Laki-Laki dalam Racun Maskulinitas Masyarakat Patriarkis

 


Laki-laki kok pake baju pink!”

“Kamu tuh cowok, masa nangis, sih?!”

“Warna cowok tuh biru! Bukan pink, apalagi ungu.”

Rasanya kalimat seperti di atas sangat familiar di telinga, bukan? Begitulah kira-kira masyarakat telah membentuk dunia menjadi lebih kaku dan terkotak-kotakkan dalam belenggu patriarkis oleh aturan-aturan yang entah dari mana terkesan seperti muncul secara tiba-tiba dan tanpa aba-aba.

Secara konservatif manusia di berbagai belahan dunia manapun telah menata dirinya dalam konstruksi masyarakat patriarkis. Laki-laki dianggap berhak memiliki posisi yang superior terhadap perempuan di berbagai sektor kehidupan; baik secara domestik maupun publik, sehingga perempuan seakan-akan tidak memiliki independensi.

Dalam kajian gender, sistem patriarki sejatinya dianggap sebagai momok atau sesuatu yang menakutkan layaknya hantu karena dianggap melanggengkan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Zuhrah (2012) menjelaskan bahwa secara terminologi, sistem ini diartikan untuk menunjukkan pemahaman kekuasaan laki-laki, kekuasaan dengan seperti apa laki-laki mampu menguasai perempuan, hingga sistem yang membuat perempuan dikuasai dengan bermacam-macam cara.

Pemahaman atau ideologi inilah yang merupakan salah satu bentuk dari ideologi hegemoni, yaitu suatu ideologi yang membenarkan sebuah penguasaan satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Dominasi kekuasaan seperti ini dapat terjadi pada antarkelompok berdasarkan perbedan antar jenis kelamin, agama, ras, atau kelas ekonomi. Menurut Pyke (1996), terdapat tiga asumsi penting yang mendasari ideologi ini:

  1. Adanya kesepakatan sosial yang sebenarnya hanya menguntungkan kepentingan kelompok yang dominan serta cenderung dianggap telah mewakili kepentingan keseluruhan.
  2. Ideologi hegemonis ini merupakan bagian dari pemikiran sehari-hari, cenderung diterima apa adanya (taken for granted) sebagai sesuatu yang memang demikianlah semestinya.
  3. Dengan mengabaikan kontradiksi yang sangat nyata antara kepentingan kelompok yang dominan dengan kelompok subordinat, ideologi ini dianggap sebagai penjamin kohesi dan kerjasama sosial karena jika tidak demikian, maka akan menimbulkan suatu konflik.

Lalu, apa hubungan antara warna dan emosi, dengan laki-laki? Sebagai bagian dari konstruksi sosial, maskulinitas sangat dipengaruhi oleh budaya, sehinga nilai-nilai maskulinitas bisa bebeda antara satu tempat dengan yang lain. Demartoto (2012) menjelaskan bahwa nilai maskulinitas sangat kental sekali di Indonesia, bahkan sudah tertanam pada bayi laki-laki yang masih merah kulitnya.

Adapun Alimi (2004) mengungkapkan bahwa pada dasarnya, orientasi kehidupan manusia telah terkotak-kotakkan. Dalam hal ini, laki-laki diharuskan menjadi maskulin sedangkan perempuan harus menjadi feminim. Nilai-nilai yang telah terwariskan dari generasi ke generasi ini memberikan beban berat yang harus dipikul, menjadikan mereka harus mengarahkan diirnya agar sesuai dengan apa yang telah “digariskan” tersebut. Maka kemudian timbullah aturan-aturan tidak tertulis dan harus dipatuhi sebagaimana yang telah disebutkan di awal tadi, yakni: tidak boleh cengeng, menangis gemulai, memakai warna yang terlihat feminim, dan berbagai ciri yang menggambarkan sifat “kewanitaan”.

