Pembelokan Arah Generasi Ketiga Mazhab Frankfurt: Konsep Pengakuan Diri Axel Honnet


Secara historis, Teori Kritik Mazhab Frankfurt memfokuskan kajian dengan memberikan pengkritikan terhadap permasalahan sosial masyarakat. Mazhab Frankfurt sendiri memiliki tiga generasi, di mana masing-masing generasi memiliki tokoh dan pemikiran yang variatif. Generasi pertama berfokus menerapkan emansipatoris dalam membangun fondasi teori kritik dengan mengakui hubungan subjek-objek. Namun, generasi pertama pada akhirnya mengalami kebuntuan pemikiran akibat terjebak dengan kritik yang dibangun sendiri. Generasi kedua yakni yang terkenal adalah pemikiran Jurgen Habermas memiliki konsep teori berupa tindakan komunikatif. Habermas mencoba menjawab kebuntuan dari generasi pertama melalui teori kritis pengembangan kapasitas argumentatif subjek. Lalu generasi termuda yakni generasi ketiga, Axel Honneth membentuk konsep pengakuan diri. Adapun Honnet memberikan beberapa pendapat yang kurang setuju dengan konsep komunikatif dari Habermas.

Seperti yang diketahui para pendahulu yakni generasi pertama dan kedua Teori Kritik Mazhab Frankfurt dalam setiap pemikirannya menekankan pada kriteria normatif sebatas pada rasionalitas kognitif termasuk pemikiran Jurgen Habermas tentang teori komunikatifnya. Habermas fokus pada penggunaan bahasa sebagai instrumen untuk mengembangkan diri seseorang melalui kecakapan berkomunikasinya. Namun, menurut Honneth sebagai generasi ketiga Mazhab Frankfurt, ia menganggap generasi terdahulu melupakan satu hal penting dalam individu yaitu pengakuan yang berkaitan dengan subjektivitas dirinya. Honneth mengangkat aspek pengakuan sebagai salah satu hal terpenting dari semangat modernitas. Bagaimanapun bahasa tidak menjadi satu-satunya yang penting bagi hubungan antar subjek. Diperlukan perjuangan untuk pengakuan sosial atas diri dalam masyarakat.

Pada kali ini kita akan melihat konsep Honnet tentang pengakuan diri yang membantu individu untuk setara dengan subjek lainnya juga memperoleh keadilan. Berbeda dengan pemikiran dari Habermas, Honneth menegaskan pentingnya aspek pengakuan diri dalam melawan berbagai bentuk ketidakadilan yang biasanya menimpa subjek dalam tatanan sosialnya. Tatanan masyarakat tidak dibangun melaluli konsensus rasional saja, namun perlunya masuk ke dalam segi afektif dalam diri individu. Artinya jika para pendahulu (generasi satu-dua) melihat dari kepentingan rasio individu, maka Honnet lebih fokus pada kepentingan etis.

Perkembangan masyarakat modern menurut Honnet dapat ditandai dengan maraknya patologi sosial. Patologi sosial yakni kondisi kehidupan sosial yang kurang baik karena setiap subjek tidak dapat mengembangkan diri sesuai cita-cita atau kemauannya. Seiring kemajuan teknologi, rasionalitas individu mengalami defisit sehingga fungsi kritisnya tidak berkembang. Pada aspek rasio instrumental hanya fokus pada hubungan yang terjadi pada subjek-objek, padahal intersubjektivitas tak kalah penting. Honnet mengungkapkan bahwa teori kritis tidak dapat dibatasi hanya pada upaya mengkritisi segala bentuk ketidakadilan yang terjadi, namun juga harus membongkar segala bentuk patologi dalam masyarakat yang menjadi akar dari ketidakadilan tersebut (Runesi, 2014). 

Dalam kehidupan masyarakat, individu akan dipertemukan dengan individu-individu lainnya yang tentunya memiliki perbedaan. Kehidupan bersama atau dalam pluralitas terkadang ditemukan kelompok tertentu yang kurang dilihat dalam tatanan sosial. Katakanlah sebuah kelompok minoritas yang terkadang kurang dihargai, mendapatkan pandangan dan perlakuan yang berbeda. Habermas menyatakan bahwa relasi sosial dalam masyarakat akan tercipta dan terjalin dengan sendirinya melalui kecakapan komunikatif. Pernyataan tersebut disangkal oleh Honneth, karena tidak melihat adanya subjek etis, namun hanya melihat subjek pada bentuk rasionalitasnya melalui tindakan komunikatif. Padahal dalam hubungan antar manusia diperlukan relasi pengakuan yang membutuhkan perhatian, penghargaan dan kepercayaan diri. Hubungan dalam ruang sosial tak hanya sebatas tindakan instrumental, penting juga memperhatikan kebutuhan dan emosi seseorang, menghargai martabat secara moral dan hukum, apresiasi terhadap sesama. Honneth mengungkapkan keyakinannya bahwa “pengutamaan relasi interpersonal” dibandingkan “tindakan instrumental” membuka kemungkinan bagi tiap individu untuk mengekspresikan dirinya dan melalui persepktif yang dimiliki untuk saling mengakui satu sama lain sebagai sesama subjek (Fajrani, 2022).

