Menyoal Kekerasan Simbolik di Sekolah


Kekerasan merupakan sebuah istilah yang tidak asing di telinga kita. Kekerasan biasanya diasosiasikan pada sebuah bentuk perilaku atau peristiwa yang mengerikan, tragis, ironis, dan menakutkan. Fenomena kekerasan mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita, baik politik, budaya, hingga pendidikan. Menurut Martono (2012), kekerasan kerap dilakukan atau ditempuh sebagai alternatif dalam upaya menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi; konflik sengketa tanah, sidang parlemen, kegiatan orientasi siswa sekolah tahunan, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kekerasan yang ada merupakan masalah yang serius dan nyata terjadi di sekitar kita.

Kekerasan (fisik) seperti yang tertuang pada kalimat sebelumnya merupakan bentuk kekerasan yang wujudnya familiar atau mudah dikenali, baik dari segi perlakuannya maupun dampaknya. Namun, banyak orang mungkin tidak menyadari akan adanya bentuk lain dari kekerasan yang hampir selalu terjadi di kehidupan setiap harinya. Bentuk kekerasan tersebut adalah “kekerasan simbolik”. Bentuk kekerasan ini kerap dikesampingkan dan hampir tidak pernah menjadi fokus perhatian berbagai pihak, padahal bentuk kekerasan ini dapat memberikan hal yang cukup berdampak bagi masyarakat jika diamati dengan seksama.

Kekerasan Simbolik sebagai Produk Kekuasaan

Menurut sosiolog asal Prancis, Pierre Bourdieu, konsep kekerasan simbolik ada untuk menjelaskan mekanisme yang digunakan kelompok dominan atau kelas atas yang mendominasi struktur sosial masyarakat untuk memaksakan ideologi, budaya, kebiasaan, ataupun gaya hidup kepada kelompok terdominasi atau kelas bawah (Martono, 2012).

Bourdieu menggunakan istilah kekerasan simbolik, kuasa simbolik, dan dominasi simbolik merujuk pada hal-hal yang bermakna “kuasa untuk menentukan instrumen-instrumen pengetahuan dan ekspresi kenyataan sosial yang sebenarnya tidak disadari”. Terdapat beberapa aspek untuk menemukan makna kekerasan simbolik jika dikaitkan dengan dunia pendidikan di sekolah, diantaranya adalah:

A. Modal Simbolik
Salah satu konsep Bourdieu dalam mengkaji isu ini adalah modal. Modal yang dimaksud bukan hanya dalam bentuk materil, melainkan sebuah hasil kerja dan mekanisme yang terakumulasi (dan menubuh atau terjiwai dalam seseorang) (Martono, 2012). Modal dapat mencakup hal-hal material yang memiliki nilai simbolik dan memiliki nilai signifikansi secara kultural. Modal juga merupakan sumber daya dan kekuasaan yang dapat digunakan secara konkret (Ritzer & Goodman, 2011, dalam Bahar 2013).

Dengan kata lain, modal terdiri dari modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Modal simbolik dapat menjadi media yang menghubungkan antara kekuasaan dan kekerasan. Modal simbolik dapat ditarik atau didasarkan pada kenyataan bahwa di seluruh masyarakat, tatanan dan kontrol diperoleh dari mekanisme tidak langsung dan mekanisme kultural melalui simbolisasi.

Salah satu simbol yang ditampilkan pada uraian kali ini adalah perihal kedisiplinan. Pemberlakuan peraturan jam masuk sekolah pada pukul 05.00 WITA bermaksud untuk menonjolkan kedisiplinan dari para siswa dan guru. Pemaknaan “disiplin” diasosiasikan dengan perilaku positif yang harus dimiliki oleh semua orang. Pada uraian di sini. simbol “disiplin” menjadi modal simbolik yang ditanamkan oleh pemerintah sebagai figur kelas sosial teratas atau pihak dominan, terhadap lembaga pendidikan serta masyarakat sebagai pihak terdominasi.