Dalam kukungan budaya toxic masculinity, seluruh gender khususnya laki-laki pada hal ini seakan-akan tidak dapat terbebas dari aturan-aturan yang mengotak-kotakkan mereka ke dalam dua ruang yang berbeda (maskulin dan feminim). Mulai dari bagaimana laki-laki digambarkan sebagai sosok yang gagah dan pantang menangis; warna-warna cerah seperti ungu, kuning, dan masih banyak lagi warna yang tidak pantas disukai oleh laki-laki; hingga gaya berpakaian di mana laki-laki tidak boleh menggunakan rok/gaun ataupun sepatu ber-hak tinggi, dan perempuan yang tidak boleh terlalu sering memakai celana ataupun memiliki rambut pendek, sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh berlangsungnya budaya maskulinitas beracun yang hidup di dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat yang patriarkis.

Padahal jika melihat dari sejarahnya, pakaian yang saat ini identik dengan perempuan (gaun/rok ataupun sepatu hak tinggi) sebenarnya sudah lebih dahulu digunakan dan dipopulerkan oleh laki-laki. Seperti di abad pertengahan misalnya, rok atau gaun panjang saat itu menyimbolkan kelas sosial yang dimiliki oleh masyarakat pada saat itu. Hal ini senada pada masa kepemimpinan Raja Louis XIV, gaya berpakaian dengan gaun hingga pemakaian sepatu hak tinggi telah menjadi ajang untuk menunjukkan status dan kekuasaan mereka.

Seiring berjalannya waktu dan masuknya pemikiran-pemikiran baru di masyarakat, laki-laki semakin lama menilai bahwa penggunaan pakaian seperti gaun/rok ataupun sepatu hak tinggi telah dinilai kurang praktis. Akan tetapi, guna tetap menunjukkan status sosial mereka, para istri seolah-olah menjadi ‘tumbal’ para pasangannya untuk tetap memenuhi ego dan gengsinya dengan cara tetap menggunakan pakaian-pakaian yang awalnya ditujukan untuk laki-laki. Simone de Beauvoir, dalam hal ini, menyatakan bahwa pemakaian pakaian tersebut sebenarnya merupakan upaya masyarakat patriarkis untuk dapat membatasi gerak perempuan dengan iming-iming perempuan dapat terlihat seksi dan rupawan.

Sosiolog Jerman George Simmel dalam esainya mengenai ‘Budaya Perempuan’ (1984) menjelaskan secara berani mengenai hal-hal yang belum pernah laki-laki lakukan, yakni mengenai bagaimana bentuk-bentuk sosial dan budaya modernitas telah dikelompokkan secara eksplisit dengan mengakar kepada dialektika bentuk dan kehidupan, baik secara objektif maupun subjektif dalam konsep maskulin:

… our objective culture is thoroughly male. It is men who have created art and industry, science and commerce, the state and religion. The belief that there is purely ‘human culture’ for which the difference between man and woman is irrelevant has its origins in the same premise from which it follows that such a culture does not exist—the naïve identification of the ‘human’ with a ‘man’. (Simmel, 1984: 67)

Simmel tidak hanya mengekspos bentuk-bentuk sosial dan budaya objektif sebagai bentuk-bentuk maskulin yang sudah lama secara naif dianggap sebagai sesuatu yang netral. Dalam hal ini, ia bermaksud melawan pandangan naif tersebut dengan cara memisahkan objektivitas dari praduga netralitas dan mengaitkannya dengan maskulinitas. Bagi Simmel sendiri, objektivitas dan maskulinitas merupakan unsur yang secara bersama tidak akan pernah dihancurkan karena kapasitas untuk objektifikasi itu sendiri merupakan kapasitas eksklusif laki-laki.