Pengakuan atau yang dikenal juga rekognisi dari Axel Honneth sebagai bentuk konsekuensi atas adanya hierarki dan diskriminasi sosial kultural. Ada tiga wilayah dalam konsep teori pengakuan dari Honneth, yakni wilayah subjektif (cinta), wilayah objektif (hukum), dan wilayah sosial (solidaritas). Dalam wilayah cinta adanya proses pengakuan. Pada ranah ini pentingnya memiliki kepercayaan diri sebelum mendapatkan pengakuan dan mampu mengaktualisasikan dirinya. Kepercayaan ini dapat digambarkan dalam relasi cinta (love and self-confidence) bisa ditemukan dalam hal dasar atau basic seperti persahabatan, hubungan antar sesama atau keluarga. Misalnya, ambil contoh pada kelompok diabilitas yang memiliki keterbatasan dan perbedaan dibanding kelompok mayoritas lainnya. Kepercayaan ini dapat dibangun setelah mereka menemukan dukungan dan kasih sayang dari orang lain atau keluarga yang selalu memberikan semangat. Wilayah hukum yang disebut juga self-respect, melingkupi sebuah rasa memiliki terhadap sesama dan kesetaraan bagi seluruh manusia. Pada tingkat hukum ini proses pengakuan memang dapat melewati beberapa tahap perjuangan dalam mewujudkan hak-haknya. Misalnya, bagaimana kondisi kelompok minoritas Ras Tionghoa di Indonesia sebelum diakui dan mendapatkan penerimaan. Semua perlakuan negatif, pengucilan, teralienasi menjadi proses sebelum pada akhirnya mendapatkan pengakuan hukum. Selanjutnya solidaritas, dalam pengakuan hukum suatu individu atau kelompok tertentu perlu adanya pengakuan secara universal. Jika tidak sampai wilayah ini maka pengakuan hanya sebatas permasalahan hukum. Maka perlunya solidaritas yakni relasi antar subjek dan saling mengakui serta bersimpati sehingga mendapatkan kesetaraan. Bentuk solidaritas juga dapat terbentuk atas adanya pengakuan cara hidup yang berbeda, namun mampu merealisasikan diri dan kontribusinya dapar dihargai dalam kehidupan masyarakat. Proses pengakuan memang harus sampai pada tahap redefinisi struktur hierarkis pada masyarakat, berkenaan penerimaan mayoritas akan hal tersebut.

Kesimpulan

Axel Honneth sebagai generasi ketiga dalam aliran Teori Kritis Mazhab Frankfurt memberikan arah baru yakni pembelokan etis. Ia tidak menyalahkan pemikiran pendahulunya yang menekankan pada aspek rasio instrumental maupun tindakan komunikatif dari Habermas. Honnet mencoba menunjukkan bahwa ada hal lain yang juga penting yakni pada moral dan etis serta afeksi dari diri manusia. Menekankan pada hubungan intrasubjektif melalui konsep pengakuan diri sebagai konsep penting untuk mendapatkan penerimaan di dalam kehidupan masyarakat. Dalam tahapan pengakuan melewati tiga wilayah yakni cinta, hukum, dan solidaritas. Dimana ketiga hal tersebut saling berkaitan dalam rekognisi politik Honneth. Pengakuan untuk kelompok minoritas atau subjek tertentu tidak dapat berhenti hanya pada aspek normatif hukumnya saja, namun perlu penerimaan dari subjek lainnya atas kehadirannya.

Nampak bahwa konsep teori pengakuan Axel Honnet seperti penjabaran di atas dapat diterapkan dalam bingkai negara yang plural seperti Indonesia. Melihat kilas balik dahulu beberapa kaum minoritas seperti sekelompok penduduk ras Konghucu, komunitas aliran keagamaan tertentu, disabillitas dan sebagainya perlu mendapatkan pengakuan yang tidak hanya normatif hukum saja namun kesetaraan secara nyata berkaitan dengan penerimaan dan pengakuan dari kelompok mayoritas, agar hubungan intrasubjektif terjalin dengan baik.


Referensi:

Arifin, Patritius. (2019). Teori Rekognisi Axel Honneth. diakses dari http://fraterxaverian.org/blog/2019/04/09/infinited-identities-sexual-orientation/

Fajarni, Suci. (2022). Teori Kritis Mazhab Frankfurt: Varian Pemikiran 3 (Tiga) Generasi Serta Kritik Terhadap Positivisme, Sosiologi, dan Masyarakat Modern, Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuludin, 21(1), 72-95. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh.

Marta, Rustono, F. (2018). Perjuangan Multikulturalisme Perhimpunan Indonesia Tionghoa dalam Perspektf Rekognisi Axel Honneth. Universitas Bunda Mulia

Meitikasari, Diah & Oktarizal, D. (2021). Rekognisi Axel Honneth: Gramatika Moral Bagi Defisit Rasionalitas Beragama, Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, 6(1), 24-47. IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung.

Mukminto, Eko & Awaludin, M. (2019). Pluralisme Hukum Progresif: Memberi Ruang Keadilan Bagi yang Liyan.

Prabowo, Rian, A. (2019). Politik Rekognisi Axel Honneth: Relevansinya terhadap Jaminan Kesetaraan dalam Hukum di Indonesia, Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 4(2), 75-88. Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia.

Runesi, Yasintus, T. (2022). Pandangan Axel Honneth Tentang Keadilan Sebagai Institusionalisasi Kebebasan dalam Relasi Pengakuan, Jurnal Melintas, 36(1), 98-128.

Runesi, Yasintus, T. (2014). Pengakuan Sebagai Gramatika Intersubjektif Menurut Axel Honneth, Jurnal Melintas, 30(3), 323-345.


*) Penulis adalah mahasiswi Sosiologi FISIP Unsoed tahun angkatan 2020.

----------

KBMS 2022

Pengembangan Intelektual

Kabinet Meranika Antara

Komentar