Review Buku Filosofi Teras


Ketika mengunjungi sebuah toko buku, atau mungkin lapak bacaan di suatu tempat, Anda mungkin mencari-cari judul buku yang paling eye catching untuk dipilih dan (semoga saja) dibaca kemudian. Hal tersebut juga terjadi kepada saya sendiri ketika sedang mendatangi sebuah gelaran buku di pendopo kampus.

Sebuah buku yang saya pilih adalah buku berjudul “Filosofi Teras” seperti yang ditampilkan pada gambar di atas. Saya sebenarnya tidak begitu asing dengan buku tersebut, bahkan sudah pernah saya lihat review-nya berseliweran berkali-kali di internet dan konten media sosial seperti TikTok.

Namun pada kesempatan kali ini, saya memutuskan untuk memilih buku tersebut dan membacanya langsung secara utuh. Motivasinya sederhana, agar saya bisa memahami konsep-konsep yang disajikan dalam buku tersebut secara komprehensif, lebih dari sekedar mengetahui review-nya di konten-konten media sosial.

Buku ini merupakan sebuah pengantar untuk memahami seperti apa stoisisme bekerja, seperti halnya yang dikatakan oleh Henry Manampiring, sang penulis buku ini. Henry menyajikan Stoisisme dalam bukunya berangkat dari pengalamannya mendapatkan diagnosis Major Depressive Disorder ketika mengunjungi seorang psikiater untuk “menyembuhkan” kecemasan dan kegundahan yang ada pada dirinya. Segala macam terapi dan obat-obatan ditempuh olehnya, namun seiring berjalannya waktu ia pun bertanya kepada dirinya sendiri, akankah ia akan terus bergantung pada terapi dan obat-obatan itu?

Di tengah masa pengobatan, Henry menemukan buku How to Be a Stoic yang ditulis Massimo Pigliucci, yang artinya kurang lebih bagaimana menerapkan filsafat Stoa atau Stoisisme dalam hidup. 

Nyatanya, sesudah baca buku Pigliucci, pandangannya terbuka dan menemukan jalan terapi tanpa obat yang bisa dipraktekkan olehnya seumur hidup. Stoisisme sangat membantunya menjadi lebih tenang, damai, dan bisa mengendalikan emosi negatif.

Pria yang akrab disapa “Om Piring” di media sosial ini tak ingin menyimpan pengetahuannya tentang Stoisisme untuknya sendirian. Karenanya ia pun menulis buku Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini (Penerbit Buku Kompas, 2019). Ia meng-Indonesia-kan Stoisisme jadi “Filosofi Teras”, sebuah terminologi agar lebih akrab dengan telinga orang Indonesia.

Terkait asal-usulnya sendiri, di Athena pada masa Yunani kuno 300 tahun sebelum Masehi atau 2300 tahun yang lalu, Zeno, pelopor filsafat Stoa yang diceritakan dalam buku ini, kerap mengajar filosofinya di teras-teras berpilar, yang dalam bahasa Yunani disebut “Stoa”. Kemudian jadilah terminologi versi Indonesia-nya = Filosofi Teras.

Latar Belakang Stoisisme

Yang menjadi pertanyaan mendasar, entitas apakah Stoisisme dalam filosofi teras ini? Kenapa pula ia dianggap bisa menyembuhkan penyakit akut zaman now a.k.a. depresi, mudah stres, dan kecemasan?

Saat menyebut filsafat Yunani kuno, nama yang langsung terbesit umumnya adalah Socrates, Aristoteles dan Plato. Zeno sendiri rasanya masih belum terlalu familiar bagi orang Indonesia, atau setidaknya itulah yang saya tahu. Lalu banyak prasangka terhadap filsafat yang diidentikkan dengan perenungan serba berat, abstrak, dan mengawang-awang serta tidak terlalu menghasilkan produk bernilai (ini pragmatis sekali).