Maskulinitas merupakan sebuah stereotype mengenai laki-laki yang dipertentangkan dengan feminitas sebagai stereotype perempuan (Darwin, 1999). Kedua unsur ini (maskulin dan feminim) sejatinya telah dianggap sebagai dua kutub sifat yang berlawanan dan membentuk suatu garis lurus yang tiap titiknya menggambarkan derajat kelaki-lakian (maskulinitas) atau keperempuanan (feminitas). Hal ini lah yang kemudian akan menimbulkan hubungan yang bias antara laki-laki dan perempuan di mana hegemoni laki-laki terhadap perempuan dianggap menjadi sesuatu yang kodrati dan telah menjadi bukti kuat bahwa konsep hubungan kedua gender yang egaliter ini akan semakin sulit terwujud.

Di dunia ini, manusia percaya bahwa sesuatu yang skalanya berlebihan pasti tidak akan berakhir dengan baik; begitu pula dengan maskulinitas. Psikolog klinis, Ellen Hendriksen dalam situs SHRM (The Society for Human Resource Management) mengatakan bahwa maskulinitas beracun (toxic masculinity) terjadi ketika rasa hormat dan keseganan seseorang telah digabungkan secara keliru. Biasanya, pada maskulinitas tradisional, rasa hormat bisa setara dan tidak menyiratkan peringkat atau hierarki sehingga terdapat harapan atau kekaguman atas pencapaian seseorang yang terlibat di dalamnya. Tetapi, maskulinitas yang beracun menurut Hendriksen berbeda dengan konsep maskulinitas tradisional pada umumnya. Hal ini disebabkan karena mereka yang mempraktikan dan melanggengkan tindakan ini sejatinya membutuhkan rasa hormat dan pengakuan. Orang-orang ini percaya bahwa orang lain harus mematuhi aturan mereka atau tunduk pada mereka sehingga secara tidak langsung membentuk sebuah hierarki dan status di dalamnya.

Dikutip dari situs New York Times, sebuah studi dari Journal of School of Psychology telah mendefinisikan maskulinitas beracun sebagai konstelasi sifat-sifat (maskulin) yang regresif secara sosial di mana berfungsi untuk mendorong dominasi, devaluasi perempuan, homophobia, dan kekerasan sewenang-wenang. Seiring berjalannya waktu, pengertian maskulinitas beracun telah berkembang menjadi sebuah norma sosial mengenai bagaimana laki-laki seharusnya berlaku. Padahal, Sandra L. Bem (1974) telah menjelaskan bahwasanya manusia memiliki kedua sifat (maskulin dan feminim) secara bersamaan yang tentunya berguna bagi manusia itu sendiri (Nadia, 2020).

Budaya toxic masculinity tentunya telah menimbulkan banyak dampak buruk bagi orang lain, khususnya laki-laki itu sendiri. Banyak sekali penelitian-penelitian yang telah membuktikan dampak negatif dari adanya budaya ini, yakni dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental laki-laki, juga turut andil dalam memengaruhi kurangnya waktu tidur hingga depresi. Adapun penelitian lain yang menyatakan bahwa laki-laki cenderung tidak ingin berobat ke rumah sakit saat diperlukan karena takut dianggap lemah atau tidak mampu menafkahi keluarga mereka.

Selain dampak kesehatan, toxic masculinity juga memiliki dampak sosial yang buruk—dan tentunya merugikan banyak orang. Mulai dari rape culture, kekerasan, hingga pengasingan sosial. Sayangnya, tidak ada jawaban yang pasti untuk mengatasi masalah maskulinitas beracun ini. Untuk melakukannya, masyarakat tentu membutuhkan beberapa hal di sekitar—khususnya pada stereotip gender dan juga stigma mengenai kesehatan mental seseorang.

