Acha menyalami dia di stage. Waktu akhirnya giliran kami berhadapan, dia sempat mematung sebentar sebelum Acha mencairkan suasana dengan meledeknya,

“Cantik juga lo, gak nyangka skill MUA-nya beneran berguna ternyata,”

Dia tertawa mendengar itu,
“Gue memang cantik Cha,” katanya,
“Lo dateng barengan?”
Acha menggeleng,
“Tadi ketemu di parkiran,” balasnya,
“Eh ngomong-ngomong selamat ya, gak nyangka jadi juga lo berdua,”

Acha sontak melirik gue,
“Eh..” dia sedikit kebingungan,
“Aduh gue laper banget nih Je, yuuu nanti kita keburu kehabisan kambing gulingnya,” Acha bergegas menarik tangan gue,
“Sekali lagi, selamat ya!!” ujar gue sebelum cabut bersama Acha.

“Pelan-pelan aja kali Cha, nanti jatuh gue,” sungut gue,
"Lagian kita gak mungkin kehabisan kambing gulingnya," tambah gue masih dengan nada yang sama,
“Gue takut nanti lo keburu nangis di depan, Je.”

Gue tersenyum samar,
“Nangis? Gak lah?!”
Acha melirik gue,
"Kalimat yang sama waktu lo abis putus sama dia terus tiba-tiba nangis sendirian di mobil,"

Acha menepuk pundak gue,
"Je, kita tuh normal lagi sedih di masa-masa kayak gini,"
Dia mengambil gelas wine,
“Nih...” dia memberi satu ke gue,
“Gak semua perasaan harus lo tahan Je, nangis aja, marah, malah lebih bagus kayak gitu,”

Gue menenggak wine yang Acha kasih ke gue
"Masalahnya gue memang gak ngerasain apa-apa Cha,”
Acha kelihatan gak percaya,
“Yakin?”
Gue menganguk,
“Yaudah, tapi Je kalau lo butuh apa-apa, gue masih mau kok dengerin curhatan ABG kayak lima tahun lalu,"
Gue tersenyum lebar mendengar itu,
“Hahahah sialan lo, gue udah bukan ABG lagi ya?!”

----------

Niat gue untuk makan lima porsi kambing guling batal, setelah berpisah sama Acha, gue memutuskan untuk pulang aja. Tiba-tiba rasanya kenyang aja gak ada nafsu buat makan. Gue memasang sabuk pengaman dan mulai menyalakan mesin, membuang nafas berat seperti melepas semua beban yang dari tadi gue bawa.

Setelah sendiri kayak gini perasaannya mulai berasa, ternyata gue sedih, gue sedih melihat gedung putih yang besar ini karena dulu kita punya cita-cita untuk merayakan pernikahannya di taman kecil bareng orang- orang terdekat aja, gue sedih harus menulis nama di buku tamu ketika harusnya nama gue yang tamu liat, gue sedih karena gue harus berdiri di depan kursi tamu ketika dia jalan ke altar alih-alih menunggunya di depan mimbar pemberkatan, gue sedih ketika gua harus mengantri kambing guling dan bukan memikirkan apakah kambing guling yang gue dan dia sediakan cukup untuk tamu.

Hembusan angin AC mulai menerpa wajah gue, membuat mata gue yang sedang meneteskan air mata makin perih aja. Gue sebetulnya enggan meninggalkan gedung ini karena masih mau melihat dia sebentar lagi, tetapi makin lama di sini juga bikin gue makin sesak nafas. Gue melirik spion dan menertawakan diri gue sekali lagi, menyumpahi nasib sial yang entah kenapa gak ada habis nya menimpa gue.

Seraya mobil bergerak suara di radio pun ikut menyala, dan seperti tau apa yang baru saja menimpa gue, ia memainkan lagu sedih tak berujung dari mendiang Glenn Fredly, bersamaan lagu itu. Terdengar gue ikut meneriakan lirik yang berhubungan dengan keadaan gue sekarang, "Selamat tinggal kisah tak berujung, kini ku kan berhenti berharap, perpisahan kali ini untuk ku akan menjadi kisah sedih yang tak berujung."

*) Penulis adalah mahasiswi Sosiologi FISIP Unsoed tahun angkatan 2022.

----------

KBMS 2023

Pengembangan Intelektual

Kabinet Bhinaraksa Satyatama

Komentar