Lalu bicara filsafat, biasanya banyak membicarakan konsep-konsep abstrak, seperti eksistensialisme, nihilisme, strukturalisme hingga absurdisme. Hal-hal tersebut yang kemudian membuat banyak orang “menolak mentah-mentah” ketika membicarakan seputar filsafat. Perihal yang lebih populis seperti menyembuhkan depresi dan stres dianggap bukan ranah yang cocok dibicarakan filsafat.

Sebagai sebuah filsafat, Stoisisme bisa melengkapi serta menyikapi cara kita menjalani hidup,

“Tujuan utama dari Filosofi Teras adalah hidup dengan emosi yang terkendali, dan hidup dengan kebajikan (virtue/arete)-atau bagaimana kita hidup menjadi sebaik-baiknya manusia.” ujar Henry dalam sebuah intisari bab 2 buku ini.

Konsep Dikotomi Kendali

Dari sekian banyak konsep dalam buku ini, saya paling tertarik dengan konsep bernama “Dikotomi Kendali”. Buku ini berisi penjelasan secara sederhana mengenai “Dikotomi Kendali” manusia. Dari dikotomi kendali tersebut, manusia bisa menentukan hal-hal yang membuatnya bahagia dan mana yang tidak.

Selain itu, dikotomi kendali juga bisa me-manage emosi serta bagaimana cara untuk menyikapinya. Dikotomi sendiri adalah pembagian mekanisme kendali manusia menjadi dua, yakni internal dan eksternal.

Dikotomi kendali internal membawahi hal-hal yang bisa dikendalikan dari dalam diri kita, seperti pola pikir, usaha, aksi, keinginan dan tujuan kita, sedangkan dikotomi kendali eksternal berupa hal-hal yang berasal dari reaksi luar (hal dan orang lain) yang tidak berada di bawah kendali diri kita, seperti perlakuan dan opini orang lain, kesehatan kita, kekayaan kita, kondisi lahiriah dan kodrati (jenis kelamin, etnis/suku, warna kulit), peristiwa alam, dan sebagainya.

Dikotomi kendali inilah yang bisa mengarahkan ekspektasi dan reaksi kita terhadap hal-hal yang menimpa kita. Stoisisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari “things we can control”, atau hal-hal di bawah kendali kita. Kita tidak bisa menggantungkan kebahagiaan dan kedamaian kepada hal-hal diluar itu.

Stoisisme mengajarkan kita menggunakan nalar dan rasionalitas agar selaras dengan alam serta terhindar dari kebiasaan menyalahkan Tuhan dan orang lain (perihal rezeki, reputasi, pencapaian, dan lain-lain). Segala hal di luar kendali kita itu dinamakan indifferent, tidak berpengaruh terhadap baik/tidaknya hidup kita.

Inklusivitas Stoisisme Menurut Filosofi Teras

Stoisisme tidak mengandung hal-hal dogmatis dan jalan kepercayaan apapun. Stoisisme banyak mengandung ajaran dan nilai-nilai universal. Hal demikian yang membuat Stoisisme ini bisa dikonsumsi dan juga relevan bagi semua orang di dunia, baik dari suku/etnis apapun, agama dan bangsa apapun.

Stoisisme secara eksplisit menyatakan sifat yang sangat inklusif untuk semua orang, serta semua kondisi. Stoisisme memandang semua manusia adalah sama kapasitas dan haknya dalam menggapai kebahagiaan serta hidup yang lebih baik.

Menurut Henry dalam bukunya, para filsuf Stoa tidak akan terpana oleh kekayaan, gelar atau pangkat seseorang, karena hal itu tidak bisa dipakai untuk menakar kualitas dan nilai hidup seseorang secara mutlak, dan juga karena berasal dari “eksternal” dan dianggap tidak rasional. Sebaliknya, manusia akan lebih baik apabila mereka mempunyai pengendalian diri dan bebas dari emosi negatif.