B. Kelas
Pemikiran Bourdieu tentang kelas mengatakan bahwa setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan (habitus), perilaku, serta modal yang berbeda. Modal tersebut dapat menentukan kelas masyarakat. Kelas sosial diartikan sebagai posisi tertentu yang disandang oleh sekumpulan aktor, dimana posisi dan kondisi tersebut dapat dibedakan secara vertikal. Kelas-kelas sosial dalam masyarakat memiliki kekuatan dan pengaruh yang berbeda. Kelas disini dibagi dalam tiga yaitu:

(1) Kelas dominan, mampu mengakumulasi berbagai modal dan memaksakan identitasnya kepada kelas lainnya,
(2) Kelas borjuis kecil, memiliki kesamaan dengan borjuis pada umumnya yakni keinginan untuk menaiki tangga sosial, namun mereka berada di posisi menengah serta tidak punya kemampuan untuk memaksakan simbol dan identitasnya kepada kelas lain, dan
(3) Kelas populer yang menerima apa saja yang dipaksakan oleh kelas dominan. Pemerintah dalam
hal ini menduduki posisi teratas dan dominan dalam hal kelas. Pemerintah dapat membuat peraturan yang menyangkut banyak hal, seperti peraturan kelembagaan, ekonomi, sistem sosial hingga budaya, kemudian “memaksakan” peraturan dan identitas tersebut kepada kelas lainnya.

Secara umum, kekerasan simbolik menyajikan berbagai bentuk kekerasan tak kasat mata, seperti distorsi, pelencengan, pemalsuan, dan pemaksaan simbol. Kekerasan simbolik bukanlah bentuk kekerasan yang mudah dilihat wujudnya secara kasar, namun sebenarnya jika diamati, ia akan ada di mana-mana, termasuk dalam dunia pendidikan.

Pendidikan bagi Bourdieu (dalam Umanilo, 2018) dapat berfungsi sebagai alat untuk melegitimasi eksistensi kelas dominan. Sekolah pada dasarnya hanya menjalankan proses reproduksi budaya (cultural reproduction), dalam hubungannya dengan institusi lain, untuk membantu mengabadikan ketidaksetaraan antargenerasi.

Kelas dominan mempertahankan posisinya dengan apa yang disebut hidden curriculum, sekolah mempengaruhi sikap dan kebiasaan siswa dengan menggunakan budaya kelas dominan. Sekolah hampir selalu menerapkan budaya dan kebiasaan kelas dominan dalam kegiatannya. Siswa dari latar belakang kelas bawah dapat dibentuk untuk mengembangkan cara berbicara dan berperilaku seperti yang biasa dilakukan kelas dominan atau yang disebut juga oleh Bourdieu dengan “habitus”.

C. Habitus
Sekolah-sekolah menurut Bourdieu (dalam Umanilo, 2018) merupakan tempat untuk mensosialisasikan kebiasaan (habitus) kelas dominan sebagai jenis habitus yang alami dan memposisikan hal tersebut sebagai satu-satunya habitus yang tepat dan paling baik serta memperlakukan setiap anak (siswa) seolah-olah mereka memiliki akses yang sama kepada habitus tersebut. Melalui cara ini, habitus kelas dominan ditransformasikan menjadi modal budaya yang “diterima begitu saja” dan dijalankan oleh sekolah-sekolah dan bertindak sebagai alat seleksi yang efektif dalam proses-proses reproduksi sebuah masyarakat. Mereka yang memiliki habitus yang sesuai dengan kelas dominan, akan menerima keberhasilan, sedangkan mereka yang tidak mampu menyesuaikan dirinya, akan mengalami kegagalan. Agar kelas bawah dapat memiliki keberhasilan yang sama, maka mau tidak mau ia harus melakukan “proses borjuasi”, meniru habitus kelas dominan. Habitus kelas dominan yang disajikan dalam bentuk simbol dan perilaku selalu diposisikan sebagai sesuatu yang paling baik dan sempurna.

