Menyoal Film: Dari Media Propaganda hingga Alat Kritik Sosial


Sumber ilustrasi: thefilmstage.com

Film dan Perasaan Nikmat: Sebuah Pengantar

Siapa di dunia ini yang tidak suka menonton film? Saya berani bertaruh jika setiap orang pasti suka menonton film. Atau setidaknya, pernah menonton film meski itu hanya sekali dalam hidupnya. Ya, di era kontemporer seperti ini, film merupakan media populer yang digemari oleh banyak orang. Aktivitas menonton film mampu memberikan kenikmatan (pleasure) tersendiri. Bentuk-bentuk kenikmatan yang dihasilkan dari menonton film pun beragam. Misalnya, ketika kita selesai menonton film berjudul Forrest Gump yang pertama kali dirilis pada tahun 1994, apa yang muncul dalam diri kita? Bayangan untuk menjalani hidup lebih optimis? Keinginan untuk lebih menghargai hidup? Atau imajinasi yang mengandaikan hidup kita berjalan sama seperti kehidupan dari Forrest Gump? Kemudian, ketika kita beralih pada film bertemakan mesin waktu seperti Back to the Future (1985), apa yang lantas hadir dalam pikiran kita? Bermimpi untuk memiliki sebuah mesin waktu agar bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki kesalahan yang telah kita perbuat? Atau sekadar untuk bertualang menjelajahi ruang dan waktu agar hidup kita lebih menyenangkan dan tidak membosankan?

Tidak peduli dorongan apa yang hadir dalam diri kita setelah selesai menonton film fenomenal tersebut, akan tetapi satu hal yang jelas, diri kita pasti mendapat suatu perasaan nikmat, senang, ataupun kepuasan. Perasaan tersebut tak pelak lahir dari imajinasi kita. Pikiran kita melayang, terbang secara liar membayangkan bagaimana kehidupan dan diri kita sama persis seperti jalan cerita pada film yang telah ditonton. Meski terkadang imajinasi tersebut saya akui sulit untuk diekspresikan secara lisan atau tulisan, akan tetapi ada sebuah pertanyaan yang ingin saya ajukan untuk menegaskan hal tersebut: seberapa besar kemungkinan diri kita bersikap masa bodoh untuk tidak memikirkan lebih lanjut mengenai film yang selesai kita tonton? Tentu, pastilah sangat kecil kemungkinannya.

Pada umumnya, film memang dikenal sebagai media hiburan. Dewasa ini, aktivitas menonton film barangkali juga telah bersaing dengan media-media hiburan lain seperti pergi ke konser musik, pusat perbelanjaan, ataupun jalan-jalan menikmati alam. Aksesnya yang terbilang mudah untuk didapatkan serta memiliki beragam jenis alur cerita (genre) sesuai dengan keinginan kita membuat film tampak selangkah lebih unggul dibandingkan dengan media hiburan lainnya. Secara tidak langsung, ini mengindikasikan jika film sebenarnya memiliki peta penonton tersendiri yang tentu tidak terlepas dari unsur-unsur psikologis. Hal tersebut tampaknya mampu dibuktikan dengan mengajukan beberapa pertanyaan, seperti: Kenapa serial drama korea lebih cenderung diminati oleh perempuan ketimbang lelaki?[1] Atau kenapa serial film Dilan lebih digandrungi oleh para remaja generasi Z daripada orang-orang yang berusia dewasa?[2] Hingga, apakah mungkin orang-orang tua akan menikmati tontonan film animasi seperti Finding Nemo, Wall-E, Megamind, atau Ratatouille? Secara sederhana, pertanyaan- pertanyaan ini memang menyasar pada penjelasan jika secara psikologis, orang-orang akan memilih atau lebih menikmati sesuatu sesuai dengan psikologi dirinya (Ahmadi, 2019: 180).

Sebagai seseorang yang juga gemar menonton film, sudah pasti saya telah mendapatkan temuan yang demikian. Secara psikologis, dengan kategorialisasi usia remaja dan beberapa pengalaman yang sudah saya lewati, saya cenderung menikmati film bertemakan romansa yang berakhir ‘kurang menyenangkan’ seperti 500 Days of Summer, Marriage Story, sampai Match Point. Namun, faktor ini tidak menutup diri saya untuk menonton film-film dari genre lain walau perasaan yang timbul tidak sememuaskan ketika saya menonton film dengan tema  yang pada dasarnya saya gemari.