Menerapkan Stoisisme ke dalam Kehidupan Sehari-hari

Stoisisme alias filosofi teras, kian terasa relevan untuk masyarakat masa kini. Di Yunani kuno, ia lahir di masa peperangan dan krisis. Meski kita tak sedang terlibat perang fisik dengan bangsa mana pun, banyak dari kita sebenarnya sedang “berperang” di media sosial. Berdebat, saling beda pendapat, menyebar hoax dan fake news, bahkan mem-bully sudah jadi kerjaan sehari-hari.

Tidak hanya itu, beban hidup pun terasa kian berat kini. Kita dilanda stres di jalan akibat macet, di kantor beban pekerjaan yang menumpuk, belum lagi harus menghadapi bos dan politik kantor. Pulang kerja bertemu lagi jalanan yang macet, istirahat yang kurang, quality time dengan keluarga juga kurang. Belum lagi harus menghadapi persoalan ekonomi, akibat segala harga kebutuhan pokok naik, sementara gaji tak ikut naik. Bagi yang berstatus mahasiswa maupun pelajar keadaannya juga sama jenuhnya. Tekanan orang tua untuk mengejar nilai, stres saat mengerjakan skripsi, sampai persoalan pribadi dengan pacar atau teman. Itu semua persoalan di dunia nyata.

Di dunia maya pun masalahnya tak kalah pelik; menengok medsos teman yang isinya traveling melulu, makan enak di kafe dan restoran juga dapat memicu depresi, dan lalu merasa hidup tak bahagia dibandingkan orang lain.

Stoisisme sering disalahartikan dengan pasrah pada keadaan. Padahal, menerima keadaan atas apa-apa yang tak bisa kita kendalikan, tidak sama artinya dengan bersikap pasrah. Satu hal lain yang mengasyikkan dari Stoisisme menurut Henry dan pada akhirnya saya amini adalah, apa yang dikemukakan terasa akrab, bisa jadi kita merasa, “Eh, kayaknya ajaran agama gue juga bilang begini, deh” atau “Pandangan ini kayaknya pernah gue dengar dari orang lain dan gue setuju.”

Itu mungkin sebabnya Stoisisme tak mendapat pertentangan dari pemuka agama ataupun penganut aliran kepercayaan mana pun. Ia tak mengoyak keyakinan seseorang pada agama atau ajaran yang ia percayai, malah bisa lebih saleh karena kebajikan untuk jadi manusia sebaik-baiknya.

Pada akhirnya, Filosofi Teras adalah buku keren untuk mengenal dan mempraktikkan langsung Stoisisme. Tidak hanya bicara soal ajaran filsafatnya, Henry juga melampirkan ulasan wawancara dengan psikiater, psikolog anak, serta beberapa orang yang telah mempraktekkan Stoisisme. Apa yang mereka sampaikan sangat memerkaya buku ini sebagai sumber-sumber yang konkret.

Penyajian materi serta gaya bertutur Henry menurut saya enak dibaca serta dimengerti. Sekali mulai baca, susah untuk menaruh buku ini sebelum tandas.

Stoisisme dikupas selapis demi selapis, dari soal bersikap di media sosial hingga bagaimana Stoa memandang kematian. Ilustrasi-ilustrasi yang ada di dalamnya juga bagus, sederhana namun ngena.

Sebagai pengantar Stoisisme, hal-hal itu membuat buku ini terhindar dari beban buku filsafat yang berat. Tak perlu ragu lagi untuk memilih buku setebal kurang lebih 230 halaman yang sudah dinobatkan menjadi mega best seller dan memenangkan Book of The Year di Indonesia International Book Fair tahun 2019 ini sebagai teman bacaan Anda.

“It’s not things that trouble us, but our judgment about things.” — Epictetus.

*) Penulis adalah mahasiswa Sosiologi FISIP Unsoed tahun angkatan 2021.

----------

KBMS 2023

Pengembangan Intelektual

Kabinet Bhinaraksa Satyatama



Komentar