Akan tetapi, kita sebagai individu tetap bisa mencegah berlangsungnya budaya ini mulai dari hal-hal kecil. Misalnya, mengingatkan ke diri maupun orang lain bahwa sejatinya emosi, warna, hingga aktivitas manapun tidak memiliki gender, sehingga tidak ada lagi stigma-stigma yang melekat pada unsur-unsur tadi. Individu juga harus lebih sadar lagi akan tindakan-tindakan yang kurang mengenakkan, jangan menormalisasikan hal negatif tersebut dengan berlindung kepada tameng “ah gak apa-apa, namanya juga lelaki” atau “yaa, pantes aja dia begitu, kan dia perempuan”. Adapun cara lain yaitu lebih cermat dalam mengambil sikap dengan membangun budaya maskulinitas yang lebih sehat melalui permodelan peran. Hal ini bisa ditunjukkan melalui sikap-sikap bijak dan tidak berperilaku seksis dalam kehidupan sehari-hari apapun pekerjaan yang sedang ditekuni saat ini.

Terakhir, maskulinitas memang bisa merusak dan merugikan. Namun, baik dari sikap konservatif maupun liberal dalam masalah ini biasanya salah memahami bagaimana istilah maskulinitas beracun ini berfungsi. Saat ini, sangat penting untuk mempromosikan healthy masculinity, atau positive masculinity. Hal itu tidak hanya bermanfaat bagi laki-laki, tetapi pemahaman maskulinitas yang sehat bermanfaat pada upaya menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.


Referensi :

Alimi, M. (2004). Dekonstruksi Seksualitas Poskolinial, dari Wacana Bangsa hingga Wacana Agama.

Althof, H. (2021). How Toxic Masculinity is Ruining Your Workplace Culture. Lowa: SHRM. https://www.shrm.org/hr-today/news/all-things-work/pages/how-toxic-masculinity-is-ruining-your-workplace-culture.aspx.

Darwin, M. (1999). Maskulinitas: Posisi laki-laki dalam masyarakat patriarkis. Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University4, 1-10.

Demartoto, A. (2012). Tubuh Perempuan Dalam Konstruksi Teoritik Postmodernisme. Sosiologi: Dilema30(2), 89-98.

Hernanta, Malvin. (2021). Bagaimana Bila Pria Mengenakan Rok? Ini Dia Sejarahnya. Yoursay.id: Lifestyle. yoursay.suara.com. https://yoursay.suara.com/lifestyle/2021/01/05/144622/bagaimana-bila-pria-mengenakan-rok-ini-dia-sejarahnya.

Lianawati, Ester. (2021). Dan Raja Louis XIV pun mengenakan sepatu bertumit tinggi. Kumparan: Eintertainment. Kumparan.com. https://kumparan.com/ester-lianawati-1584868866627522859/dan-raja-louis-xiv-pun-mengenakan-sepatu-bertumit-tinggi-1wUoZ5j4Bj9/full.

Nadia, F. (2020). Toxic Masculinity. Yayasan Pulih. http://yayasanpulih.org/2020/02/toxic-masculinity/.

Pyke, K. D. (1996). Class-based masculinities: The interdependence of gender, class, and interpersonal power. Gender & Society10(5), 527-549.

Salam, M. (2019). What is Toxic Masculinity?. NYTimes. https://www.nytimes.com/2019/01/22/us/toxic-masculinity.html.

Salter, M. (2019). The Problem With a Fight Against Toxic Masculinity. Sydney: The Atlantic. https://www.theatlantic.com/health/archive/2019/02/toxic-masculinity-history/583411/.

White, T. (2021). Defiining—and Addressing—Toxic Masculinity. Healthline. https://www.healthline.com/health/toxic-masculinity.

Witz, A. (2001). Georg Simmel and the masculinity of modernity. Journal of Classical Sociology1(3), 353-370.

Zuhrah, F. (2012). Konsep kesetaraan gender dalam perspektif islam. Tanzimat: Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan Kemasyarkatan12(12), 35-50.


*) Penulis adalah mahasiswi Sosiologi FISIP Unsoed tahun angkatan 2020

----------

KBMS 2022

Pengembangan Intelektual

Kabinet Meranika Antara

Komentar