Representasi Kekerasan Simbolik di Sekolah NTT

Melihat beberapa kasus kekerasan simbolik, umumnya memiliki beragam wujud dan cara-caranya. Pada kasus yang terjadi pada sejumlah sekolah (SMA/SMK) di Kupang, Nusa Tenggara Timur (selanjutnya disebut NTT), terdapat kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur NTT, melalui Dinas Pendidikan NTT, yang mewajibkan siswa untuk masuk sekolah pada pukul 05.00 WITA. Adapun bentuk simbolisasi yang coba diterapkan di sini yaitu “disiplin”. Aturan tersebut dicetuskan dengan harapan meningkatkan kualitas pendidikan di Provinsi NTT, dengan penerapan kedisiplinan para siswa untuk datang ke sekolah tepat waktu pada jam tersebut.

SMA Negeri 6 Kupang menjadi sekolah pertama yang menerapkan kebijakan belajar tersebut bagi para siswa kelas XII. Dilansir dari Komunikasik.com (2023), para siswa di sana mengaku harus tidur lebih awal supaya bisa bangun pagi pukul 04.00 WITA untuk persiapan berangkat sekolah. Hal itu menimbulkan kekhawatiran orang tua siswa terhadap kondisi kesehatan dan mental anak-anaknya atas kebijakan tersebut. Banyak kalangan menilai aturan kebijakan belajar semacam ini kurang efektif dan berpotensi membebani para siswa serta tenaga pendidik di sana.

Mengutip sebuah penelitian akademik internasional berjudul “Nature Human Behavior (2023)” yang menyatakan sebanyak 33.818 dari 39.000 siswa dengan jadwal kelas pagi, cenderung mendapatkan nilai dan performa kurang memuaskan akibat kurangnya jam tidur (Zahra, 2023). Meskipun telah mendapatkan banyak kritik dan masukan, kebijakan tersebut tetap berjalan dan hanya direvisi menjadi tiga puluh menit lebih siang (05.30 WITA).

Kekerasan simbolik muncul dan berjalan dengan perlahan namun pasti, kelas terdominasi (dalam hal ini siswa dan guru) tidak sadar dirinya menjadi objek kekerasan yang seakan menerima apa adanya sesuatu yang dilangsungkan secara halus oleh kelas dominan (pemerintah). Bentuk kekerasan simbolik seperti ini, seringkali dilegitimasi dengan dalih “menegakkan disiplin” di kalangan siswa. Kedisiplinan memang merupakan salah satu nilai yang sering ditanamkan dan diterapkan dalam kehidupan di sekolah. Disiplin di sini menjadi sebuah simbol yang penting untuk dimiliki, karena dapat ‘menjaga’ siapapun terhadap perilaku abnormal dan hal-hal yang berpotensi mengintervensi proses pembelajaran (Zahra, dkk, 2023).

Pengaturan waktu belajar sendiri mempunyai arti penting dalam pembelajaran di sekolah. Belajar dengan menggunakan waktu menjadi suatu keterampilan yang berharga dan memberikan manfaat dalam belajar (Nurhuda, 2017). Dimajukannya jam sekolah siswa di NTT dinilai memberatkan para murid di sana, sebab mereka mau tidak mau harus patuh terhadap aturan sekolah, padahal aturan yang ada belum tentu relevan dengan kondisi dan situasi masing-masing. Para guru pun dapat berpotensi mengalami kekerasan yang sama, akibat aturan pemerintah yang menjerat status dan profesi mereka. Kendati demikian, kebijakan tersebut digagas karena persoalan yang disinggung tidak dianggap sebagai bentuk kekerasan, ia memiliki tujuan yang dianggap baik yakni untuk mendisiplinkan baik siswa, guru, dan lain sebagainya.

