Kontribusi Media dalam Menciptakan Realitas (Semu) pada Masyarakat melalui Industri Budaya


Di era postmodern seperti saat ini, agaknya manusia sangat ditunjang dengan kemajuan ataupun inovasi teknologi yang juga senantiasa berjalan beriringan dengan dinamisnya kehidupan manusia itu sendiri. Keberadaan teknologi yang mungkin paling kita rasakan hari ini adalah media elektronik berupa smartphone. Sebuah benda yang sudah pasti semua manusia modern memilikinya, disebabkan oleh berbagai fitur yang disajikan guna membantu aktivitas manusia. Dengan hanya mengoperasikannya, kita bisa mendapatkan berbagai hal—entah itu informasi, pengetahuan, dan seterusnya—dengan begitu mudah. Sehingga kita seperti diguyur oleh air bah yang tak sanggup kita tampung.

Dari sekelumit salah satu contoh media yang telah dijelaskan di atas, agaknya kita disadarkan bahwa keberadaan “media” memiliki peran yang cukup berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Secara konsep sederhana, media merupakan sebuah instrumen yang digunakan untuk menyampaikan suatu informasi atau pesan kepada masyarakat secara luas—sehingga media disebut juga sebagai media massa—baik dalam bentuk teks, visual, audio, hingga gabungan di antara semuanya.

Mungkin jika ditinjau melalui perspektif sosiologi, yang terlintas di benak saya yaitu interaksionisme simbolik. Sebuah teori yang memiliki gagasan bahwa setiap individu dalam melakukan interaksi dengan sesamanya, pastilah melakukan proses internalisasi dan pemaknaan terhadap simbol-simbol sebelum bereaksi terhadapnya. Dalam konteks ini, media digunakan sebagai perantara bagi individu dalam melakukan interaksi melalui simbol-simbol yang digunakan—entah itu melalui tulisan, bahasa, gambar, ataupun suara.

Namun, kondisi yang ada saat ini agaknya membuat peran media tidak sesederhana yang kita bayangkan. Ia kini tidak hanya merupakan sebuah instrumen penyampai pesan, melainkan telah mengalami pergeseran peran yang cukup kompleks. Media kini mengejawantahkan diri sebagai instrumen yang dapat menjadi sumber income oleh para individu yang memiliki power. Atau dengan kata lain, media telah terkomodifikasi.

Media massa seperti televisi, smartphone, majalah, iklan, dan film menjadi sarana yang bersifat massif dalam mendistribusikan produksi budaya kepada khalayak. Hal tersebut dikenal dengan istilah industri budaya dalam bahasanya Theodor Adorno. Adorno merupakan seorang pemikir kritis Mazhab Frankfurt generasi awal bersama Max Hokheimer yang menganalisis fenomena sosial masyarakat Eropa (masyarakat industri) yang terjerat dalam kungkungan kapitalisme dengan rasio instrumentalnya.

Tidak hanya menganalisis fenomena sosial pada masyarakat industri, Adorno dan Hokheimer juga mengkaji secara kritis mengenai budaya. Dengan rasio instrumental, manusia modern cenderung mengedepankan hubungan subjek-objek (positivistik) hanya untuk mencapai tujuan subjek semata[1]. Dalam konteks ini, media hanya dijadikan instrumen bagi kapitalis untuk memperoleh profit dengan memanfaatkan masyarakat sebagai konsumennya. Artinya media telah mengalami pergeseran dari fungsi konservatifnya.

Secara ringkas, industri budaya merupakan hiburan sebagai suatu komoditas yang disirkulasikan melalui komersialisasi media massa. Melalui sirkulasi yang massif dari media, produk budaya tersebut akan memanipulasi masyarakat. Oleh karenanya, media dapat merekonstruksi realitas sosial.

Melalui tulisan singkat ini, saya akan mencoba menjelaskan sekelumit argumen dangkal saya mengenai komodifikasi media yang menciptakan realitas semu pada masyarakat melalui industri budaya. Sehingga saya akan banyak menyinggung gagasan Theodor Adorno yang membahas fetisisme komoditas.

 

Industri Budaya dan Komodifikasi Media

Industri budaya merupakan suatu istilah yang dikenalkan oleh Theodor Adorno. Dia merujuk pada fenomena industri pada masyarakat modern. Industri pada masyarakat modern ini cenderung memegang sistem atau mode produksi kapitalisme. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwasannya sistem ini memiliki pandangan untuk menguasai pasar dengan kekuatan modalnya sehingga dapat meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Keuntungan tersebut nantinya akan diputar kembali agar terus mendatangkan profit, dengan cara memproduksi komoditas secara massal—inilah yang biasa disebut sebagai nilai lebih. Komoditas merupakan segala hal ihwal yang memiliki nilai guna dan juga nilai tukar. Dalam paham kapitalisme, segala hal ihwal itu dapat dijadikan sebagai sebuah komoditas, tak terkecuali budaya.

