Review Film: The Florida Project (2017)


The Florida Project menceritakan kisah sepasang anak dan ibu yang terjebak dalam kemiskinan. Film ini dibesut oleh salah satu sutradara Amerika Serikat, Sean Baker dan didistribusikan oleh rumah produksi A24 pada tahun 2017. Film dengan budget $2 juta ini mampu meraup keuntungan hingga lebih dari $11 juta dari penonton di seluruh dunia. Jika melihat perbandingan antara budget dan penghasilan yang didapatkan oleh The Florida Project, keuntungan yang didapatkan oleh film ini terbilang fantastis. Tak hanya itu, film ini juga berhasil mendapatkan berbagai penghargaan, termasuk memenangkan piala Oscar di ajang penghargaan Academy Award. Saya pribadi sangat menyukai film ini dan bahkan memasukkannya ke daftar film favorit saya sepanjang masa.

 

Sinopsis

Seorang ibu tunggal bernama Halley dan anaknya Moonee yang berusia 6 tahun sudah dua minggu tinggal di sebuah motel bernama The Magic Castle. Motel ini dikelola oleh manajer baik hati bernama Bobby (Willem Dafoe). Seperti yang sudah disinggung pada pembukaan, kedua ibu dan anak ini terjebak dalam kemiskinan dan harus berusaha keras untuk bisa bertahan hidup (termasuk membayar sewa kamar motel). Berbagai macam cara Halley lakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan keduanya, mulai dari menjadi PSK di kamar motel yang ditempatinya, menjual tiket murah, hingga mencuri berbagai mainan dan pakaian dari sebuah toko.

Meskipun begitu, Moonee menjalankan kehidupannya dengan bahagia. Kesehariannya dihabiskan untuk bermain dan berpetualang bersama sahabat-sahabatnya. Halley sendiri sangat memberikan kebebasan kepada Moonee dan selalu menjadi pagar besi baginya, sekalipun Moonee terjebak dalam masalah besar yang disebabkan olehnya sendiri.

 

Kehidupan Cerah Anak di Tengah Kelamnya Kehidupan Orang Dewasa

Seperti yang sudah disinggung pada sinopsis, The Florida Project menceritakan cerita kehidupan bahagia anak-anak di tengah kehidupan orang dewasa yang dipenuhi masalah. Hal ini ditunjukkan oleh sebagian adegan di film. Yang paling menonjol dalam hal ini adalah sikap tokoh Moonee yang tidak peduli pada permasalahan yang melibatkan dirinya dan ibunya. Kita dapat melihat bahwa kedua ibu dan anak ini berhadapan dengan permasalahan finansial. Hal ini menyebabkan mereka harus berusaha untuk mencari uang untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup, termasuk membayar motel tempat mereka tinggal.


Moone bersama ibunya, Halley

Berbagai macam barang mereka jual agar bisa mencukupi kehidupan mereka, mulai dari parfum hingga tiket murah ke tempat wisata. Ada pula momen ketika mereka setiap hari meminta jatah makan harian kepada seorang kerabat yang bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran. Moonee selalu dengan gembira datang ke restoran tersebut setiap siang untuk mendapatkan jatah makanan gratis mereka. Tak terbesit sedikit pun raut memelas ataupun beban di wajah Moonee setiap dia melakukan rutinitas tersebut.

Permasalahan finansial juga kerapkali menyeret Halley ke dalam beragam masalah. Misalnya ketika Halley dengan sengaja meninggalkan parfum yang dijualnya berserakan di jalan karena hampir tertangkap petugas keamanan. Peristiwa tersebut menyebabkan perselisihan yang terjadi antara supplier parfum tersebut dengan dirinya. Ketika para orang dewasa tersebut sibuk melakukan adu mulut, Moonee malah asyik mengikuti tarian yang ditayangkan oleh sebuah televisi di tempat tersebut, ketimbang menyimak perselisihan para orang dewasa tersebut.

Tidak hanya ketika melihat perselisihan yang dilakukan oleh ibunya, sikap santai ala anak-anak juga ditunjukkan Moonee ketika terjadi perselisihan di antara orang dewasa lainnya. Misalnya saat terjadi pertengkaran antara dua orang di halaman motel, Moonee hanya berteriak bersorak kepada kedua orang tersebut, seolah kejadian itu merupakan pertunjukkan yang menyenangkan untuk dinikmati. Berbeda dengan salah satu tetangga mereka, yang langsung menarik masuk anaknya untuk tidak melihat pertengkaran tersebut.

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, alur cerita pada film ini dipenuhi oleh berbagai permasalahan dan pertikaian orang dewasa. Walaupun begitu, anak-anak yang terlihat dalam film digambarkan sama sekali tidak terlibat pada permasalahan-permasalahan tersebut. Mereka lepas dari beban orang dewasa.

Moonee dan teman-temannya yang sedang bermain

Hal ini kerap kali terjadi di dunia nyata. Tak jarang para orang tua tidak membiarkan anaknya untuk mengetahui permasalahan yang mereka hadapi. Namun, menurut saya ini merupakan hal yang cukup unik dalam perfilman. Sejauh yang saya ketahui, biasanya film yang memotret tentang kehidupan keluarga miskin cenderung menceritakan kalau sang anak turut merasakan kesedihan yang dialami orang tuanya.