Kekerasan simbolik merupakan imposisi sistem simbol dan arti (budaya) terhadap kelompok-kelompok atau kelas dengan cara perlahan/sedemikian rupa sehingga mereka (yang menjadi sasaran) merasakan hal tersebut sebagai sesuatu yang absah. Hal ini dapat ditelaah melalui proses yang tidak terlihat (misrecognition), yakni hubungan kekuasaan itu secara objektif bukan untuk kelas yang didominasi namun kelompok mendominasi (Jenkin, 1991, dalam Martono, 2012).

Fachruddin (2018) menjelaskan kekerasan simbolik dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu (1) secara halus (Eufemisme) dalam bentuk kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, dan belas kasihan, serta (2) sensoris, menampak dalam bentuk pelestarian bentuk nilai yang dianggap sebagai “moral kehormatan” seperti kedisiplinan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang dipertentangkan dengan “moral rendah” seperti kekerasan, kriminal, dan sebagainya.

Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategori-kategori pemikiran dan persepsi terhadap agen-agen sosial terdominasi, yang kemudian menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan absah. Kekerasan simbolik dalam beberapa kasus dan arti tertentu dapat jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena hal tersebut dapat melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, hingga memaksakan legitimasi itu pada tatanan sosial.

Sekolah memiliki peran dan tanggung jawab dalam membantu siswa menjalani proses serta mencapai tujuan perkembangannya. Melalui sekolah, pendidikan dapat disosialisasikan oleh guru-guru, yang mencakup nilai-nilai, norma, keterampilan kasar, hingga pengetahuan baik secara umum maupun khusus. Kedisiplinan merupakan salah satu nilai yang sering ditanamkan dan diterapkan dalam kehidupan di sekolah. Dengan demikian, sekolah telah menjadi tempat yang strategis untuk melangsungkan praktek-praktek kekerasan simbolik. Proses tersebut terjadi ketika siswa (dan juga guru) sebagai kelas bawah secara tidak sadar menerima serta menjalankan semua habitus kelas dominan, melalui berbagai peraturan sekolah yang hanya mengakomodir kepentingan kelas dominan dalam bentuk kurikulum, bahasa dan kegiatan sehari-hari, cara berpakaian, bersikap dan berperilaku yang “baik” menurut kelas dominan.

Referensi

Fachruddin, F. (2018). Book Review: Kekerasan Simbolik di Sekolah. Sukma: Jurnal
    Pendidikan, 2(2), 311-327.
Jenkins, R. (1992). Pierre Bourdieu. Canada: Routledge.
Nurhuda. (2017). Pengaruh Pemanfaatan Waktu Belajar, Pemanfaatan Fasilitas Belajar Dan
Motivasi Terhadap Hasil Belajar Siswa Jurusan Akuntansi Di SMK Labor Binaan FKIP
    UNRI, Jurnal Pendidikan Ekonomi Akuntansi, 5.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. (2011). Teori Sosiologi Modern. Yogyakarta: Kreasi
    Wacana
Umanailo, M., & Basrun, C. (2018). Mengurai Kekerasan Simbolik di Sekolah Sebuah
    Pemikiran Pierre Bourdieu Tentang Habitus Dalam Pendidikan. Universitas Iqra Buru.
Zahra, N. U. (2023). Kebijakan Belajar di NTT Termasuk Kekerasan. Dikutip dari
    http://komuniasik.com/kebijakan-belajar-di-ntt-termasuk-kekerasan/ pada 23 September
    2023.
Zahra, M. I., Hutagalung, F., Rusnita, A. N., Saragih, T. J. R., Parhusip, F. A., & Tarigan, P. J. B.
    (2023). Efektivitas Perubahan Jam Sekolah terhadap Tingkat Kedisiplinan Siswa. Jurnal
    Pusat Studi Pendidikan Rakyat, 42-52.

*) Penulis adalah mahasiswa Sosiologi tahun angkatan 2021.
----------
KBMS 2023
Pengembangan Intelektual
Kabinet Bhinaraksa Satyatama

Komentar