Cerpen: Let It Go

"Lo gak capek ra hidup berantakan terus?"

Inira berdecih "Apaan tuh maksud lo?" tanyanya sambil tertawa kecil, tawanya terdengar masam dan sumbang.

"Ya ini," ujar Ardan sambil menunjuk Inira, "Gak jelas, kerjaan lo cuma makan, bangun, sebat, idur, gak kerja, gak kuliah," jelas Ardan.

"Gak deh, nanti kalo gue bener lo bingung hidup siapa lagi yang harus lo komentarin," Inira menghisap rokok nya lalu membuang asapnya ke sembarang arah.

"Gue kangen Inira yang dulu", ujar Ardan,

"Inira yang mana?" balasnya,

"Yang bener, yang kuliah, yang ceria, yang gak ngabisin waktu dengan ngerokok seharian di rooftop, Inira yang banyak senyumnya", jelas Ardan,

"Inira yang itu yang bawa gue ke inira yang ini", ujar Inira menatap Ardan,

Move on, Ra..." mendengar kalimat yang diucapkan Ardan, gadis itu memalingkan wajahnya, dan hatinya seperti hancur seketika.

"Semua orang kangen sama lo, lo harus berhenti ngasihanin diri lo dong", Ardan menatap punggung gadis itu yang terlihat tegap meski segala kehancuran sebenarnya ada di baliknya.

"Gimana caranya gak ngasihanin diri sendiri, Dan? Kalau hidup gue memang semenyedihkan itu", tambah Inara.

Ardan melompat dari tempat duduknya, menatap wajah gadis itu yang terlihat keras bahkan air mata sudah tidak mampu lagi jatuh membasahi pipinya.

"Kenapa gue gak sekalian mati aja ya dan waktu itu?" ujar gadis itu menatap Ardan dengan senyum miringnya serta tatapan mata yang kosong.

"Kalo ngelanjutin hidup sekosong ini terus buat apa gue hidup, Dan?" 

Ardan menghembuskan nafas nya lewat mulut, "Ya buat ini semua ra", katanya,

"Buat gue yang setiap hari denger omelan lo tentang seberapa berantakannya hidup lo, buat lo yang harus dengerin komentar gue tentang seberapa berantakannya hidup lo, buat puntung rokok yang tadi lo buang, buat pagi dan malam yang lo lewatin setiap hari, buat belajar..." jawab Ardan dengan panjang lebar.

"Hidup gue isinya ujian semua dan, gue belum sempet belajar",

Ardan tersenyum simpul, "Ya emang gitu Ra, bedanya anak-anak sama orang dewasa, kalo anak-anak belajar dulu baru ujian kalo orang dewasa ujian dulu baru belajar".

Ardan mengeluarkan kotak rokok dari saku celananya "Dia udah tenang Ra di sana," ujar Ardan sembari memberikan sebatang rokok kepada Inira.

"Masa?" tanya Inira,

"Iya", sahut Ardan,

"Kalo gitu dia jahat banget sama gue, Dan", Inira memandangi batang rokok itu,

"Dia tenang di sana, lah gue? Gue gimana, Dan? Sendirian di sini, semua orang nyalahin gue, kenapa dia doang yang boleh tenang? Gue gak boleh gitu, Dan?"

Ardan menyalakan rokok yang sedari tadi dipegangnya, mendendengarkan omelan Inira kepada hidupnya, kepada dirinya seperti biasa.

"Ini salah dia bukan gue, Dan".

Ardan cuma bisa mendengarkan celotehan gadis itu,

"Buat apa? Buat meninggal?" tanyanya.

"Buat bikin gue jatuh cinta terlalu dalam sama dia, buat percayain semua kebahagiaan gue sama dia, buat percaya dia gak akan ninggalin gue," jelas Inira sambil membanting batang rokok yang Ardan berikan kepada nya.

"Dia kan gak minta kecelakan itu", timpal Ardan,

"Dia minta lo supaya selamat", lanjut Ardan.

"Iya, biar gue sendirian di sini", bantah Inira.

Inira menatap mata Ardan, "Waktu gue baru bangun dari koma, semua orang marah sama gue karena mereka kira ini semua ide gue buat kawin lari sama dia, kecelakaan ini salah gue, mereka semua nyalahin gue, mereka bilang kenapa gak gue aja yang mati, Dan kalo gue bisa milih, kalo bisa..."

Ardan menghelus pungung cewek itu.

"Gue aja masih bingung gue kenapa? Dia dimana? Semua orang udah sibuk nyalahin gue, surat pengadilan udah gue terima atas tuduhan pembunuhan berencana".

Ardan mengaguk mengingat semua kejadian itu.

"Waktu gue terbukti gak bersalah mereka malah ga terima, gue gak boleh dateng ke makam dia, gue di-DO, akses kerjaan ditutup sama keluarganya, bagian mana lagi coba yang bisa gue syukurin dari hidup gue tanya?" keluh Inira panjang lebar.