The Pervert’s Guide to Ideology: Suatu Cara Baru dalam Memahami Film

Keterbukaan saya untuk menikmati film dari genre yang lain mengantarkan saya pada sebuah pengalaman menyaksikan film dengan tema dan alur yang sama sekali asing. Film tersebut berjudul The Pervert’s Guide to Ideology (2012)[3]. Disutradarai oleh Sophie Finnes dengan naskahnya yang ditulis oleh Slavoj Zizek[4], film bergenre dokumenter ini membuat diri saya terheran-heran. Secara umum, The Pervert’s Guide to Ideology merupakan upaya dari Slavoj Zizek untuk mepresentasikan pemahamannya mengenai kajian seputar ideologi dan keterkaitanyan dengan realitas manusia melalui sebuah budaya populer berwujud sinema. Zizek melakukan serangkaian analisis terhadap film-film klasik populer seperti: They Live (1989), The Sound of Music (1965), A Clockwork Orange (1971), West Side Story (1961), Taxi Driver (1976), Jaws (1975), The Eternal Jew (1940), I Am Legend (2007), Titanic (1997), The Fall for Berlin (1949), Full Metal Jacket (1987), The Dark Knight (2008), The Loves of A Blonde (1965), The Fireman’s Ball (1967), The Last Temptation of Christ (1988), Zabriskie Point (1970),

Ini sungguh menarik karena Zizek melalui The Pervert’s Guide to Ideology, menawarkan sebuah gagasan baru yang menegaskan jika film bukan hanya merupakan sebuah seni visual berorientasikan nilai-nilai estetis yang menyajikan ruang-ruang imaji bagi para penontonnya. Namun, melampaui itu film sejatinya merupakan suatu karya di mana terdapat banyak sekali kemungkinan di balik adegan shot per shot-nya yang menunggu untuk dibedah, dipahami, dan dianalisis oleh kita. Sebagai contoh, siapa yang menduga jika film bertemakan serangan hewan buas seperti Jaws (1975) ternyata menjadi semacam alat untuk menganalisis keadaan politik internasional di tangan Zizek?[5] Atau, film romansa seperti Titanic (1997) di bawah analisis Zizek, menjadi sebuah pengantar yang menarik untuk kita memahami isu imperialisme modern dan pertentangan kelas?[6]

Melebihi itu semua, yang terpenting ialah bahwa, berdasarkan pembacaan saya pribadi dalam memahami film The Pervert’s Guide to Ideology, film sejatinya bukan hanya sekadar film. Seperti media-media lainnya, apabila dikaitkan pada konteks sosial, film mampu menjadi sebuah alat atau media untuk membantu kita dalam memahami realitas yang terjadi pada masyarakat luas, baik itu berkaitan dengan isu sosial maupun politik. Tentu ini tidak terlepas dari persoalan mengenai kepemilikan referensi yang kaya sehingga kita dapat menafsirkan ulang dan menganalogikan film menjadi sebuah pengantar untuk sebuah diskursus yang lebih menarik.

Menguak Fungsionalitas Film: Dari Media Propaganda hingga Instrumen Kritik Sosial

Bertolak dari titik di mana Zizek menjelaskan rangkaian analisisnya dalam The Pervert’s Guide to Ideology, sampai sini sepertinya kita telah benar-benar memahami jika film tidak hanya memiliki fungsi dulce et utile[7], akan tetapi lebih dari itu, juga memiliki fungsi yang erat kaitannya dengan dunia sosial. Pada konteks ini, apabila kita mencermatinya, pendistribusian film kepada masyarakat cenderung tidak terlepas dari keterikatannya pada unsur-unsur politis yang saling berseberangan: di satu sisi film dimanfaatkan sebagai media untuk pengkukuhan kekuasaan yang dominan (propaganda); di sisi lain ia juga digunakan sebagai alat untuk mengkritik kekuasaan yang dominan tersebut dalam masyarakat. Mari kita membahasnya secara perlahan.