Budaya yang secara esensial merupakan hasil pemikiran manusia yang dapat membawa pencerahan terhadapnya, justru dijadikan sebagai komoditas. Inilah yang disebut Adorno dan Horkheimer sebagai industri budaya. Dalam masyarakat modern, budaya hanya dijadikan produk industri berupa hiburan semata dan mengesampingkan esensi dari budaya itu sendiri.

Produk budaya yang dihasilkan oleh kapitalis, menurut Adorno mengandung unsur standardisasi dan massifikasi. Dalam bahasa yang sederhana, standardisasi merupakan pembetukan suatu sistem secara seragam dan sama. Artinya bahwa dalam industri budaya, produk budaya telah didesain sedemikian rupa sehingga menciptakan “kiblat” baru dalam masyarakat. Masyarakat akan secara serentak mengikuti kiblat tersebut dan dimanifestasikan dalam kehidupannya.

Misalnya saja pada kasus film atau musk. Telah diciptakan standardisasi terhadapnya berupa genre film atau musik yang digemari oleh masyarakat, sehingga dapat memperoleh profit yang banyak. Ini tidak lepas dari massifnya produksi budaya secara massal, dengan tujuan agar semakin mudah masuk ke dalam kehidupan masyarakat.

Keberhasilan produk budaya yang masuk di tengah kehidupan masyarakat, tidak lepas dari proses distibusinya. Proses pendistribusian tersebut dilanggengkan oleh media. Hal tersebut biasanya dilakukan melalui pengiklanan, baik melalui televisi, internet, ataupun papan iklan yang terpampang di pinggir jalan. Dalam hal ini, media memiliki kontribusi penting dalam penyebaran produk budaya. Melalui iklan tersebut, secara tidak sadar masyarakat akan terdorong untuk mengonsumsinya. Sebab, tujuan dari iklan adalah untuk mempersuasi khalayak. Inilah yang dimanfaatkan oleh para kapitalis; mereka dapat menggelontorkan dana yang besar untuk pemasaran produk mereka.

Secara bersamaan, media telah mengejawantahkan diri sebagai komoditas dengan memanfaatkan nilai guna yang tersemat di dalam dirinya. Hal ini tidak begitu mengherankan, karena di bawah sistem kapitalisme, kita didorong untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dan jika bisa harus meminimalkan biaya produksi. Alhasil, banyak media-media yang mempublikasikan hal tidak bermanfaat demi memaksimalkan keuntungan.

Melalui kontribusi media, industrialisasi budaya oleh kapitalis mampu menetapkan standardisasi budaya di dalam masyarakat. Terlebih di era internet seperti saat ini, yang akan semakin memudahkan mereka mengendalikan masyarakat. Sehingga, kapitalis dan media menjadi duet yang tak terbendung dalam melakukan aksi manipulasi terhadap masyarakat.

Masyarakat akan mudah terstimulasi untuk memiliki atau membutuhkan produk dari industrialisasi budaya. Dalam situasi ini, masyarakat/individu tidak lagi dapat membedakan mana yang kebutuhan dan mana yang keinginan. Dengan kata lain, mereka telah jatuh dalam kesadaran semu dan menganggapnya itu adalah kenyataan, padahal itu merupakan manipulasi para kapitalis pencipta produk budaya. Sehingga apa pun produk budaya yang muncul, selalu diafirmasi oleh masyarakat tanpa sedikit pun bersikap skeptis terhadapnya.

Namun, inilah target utama dari kapitalis, yaitu dapat memegang kontrol dan dominasinya terhadap masyarakat melalui produk budaya yang mereka ciptakan.

Para kapitalis ini memandang masyarakat sebagai ladang penghasil keuntungan bagi mereka, sehingga masyarakat hanya dijadikan sebagai konsumen pasif. Dalam mempertahankan kontrol dan dominasinya, mereka terus melakukan reproduksi budaya massa. Masyarakat yang secara tidak sadar telah menjadi konsumen, juga turut berkontribusi terhadap reproduksi di dalam industri budaya.

Karena semakin produk budaya itu digandrungi oleh masyarakat, mengindikasikan jumlah konsumennya semakin banyak, maka permintaannya semakin banyak pula. Oleh karenanya, industri budaya seolah dituntut untuk melakukan reproduksi budaya sesuai dengan standardisasi yang telah ada.

