Aisyah, seorang gadis berusia 7 tahun itu tengah duduk sambil
menatap lekat anak sekolah yang berjalan melewati jalan rumahnya. Ada tatapan
sendu di wajah Aisyah, rasanya Aisyah ingin seperti mereka namun keinginan
tersebut ia kubur dalam-dalam. Ya, walaupun dirinya adalah seorang gadis kecil
berusia 7 tahun, namun pemikirannya sudah seperti orang dewasa. Mengingat ia
tinggal bersama Ibunya, tanpa seorang Ayah. Ayahnya meninggalkan mereka ketika
Aisyah berusia 1 tahun dengan alasan hendak mengadu nasib di kota, namun hingga
saat ini tidak ada kabar dari Ayahnya.
Tanpa ia sadari, Ibunya melihat wajah sendu
Aisyah. Ibunya menghampiri Aisyah sambil mengelus pundak Aisyah.
“Nak, maafkan Ibu … Ibu belum bisa menyekolahkan
kamu …” lirih Ibunya, dan lalu cairan bening turun dari pelupuk mata Ibunya.
Aisyah menghapus tangis tersebut, seraya
berkata, “Ibu tidak perlu minta maaf, Aisyah tidak apa-apa kok kalau Aisyah
tidak sekolah, asalkan Aisyah bisa terus bersama Ibu.”
Ibunya tersenyum, “Makasih ya Nak, sudah pengertian
sama Ibu. Ibu janji nantinya jika ada rezeki, Ibu akan menyekolahkanmu.”
Aisyah mengangguk pelan sambil sambil memeluk
Ibunya, “Iya, Bu.”
Ibu Aisyah setiap harinya bekerja sebagai pemulung. Ya, tak ada
pilihan lain selain menjadi pemulung, mengingat dirinya yang tak bersekolah.
Aisyah juga setiap harinya ikut membantu Ibunya mencari barang rongsokan,
walaupun pada awalnya Ibunya tidak mengizinkannya untuk ikut serta.
Ketika Aisyah dan Ibunya tengah istirahat. Mata Aisyah tertuju
pada sekumpulan anak-anak seusianya yang tengah diajar oleh beberapa kakak
perempuan berjilbab. Seorang wanita berhijab itu menyadari Aisyah yang tengah
menatapnya. Wanita berhijab tersebut pun menghampiri Aisyah.
“Assalamu’alaikum,” sapanya sambil tersenyum.
“Waalaikumsallam,” jawab Aisyah dan Ibunya
berbarengan.
“Ada apa ya, Nak?” tanya Ibu Aisyah kepada
wanita berhijab tersebut.
“Sebelumnya perkenalkan saya Wanda. Jadi begini
Bu, tadi saya lihat anak Ibu melihat saya dan teman-teman sedang mengajar.
Barangkali anak Ibu berminat untuk belajar bersama, saya persilakan Bu.”
Ibunya menatap Aisyah, “Aisyah mau belajar
bareng kakak cantik ini?”
Aisyah mengangguk pelan, “Iya, Bu boleh.”
“Kak maaf, kalau boleh tahu berapa biaya
belajarnya ya?”
“Tidak usah bayar Bu. Kami di sini mengajar
anak-anak karena Allah, dan juga kami ingin anak-anak yang kurang mampu bisa
menuntut ilmu di sini.”
“Alhamdulillah, terima kasih Kak.”
“Sama-sama, Bu. Kalau begitu dek Aisyah bisa
belajar bareng kaka sekarang. Ayo Bu, dek Aisyah.”
Ibu dan Aisyah pun mengikuti langkah wanita berhijab tersebut.
Aisyah pun lalu mulai belajar bersama teman-teman barunya. Tak lama kemudian,
selesailah kegiatan belajar mengajar. Wanita berhijab tersebut menghampiri Ibu
Aisyah.
“Permisi Bu, kalau boleh tanya Aisyah ini
sekolah tidak?”
“Tidak kak. Sebenarnya saya ingin sekali
menyekolahkan Aisyah, namun untuk makan saja kami kadang ada kadang tidak ada
uang, bagaimana bisa saya menyekolahkan Aisyah.”
“Saya lihat Aisyah ini gampang sekali bergaul
dan juga gampang sekali dalam menangkap materi. Bagaimana jika Aisyah
bersekolah saja? Untuk biaya sekolahnya kami yang akan tanggung, kebetulan saya
dan teman-teman tergabung dalam Komunitas Peduli Generasi Bangsa, di mana kami
mengumpulkan donasi dari para donatur, serta dari hasil menjual pakaian bekas.
Lalu anak-anak yang tadi saya dan teman-teman saya ajar itu adalah anak-anak
jalanan, dan kami bantu mereka bersekolah dengan harapan mereka juga dapat
meneruskan mimpi kami semua, yaitu anak-anak yang tidak mampu pun dapat
menuntut ilmu. Jadi bagaimana Bu, Ibu berkenan agar Aisyah kami bantu untuk
sekolah?”
“Alhamdulillah kalau begitu, saya bersedia Kak.
Terima kasih banyak Kak.”
“Sama-sama Bu. Kalau begitu saya pamit ya ...
Asalamu’alaikum.”
“Waalaikumsallam.”
Aisyah dan Ibunya pun pulang ke rumah. Esok harinya kakak berhijab yang mereka jumpai pada hari lalu, datang ke rumah untuk menjemput Aisyah untuk mendaftarkan Aisyah di sebuah sekolah dasar. Aisyah pun menuntut ilmu dan bersyukur dapat menikmati kehidupan sekolahnya dengan riang.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun.
Tak terasa kini Aisyah sudah lulus SMA, dan ia mendapatkan beasiswa di sebuah
perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia. Selama ia kuliah, ia membagi
waktunya untuk belajar, serta melakukan hobinya yaitu menulis, dan bekerja.
Hobinya itu ia lakukan dengan telaten hingga akhirnya membuahkan beberapa karya
berupa novel yang diterbitkan di penerbit mayor, dan lalu kini novelnya sudah
tersebar di toko buku. Selain hobinya yaitu menulis, ia juga mendirikan sebuah
Komunitas Peduli Literasi. Di mana ia bersama teman-teman komunitasnya
menghimpun serta menempatkan buku-buku novel di tempat umum, dengan harapan
mereka menjadi gemar membaca. Bukan hanya itu saja, komunitasnya pun mengadakan
belajar mengajar bagi anak-anak jalanan seperti yang dilakukan kak Wanda dan
teman-temannya dahulu yang telah membantunya hingga ia bisa seperti saat ini.
4 tahun kemudian Aisyah pun wisuda. Setelah
wisuda, ia memberangkatkan Ibunya haji dari tabungan penghasilan selama ia
bekerja, selain itu Aisyah diterima di sebuah perusahaan besar. Uang dari
bekerja di perusahaan tersebut kemudian ia tabung. Lalu 3 tahun kemudian
uangnya ia gunakan untuk membangun sebuah sekolah untuk anak-anak jalanan, dan
juga untuk membuat perpustakaan keliling yang dapat bermanfaat untuk sesama.
*) Penulis adalah mahasiswi Sosiologi FISIP Unsoed tahun angkatan 2021.
----------
KBMS 2022
Pengembangan Intelektual
Kabinet Meranika Antara
Komentar
Posting Komentar