"Semua orang sibuk bilang gue beruntung karena masih bisa hidup, rumah sakit nunggak, dibuang dari keluarga, gak punya siapa-siapa, gosip kesebar dimana-mana semua orang bilang gue pembunuh padahal itu murni kecelakaan".

Ardan tentu mengerti kekecewaan Inira kepada kehidupannya, segala kehancuran, segala penderitaan melihat Inira bisa bernafas saja sebenarnya sudah membuat Ardan sangat bersyukur, karena setidaknya di semua kesemerawutan hidupnya Inira masih hidup.

"Kalo lo gak ada ya Dan, hidup gue jauh lebih baik" kata Inira " kalo lo gak nolongin gue yang sebentar lagi lompat, hidup lo gak akan ikut pusing kayak gini".

Ardan tertawa, "Gue seneng ikut pusing sama lo kok",

Inira menatap Ardan "Bisa-bisa nya lo malah rela nampung gue buat numpang hidup sama lo, ngelihat gue kayak zombie gini, lo manusia bukan sih, Dan?"

Mendengar pertanyaan terakhir inira membuat ardan terbahak.

"Lagian lo pikir gue apa? Setan?"

Inira menaikan bahu nya "Malaikat?" katanya.

"Mana ada malaikat ngerokok di rooftop".

..........

Untuk beberapa saat mereka saling diam, Inira berdiri di balkon menatap ke arah matahari yang perlahan menurun membuat polusi Jakarta yang tadi nya terlihat tebal memenuhi langit sekarang berganti berwarna oranye. Inira menatap Ardan yang sedang duduk di sofa butut berjarak 10 meter dari nya terlihat laki-laki itu sedang sibuk dengan ponselnya, gadis tu menghembuskan nafas kasar setelah berfikir sebentar.

"Untuk pertama kalinya Dan, gue turutin mau lo", katanya sambil menguncir rambut panjangnya dengan karet sayur yang ada di pergelangan tangannya.

"Permintaan gue yang mana? Ada banyak" kata nya, perhatian cowok itu masih tersita di ponselnya.

"Buat maafin semua ini", Ardan menatap Inira,

"Ga pait itu kata-kata di mulut lo?"

Inira mengaguk sambil berjalan mendekat ke arah Ardan, "Pait, pait banget gue bahkan gak bisa ngerasain paitnya lagi sangking paitnya".

Ardan meletakan ponsel di saku kemeja putih nya yang masih tergantung ID card perusahaan di leher nya "Terus kenapa tiba-tiba? Kenapa baru komentar gue yang sekarang yang buat lo nurut?" tanya Ardan.

"Kalo kenapa gue gak punya jawaban, tapi kalo buat apa gue punya", katanya.

"Yaudah buat apa?" tanyanya,

"Buat tangan yang narik gue dari jembatan"

Mendengar itu Ardan terbengong.

"Buat malaikat yang ngerokok di rooftop sebelah gue", lanjut Inira,

"Buat kebaikan-kebaikan dan ocehan lo yang panjang lebar",

"Untuk belas kasihan dan nasi goreng pinggir jalan dan rokok ketengan yang selalu lo kasih ke gue",

Mendengar yang itu lantas Ardan tertawa.

"Buat balas budi..."

Ardan menggeleng "Buat diri lo",

Inira mengaguk "Buat Inira yang berantakan".

Ardan mengaguk "buat inira yang berantakan", ulangnya.

Inira memejamkan matanya,

"Temenin gue, Dan", katanya.

"Temenin apa?" tanya Ardan yang duduk di sebelahnya

"Doa..."

Mendengar itu, Ardan tersenyum kecil, "Yaudah ayo gue temenin".

Ardan mengakat tangannya,

"Tuhan ini Inira, masih ingat atau udah lupa? Maaf ya Tuhan setelah satu setengah tahun kita baru ngobrol lagi, sebenarnya aku masih marah sama semuanya, tapi kata Ardan kalau marah terus malah bikin hidup aku semakin berantakan. Aku mau kirim doa terbaik untuk dia di sana semoga dia..."

Inira berhenti sebentar, "Semoga dia lihat aku di sini dan ikut senang karena aku mau benerin hidupku yang berantakan, Tuhan makasih untuk kirimin manusia brengsek yang baik hati ini, makasih buat pagi dan malam yang aku lewatin kemarin, buat nasi goreng dan rokok ketengan, buat ada Ardan di sini, aamiin."

Ardan ikut mengaminkan doa Inira.

"Tuhan kangen banget pasti sama suara cempreng lo", celetuk Ardan,

"Dah yuk masuk, gue udah beliin nasi goreng", tambahnya.

"Besok gue ganti", ujar Inira.

Ardan tertawa, "Dih gaya banget lo".

Inira pun balas tertawa.


*) Penulis adalah mahasiswi Sosiologi FISIP Unsoed tahun angkatan 2022.

----------

KBMS 2023

Pengembangan Intelektual

Kabinet Bhinaraksa Satyatama

Komentar

Posting Komentar