Mari kita bandingkan dengan film legendaris Italia berjudul Bicycle Thieves yang dirilis pada tahun 1948. Film ini menceritakan tentang seorang pekerja yang kehilangan sepedanya saat bekerja. Pekerja tersebut turut melibatkan anaknya dalam pencarian sepedanya yang hilang, sehingga sang anak harus terlibat pada permasalahan yang siap menghadapi pencarian sepeda tersebut. Bahkan, sang anak juga tampak menangis ketika harus menyaksikan ayahnya dihakimi oleh massa.

Perbandingan lainnya adalah film Metro Manila (2014) yang menceritakan tentang perjuangan sebuah keluarga perantau di Kota Manila, Filipina. Keluarga ini juga menghadapi permasalahan finansial. Permasalahan finansial menyebabkan sang anak harus turut merasakan kesusahan tersebut, misalnya terlihat ketika anak sulung keluarga tersebut harus merasakan sakit gigi karena sang orang tua tidak mampu untuk membawanya ke dokter gigi.

Tidak seperti kedua film tersebut, The Florida Project cenderung menghadirkan dunia anak-anak yang identik dengan keceriaan, di mana para anak-anak akan tetap bermain atau melakukan aktivitas kanak-kanak lainnya meskipun pada saat dan tempat yang bersamaan, para orang dewasa sedang menghadapi permasalahan berat yang seolah terdapat dinding pemisah di antara para anak dan orang dewasa. Walaupun sebenarnya Moonee juga harus menghadapi beban yang dirasakan ibunya, ia tak nampak harus turut merasakan beban tersebut.

 

Atmosfer Film yang Penuh Keceriaan

Tidak hanya dari segi cerita, film ini juga dibawakan dengan sangat ceria. Kekelaman yang sebenarnya bersemayam dalam cerita ini menjadi terasa sirna. Pada awal film, kita disambut oleh lagu Celebration milik Kool and Gang. Pemilihan lagu ini sebagai pengawal film memang terasa sangat mewakili para tokoh film ini yang seolah menjadikan kehidupan mereka sebagai sesuatu yang patut dirayakan.

Seperti pada film-filmnya yang lain, Sean Baker juga nampak ingin memancarkan kehangatan pada film satu ini melalui tone film yang terasa hangat dipandang. Tidak hanya memancarkan kehangatan, film ini juga keceriaan dan suka cita melalui pemilihan setting berwarna-warni yang keungu-unguan.



Karakter-karakter utama film ini (Moonee dan Halley) juga membawa kita untuk melihat kehidupan mereka dengan lebih menyenangkan. Seperti yang sudah berkali-kali disinggung sebelumnya, para tokoh menjalankan kehidupan yang dipenuhi oleh konflik. Namun, karakteristik tokoh yang santai dan berjiwa pemberontak membuat pertikaian-pertikaian pada film ini tidak terasa tegang untuk dilihat.

Para tokoh utama seringkali melontarkan ledekan dan kata-kata sisipan kasar ala Amerika di dalam pertikaian. Hal ini justru membuat saya sangat antusias ketika melihat sebagian besar konflik dalam cerita ini. Misalnya adalah ketika Halley harus bertikai dengan manajer motel dikarenakan ia tidak diperbolehkan menerima ‘tamu’ di kamarnya. Halley meneriaki manajer motel tersebut dan menempelkan pembalut pada kaca lobi motel sebagai bentuk pemberontakan pada sang manajer motel.

 

The Florida Project Mengajak Kita untuk Melihat Kehidupan Melalui Kacamata Anak-anak

Selain penuh dengan keceriaan, hal lain yang saya minati dari film ini adalah mengenai cara pembuat film memilih sudut pandang cerita. Sean Baker seperti mengajak kita untuk melihat kehidupan para orang dewasa di film ini dari kacamata Moonee sebagai anak-anak. Kita mengetahui bahwa Halley merupakan seorang PSK yang kerap kali menerima pelanggan di kamar motelnya. Namun, tak sedikitpun nampak bagian yang menunjukkan rupa tamu-tamu tersebut. Kehadiran para tamu tersebut ditunjukkan secara halus, misalnya adalah hanya melalui suara erselisihan kecil antara Halley dan pelanggannya ketika Moonee sedang berendam di tabung mandi. Bagian ini seolah menunjukkan kepolosan anak-anak dalam memandang kehidupan orang dewasa.

 

Penutup

Film indie yang berdurasi hampir dua jam ini sangat layak untuk ditonton oleh semua orang. Film ini mematahkan pandangan terhadap kehidupan kaum marjinal kelas bawah yang terkadang dianggap kelam dan ditatap dengan sinis oleh masyarakat. Sebaliknya, film ini justru menyuguhkan cerita kaum marjinal dengan penuh keceriaan, melalui cerita, pemilihan warna, dan pembawaan para tokoh. Tak hanya itu, film ini juga seolah ingin memberitahu kita bahwa seberat apapun permasalahan yang kita hadapi, kehidupan tetap harus dijadikan sebagai suatu selebrasi yang patut untuk dirayakan.


*) Penulis merupakan mahasiswa Sosiologi FISIP Unsoed tahun angkatan 2020

Komentar