Review Film: Hidden Figures (2016)


Pernahkah terpikirkan oleh kalian, bahwa dibalik fenomena bersejarah di luar sana, ada banyak ‘sosok-sosok tersembunyi’ yang tidak pernah diketahui sebelumnya? Sebagian orang seringkali akan melihat sebuah kesuksesan ketika sudah terpampang sosok figur yang ada di depan, hingga akhirnya orang yang berada di balik layar akan merasa tidak sukses atau sehebat mereka yang ada di depan sana. Artinya, tanda kesuksesan seseorang diukur ketika seseorang melakukan pekerjaan besar dilihat oleh banyak orang, sebaliknya jika suatu hal yang dikerjakan seseorang tidak sehebat dan terlihat hingga ke permukaan, maka orang tersebut akan dianggap tidak sukses atau berarti.

Hal demikian juga tersampaikan dalam film besutan Theodore Melfi yang berjudul “Hidden Figures” di mana diadaptasi dari kisah nyata yang diangkat dalam buku karya Margot Lee Shetterly dengan judul “Hidden Figures: The American Dream and the Untold Story of the Black Women Who Helped Win the Space Race”. Sebagaimana judul bukunya, film biografis keluaran tahun 2016 ini menceritakan tentang tiga perempuan keturunan Afrika-Amerika yang bekerja sebagai staf NASA di mana ketiganya—Katherine, Dorothy, dan Mary—menghadapi lingkungan yang penuh dengan ketidakadilan, baik dalam segi gender, ras, dan hak-hak yang seharusnya layak didapatkan oleh kaum minoritas. Film ini menyoroti perjuangan ekstensif yang dihadapi ketiganya dalam menghadapi setiap tantangan yang ada, di tambah dengan rasa perjuangan mereka dalam membantu NASA pada masa-masa Space Race—yakni perlombaan sengit antar Amerika dan Rusia dalam hal pengiriman manusia ke luar angkasa untuk menujukan integritas mereka.

Berlatar belakang tahun 1961, di mana segregasi, rasisme, dan seksisme masih marak di negara Amerika Serikat kala itu yang masih menerapkan hukum Jim Crow, yang merupakan suatu bentuk segregasi yang mempertahankan pemisahan rasial setelah era perbudakan terhadap orang kulit hitam (negro) berakhir pada akhir tahun 1800-an. Dalam hal ini, banyak orang kulit putih yang merasa takut akan kebebasan yang telah dimiliki orang kulit hitam. Mereka kemudian membenci pemikiran bahwa orang Afrika-Amerika dapat mencapai status sosial yang sama dengan diri mereka jika diberi hak dan akses yang sama dalam hal pekerjaan, perawatan kesehatan, perumahan, hingga pendidikan. Akibatnya, beberapa negara bagian di Amerika Serikat mulai mengesahkan undang-undang yang menempatkan sejumlah pembatasan pada orang kulit hitam dan memberikan status sebagai warga negara kelas dua. Beberapa pembatasan terhadap orang kulit hitam dapat terlihat dari berbagai hal. Dalam film “Hidden Figures” sendiri, terlihat beberapa ‘pemisahan’ antar orang kulit putih dan orang kulit hitam (berwarna), yakni adanya pemisahan fasilitas umum (sekolah khusus orang kulit hitam, area khusus membaca di perpustakaan bagi orang kulit hitam, toilet dan tempat duduk khusus, dan sebagainya).

Sebagaimana adegan yang ditampilkan dalam film tersebut, Katherine Goble Johnson, seorang ahli matematika berbakat yang ditugaskan untuk bekerja ke dalam tim mayoritas laki-laki berkulit putih untuk menghitung titik koordinat roket Atlas, rela untuk berlari sejauh satu kilometer dengan waktu tempuh kurang lebih 40 menit sembari membawa berkas-berkas perhitungannya hanya untuk dapat membuang air kecil di toilet yang memang dikhususkan untuk perempuan berkulit hitam. Hal ini disebabkan karena dirinya adalah perempuan berkulit hitam pertama yang ditempatkan ke bidang perhitungan NASA, di mana ada beberapa hal yang dapat dilihat permasalahannya, yakni: (1) NASA tidak memiliki fasilitas khusus terhadap orang kulit hitam, mengingat masih banyaknya negara bagian yang menerapkan aturan Jim Crows; (2) hampir semua orang di kantor tersebut masih memiliki stigma negatif terkait orang kulit hitam. Akibatnya, beberapa kali pekerjaan Katherine terhambat ditambah dirinya yang diremehkan oleh beberapa pihak karena latar belakang dirinya.

Hal yang serupa dalam membahas ketidakadilan dalam lingkup ras terjadi pada Mary Jackson yang ditugaskan untuk bekerja dengan para insinyur NASA. Dirinya mengalami pembatasan dalam urusan pendidikan dan pekerjaan, di mana Mary yang lulus dari sekolah khusus kulit hitam sehingga ketika ia ingin melamar posisi menjadi seorang insinyur, dirinya mendapati hambatan baru yaitu diharuskan lulus dari sekolah umum (untuk orang berkulit putih). Terakhir, pembatasan terjadi kepada Dorothy Vaughan, yang saat itu mengunjungi perpustakaan untuk mencari buku yang sesuai dengan apa yang ingin ia pelajari bersama anak-anaknya, dalam hal ini Dorothy dan kedua anaknya mengalami pengusiran paksa oleh polisi karena perempuan berkulit putih yang melaporkan mereka dengan alasan pelanggaran dan melewati batas.