Fenomena dalam masyarakat modern (industri) inilah yang mendapat kritik dari Theodor Adorno dan Max Horkheimer. Mereka menilai bahwa masyarakat telah tenggelam dalam keirasionalan. Bahwasanya masa pencerahan atau lebih dikenal dengan Renaissance[2] hanya membawa kemunduran, alih-alih menjadikan individu sebagai subjek yang otonom.

Sebagaimana yang telah disinggung diatas, bahwasannya melalui teori kritik, Adorno dan Horkheimer menilai bahwa pencerahan ini justru mengarah kepada kebuntuan yaitu berupa penggunaan rasio sebagai alat (rasionalitas instrumental) untuk mencapai tujuan yang pada akhirnya, menimbulkan penindasan, hegemoni, serta ketidakadilan terhadap antar sesama manusia. Ditambah dengan kungkungan sistem kapitalisme yang melanggengkannya, manusia akan semakin terbelenggu dalam keirasionalannya.

Adorno dan Horkheimer menjelaskan situsasi keirasionalan masyarakat pada industri budaya dengan fetisisme komoditas. Fetisisme komoditas merupakan sebuah keadaan dimana masyarakat seakan dipaksa untuk mengonsumsi atau memiliki produk budaya yang diciptakan para kapitalis dengan standardisasinya.

Dengan mengonsumsinya, masyarakat mungkin akan mendapat kebahagiaan ataupun kesenangan. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah mereka sedang menikmati euforia semu atau kesadaran semu. Hal ini yang mengakibatkan masyarakat mudah untuk termanipulasi bahkan tereksploitasi, karena mereka telah dijadikan sebagai konsumen pasif.

Industri budaya telah berhasil mendikte masyarakat kepada fetisisme komoditas. Masyarakat telah kehilangan kesadaran kritisnya, sehingga jatuh pada pemujaan yang berlebihan terhadap suatu produk budaya. Mereka rela untuk menghabiskan waktu dan juga tenaga hanya untuk dapat menikmati atau mengonsumsi produk budaya. Itu karena masyarakat telah kehilangan kesadaran kritisnya dalam membedakan mana yang nyata dan palsu. Sehingga mereka dengan begitu mudahnya hanyut dalam kesadaran semu tanpa bisa terbebas darinya.

Oleh karenanya, kritik yang dilayangkan oleh Adorno dan Horkheimer bertujuan agar dapat membebaskan masyarakat dari kungkungan keirasionalan sehingga dapat terbebas juga dari jeratan hegemoni dan penindasan. Dengan cara membangun kesadaran kritis masyarakat dengan menggunakan rasionalisasi sehingga lebih skeptis lagi terhadap fenomena sosial yang ada, khususnya dalam menyikapi berbagai produk budaya yang di tengah kehidupan masyarakat. Dengan begitu, diharapkan masyarakat atau individu dapat menjadi subjek yang otonom (bebas dari belenggu hegemoni, dominasi, penindasan, dan semacamnya).

 

Masyarakat Konsumerisme

Fenomena masyarakat sebagai konsumen pasif juga mendapat perhatian dari salah satu filsuf asal Perancis, yaitu Jean Baudlillard. Dia menjelaskan fenomena tersebut melalui dua konsep teori, yaitu simulacra dan hiperrealitas. Kedua konsep tersebut merujuk pada keadaan yang semu, khayal, dan tidak nyata pada produk budaya di era globalisasi, yang mana di dalamnya industri budaya telah berbaur dengan media sebagai komunikasi massa.

Baudlillard menjelaskan bahwa simulacra merupakan dunia simulasi di mana penciptaan realitas tidak dapat dibuktikan kebenaran dan kenyataannya melalui konsep ideal. Lagi-lagi, proses penciptaan realitas tersebut tidak lepas dari peran media sebagai komunikasi massa, sehingga turut memberikan kontribusi yang cukup penting.

Lewat media, realitas-realitas itu dibentuk dan ditayangkan yang pada gilirannya akan mengontruksi kesadaran masyarakat dengan simulasi ini. Dalam kondisi ini, simulasi dan kenyataan yang sebenarnya telah tercampur aduk tanpa ada batasan yang jelas, sehingga menciptakan kondisi di mana yang nyata dan tidak nyata menjadi tidak jelas.

Misalnya yaitu konsep kencantikan seorang wanita. Akibat dari penayangan iklan produk kecantikan melalui media, pemikiran masyarakat tentang konsep cantik yang ideal terkonstruksi: wanita cantik adalah ia yang memiliki kulit putih, bersih, sexy, berbadan tinggi, berambut lurus serta panjang, dan seterusnya. Inilah yang disebut oleh Baudlillard sebagai hiperrealitas.