Selain permasalahan ketidakadilan dalam segi rasial, ada permasalahan lain yang disorot dalam film ini, yakni terkait ketidakadilan gender. Dalam sejarahnya, perkembangan feminisme telah melalui berbagai badai gelombang sebelum akhirnya para perempuan berhasil memperoleh kehendak mereka. Pada awalnya, gerakan feminisme dianggap sebagai usaha-usaha untuk menghadapi patriarki (antara tahun 1550-1700) di Inggris di mana fokus pada gerakan ini adalah untuk melawan pandangan patriarkis mengenai posisi subordinat perempuan dikarenakan adanya stigma bahwa perempuan lebih lemah, emosional dan tidak rasional.

Pada awal adegan film, Katherine, Mary, dan Dorothy sempat mengalami hambatan di hari pertama mereka kerja, yaitu ketika mobil yang mereka kendarai mogok, seorang polisi patroli menghampiri mereka bertiga dengan perasaan curiga dan khawatir bahwa mereka adalah kriminal. Beberapa pertanyaan ditujukan untuk menginsvesitgasi Katherine, Mary, dan Dorothy hingga pada akhirnya terungkap bahwa mereka staf NASA. Bahkan, terdapat beberapa komentar yang mengarah ke arah stigmatisasi negatif pada kaum kulit hitam yang kemudian dibalas oleh Dorothy dengan berkata, “Ada beberapa perempuan yang bekerja di program luar angkasa.”. Dari adegan ini, polisi akhirnya percaya bahwa ketiga sahabat ini adalah orang yang ‘jelas’ karena menyebut nama astronot Amerika yang ingin terbang ke luar angkasa. Dengan kata lain, ketiga perempuan ini tidak dilihat eksistensinya karena tertutup oleh bayang-bayang astronot laki-laki berkulit putih tersebut.

Adegan paling menonjol yang membuka peluang hilangnya segregasi adalah ketika bos Katherine, Harrison, memojokkan Katherine akibat dirinya yang terpaksa menempuh 40 menit untuk ke kamar mandi khusus. Ketika dipojokkan, emosi Katherine pecah dan berkata bahwa “Tidak ada toilet untuk saya di sini” dengan menambahkan betapa kerasnya dia bekerja, betapa banyaknya diskriminasi dan seksisme yang diterima, rendahnya pendapatan yang diterima hanya karena dirinya perempuan dan berkulit hitam, hingga betapa sulitnya dia berlari hanya karena ingin buang air kecil. Setelah mendengar keluhan Katherine, Harrison memutuskan bahwa sudah waktunya untuk perubahan dan merobohkan tanda "kamar mandi berwarna" yang mengatakan "Tidak ada lagi toilet berwarna, tidak ada lagi toilet putih [...] Kita semua adalah sama". Ketika menghancurkan tanda "kamar mandi berwarna", Harrison ingin menunjukkan bahwa NASA harus membuat perubahan dan memperhatikan kebebasan karyawannya terlepas dari warna kulit mereka. Setelah peristiwa ini, pekerja laki-laki menjadi jauh lebih toleran dan menerima rekan Afrika-Amerika mereka, dan bahkan menghapus beberapa kesalahan mereka sebelumnya seperti menempatkan tanda “berwarna” dalam beberapa barang dan fasilitas yang dikhususkan untuk orang berkulit hitam pada awal periode Katherine bekerja.

Akhir film memberikan gambaran sekilas tentang apa yang sebenarnya dicapai oleh Katherine Johnson, Dorothy Vaughan dan Mary Jackson. Katherine telah berhasil membuat perhitungan penting untuk misi Apollo 11 dan Space Shuttle, Dorothy yang akhirnya diangkat menjadi supervisor kulit hitam pertama NASA, dan Marymenjadi insinyur wanita kulit hitam pertama NASA. Pada 2015, Presiden AS, Barrack Obama memberikan Mary “Presidential Medal of Freedom”. Kate Erbland (2017) dalam tulisannya di situs IndieWire menuturkan bahwa film “Hidden Figures” telah berhasil menginspirasi generasi pemimpin perempuan di mana telah tercatat dalam program pertukaran yang didanai publik yakni #HiddenNoMore yang akan membawa sekitar 50 perempuan yang bekerja di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika di beberapa 50 negara yang ada di Afrika, Eropa, Asia, dan Amerika Latin ke Amerika Serikat selama satu bulan pertemuan dengan berbagai organisasi dan kelompok.

Dapat disimpulkan bahwa film “Hidden Figures” adalah film brilian yang menyoroti masalah ketidaksetaraan di dalam tempat kerja dan hambatan yang harus diatasi oleh wanita Afrika-Amerika untuk mencapai kesuksesan. Film ini patut diapresiasi karena penggambaran peristiwa yang dramatis dan monolog kuat yang berhubungan dengan perjuangan perempuan kulit berwarna. Namun, terlepas dari nuansa dramatisnya, peristiwa kehidupan nyata dalam kehidupan Katherine Johnson, Mary Jackson, dan Dorothy Vaughan diubah untuk mengangkat peran pria kulit putih dalam pertempuran melawan ketidaksetaraan mereka sementara pada kenyataannya para perempuan di luar sana juga masih terbatas dalam kekuatan mereka serta tidak dapat menikmati kebebasan yang sama seperti yang dimiliki rekan-rekan mereka

            Pemeran/Aktor

  • Taraji P. Henson sebagai Katherine Johnson
  • Octavia Spencer sebagai Dorothy Vaughan
  • Janelle Monae sebagai Mary Jackson
  • Glen Powell sebagai John Glenn (sang astronot)

*****

*) Penulis adalah mahasiswi Sosiologi FISIP Unsoed tahun angkatan 2020.

----------

KBMS 2022

Pengembangan Intelektual

Kabinet Meranika Antara

Komentar