Akibat dari kondisi hiperrealitas ini,  masyarakat semakin terdorong untuk mengonsumsi suatu produk budaya secara berlebihan yang mana tidak jelas esensinya. Pola konsumsi masyarakat tersebut cenderung pada mendapat tanda atau citra yang tersemat dalam produk budaya. Dengan kata lain, keinginan lah yang mendorong individu untuk mengonsumsi produk budaya, bukan karena kebutuhan. Inilah indikasi keberhasilan industri budaya dalam mengontruksi realitas masyarakat melalui media.

Dengan begitu, telah menciptakan satu gaya hidup baru yaitu konsumerisme (masyarakat konsumen). Konsumerisme ini memiliki suatu ciri khas atau karakteristik yang mencolok, yaitu konsumsi akan citra atau tanda. Artinya, masyarakat konsumen tidak lagi mengonsumsi karena nilai guna (use value) melainkan konsumsi terhadap citra suatu produk budaya. Misalnya saja seseorang membeli smartphone bermerk apple agar mendapatkan validasi dalam masyarakat berupa pelabelan orang kaya terhadapnya.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa di bawah tatanan sistem kapitalisme, media menjelma menjadi instrumen penghasil keutungan. Namun, jika media tetap berpegang teguh pada fungsi konservatifnya—memberikan informasi bermanfaat, edukasi, dan semacamnya—maka mereka akan sulit untuk bertahan.

Karena di bawah sistem yang berorientasi pada pasar ini, kita dituntut untuk bisa bertahan dan memaksimalkan keuntungan. Dengan demikian, semakin dimanfaatkan oleh kapitalis dalam mempertahankan status quo mereka, berupa kontrol dan dominasi terhadap masyarakat. Caranya yaitu dengan mendistribusikan produk budaya yang terlah diciptakan melalui publisitas secara massif oleh media.

Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan realitas semu masyarakat, sehingga menjadikan mereka konsumen yang pasif. Dalam konteks demikian, media sangat berkontribusi besar terhadapnya. Jika boleh saya katakan, media adalah penguasa yang sebenarnya. Sebab, eksistensinya saat ini sangat berpengaruh dalam konstruksi realitas sosial.



[1] Basis dari teori kritik Adorno dan Horkheimer yaitu membebaskan manusia modern dari keirasionalan, yaitu penggunaan rasio instrumental—rasio hanya digunakan sebagai alat bagi manusia untuk mencapai tujuan. Upaya pembebasan tersebut dikenal dengan istilah Dialectic of Enlightmen/dialektika pencerahan. Oleh karenanya, salah satu unsur dari teori kritik adalah emansipatoris.

[2] Renaissance merupakan sebuah masa peralihan ke peradaban modern di Eropa. Masa ini muncul karena pertentangan terhadap otoritas geraja yang dianggap sangat dominan. Hal ini menyebabkan budaya, ilmu pengetahuan, filsafat, seni, sastra, dan seterusnya mengalami kemunduran. Dari sinilah muncul sebuah gerakan dengan basis intelektualitas yang akhirnya menjadi anti-tesis dari otoritas gereja. Sehingga membawa kemajuan peradaban pada masyarakat Eropa.


Daftar Pustaka

Arviani, H. (2013). Budaya Global dalam Industri Budaya: Tinjauan Mazhab Frankfurt Terhadap Iklan, Pop Culture, dan Industri Hiburan. Jurnal Global & Policy. Volume 1 Nomor 2, Tanpa Halaman.

Hereyah, Y. (2011). Media Massa: Pencipta Industri Budaya Pencerahan yang Menipu Massa (Studi Simulacra dan Hyperrealitas Film Avatar). Jurnal Ilmu Komunikasi. Volume 3 Nomor 2. Tanpa halaman.

Nusantara, A. G. (2018). Sisi Lain Budaya dalam Masyarakat Industrial. Retrieved from Transisi.org: hhtps://transisi.org/sisi-lain-budaya-dalam-masyarakat-industrial/

Reksa, A. F. (2015). Kritik Terhadap Modernitas. Jurnal Kajian Wilayah. Volume 6 Nomor 1, Tanpa halaman.

Ryfa. (2020). Renaissance: Mengenal Konsep dan Sejarah. Retrieved from Kumparan.com: httpa://kumparan.com/berita-update/renaissance-mengenai-konsep-dan-sejarahnya-

Sakti, G. (2017). Industri Budaya: Praktik Manipulatif Media Massa. Retrieved from Kompasiana.com: https://www.kompasiana.com/gilangsakti/industri-budaya-praktik-manipulatif-media-massa


*) Penulis merupakan mahasiswa Sosiologi FISIP Unsoed tahun angkatan 2019

Komentar

Posting Komentar