Dalam lingkup nasional, ingatkah kita dengan film Pengkhianatan G30S/PKI? Ini merupakan sebuah contoh dari bagaimana suatu budaya diproduksi dan digunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk menyebarkan pandangan ideologisnya tentang komunisme. Tampak jelas dalam ingatan mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pengikutnya yang dicitrakan sebagai sekelompok orang yang kejam dan berdarah dingin. Ketika menuliskan ini, saya teringat kembali pengalaman kecil saat menonton film tersebut: saya sangat merasa ngeri hanya karena menonton film itu. Meski ditonton beramai-ramai dengan teman sebaya saya yang lain[8], perasaan takut tetap muncul. Bagi saya saat itu, PKI dan pengikutnya adalah orang jahat. Mereka menggorok leher manusia hidup-hidup, dengan sembarang lalu menancapkan celurit ke tengkorak seseorang yang setengah sadar, hingga diakhiri dengan menginjak-menginjak kitab suci suatu agama. “Ini jelas adalah perbuatan manusia setengah iblis”, kira-kira begitulah ucap saya dulu ketika mengomentari adegan kekerasan dalam film itu.

Dalam hubungan dengan pembahasan ini, ada sebuah komentar menarik dari cara pemerintah Orde Baru dalam mengkukuhkan kekuasaannya dengan menyebarkan propaganda kebenaran melalui budaya populer berwujud film:

“...pemerintah Orde Baru sangat berhasil dalam mepresentasikan versi resmi peristiwa 1965 dan terlebih lagi dalam memengaruhi penonton untuk percaya sepenuhnya bahwa muatan ideologis di dalam film itu adalah sebuah kebenaran.” (Herlambang, 2013: 13).

Isu pemberontakan oleh PKI pada 30 September 1965 bagi saya pribadi cukup terbilang unik. Pasalnya, melalui sebuah film berdurasi kurang lebih 180 menit ini, masyarakat Indonesia mewarisi ingatan jika bentuk ideologi komunisme harus dijauhi dan dilarang. Siapa saja yang mengaku sebagai seorang kader komunis atau setidaknya terindikasi berhubungan dengannya, harus dihancurkan atau dilenyapkan ‘karena’ berpontensi merusak kedaulatan negara. Merujuk pada kutipan dari Herlambang tersebut, jelas ini merupakan sebuah bentuk lain dari normalisasi kekerasan.

Hal tersebut tentulah sangat berbahaya. Apalagi jika mengkaitkannya dengan dimensi politik. Bayangkan jika pemerintah atau pihak yang berkuasa melakukan serangkaian labelisasi ‘komunis’ kepada lawan politiknya. Yang akan terjadi mungkin sudah bisa dibayangkan: korban labelisasi tersebut akan tersingkirkan dari arena politik, belum lagi mereka akan mendapat stigma dan tentu ancaman dari masyarakat umum. Pemerintah Orde Baru sukses mempraktikkan hal demikian secara rapi dan tanpa cacat.

Sampai sini, sepertinya mesti diakui jika realitas ‘jahatnya komunisme’ masih tertanam erat di kepala kita. Bahkan setelah hampir 25 tahun sejak era pemerintahan Orde Baru hancur, realitas tersebut tampak masih terpelihara dengan baik oleh kita. Kematian tujuh Jenderal seperti menutupi realitas lain yang sejatinya mampu kita lirik. Pada konteks ini, film The Act of Killing (2012) dan The Look of Silence (2014) sebenarnya hadir sebagai budaya populer tandingan untuk melawan realitas-realitas yang tertutup tersebut. Kedua film besutan Joshua Oppenheimer itu menceritakan sisi lain dari peristiwa pemberontakan G30S/PKI. Dalam dua film tersebut, kita seperti dipaksa untuk melihat kenyataan lain: hampir satu juta masyarakat sipil dibunuh dengan kejam lantaran dituding sebagai pengikut PKI. Secara tidak langsung, dua film tersebut merupakan sebuah media untuk mengkritik sikap kita yang secara terus-menerus mewarisi ingatan yang ‘telah diberikan’. Dalam posisi ini, fungsionalitas film sebagai alat kritik sosial pun muncul.

Pada konteks politik internasional, media propaganda berwujud sinema juga banyak dilahirkan. Seperti serial film klasik bertemakan perang Rambo[9] hingga Triumph of the Will (1935). Sama seperti Pengkhianatan G30S/PKI, kedua film itu sukses mengonstruksi realitas masyarakat. Ini sejalan dengan ungkapan Denis McQuill yang berbicara jika:

“Film mempunyai jangkauan, realisme, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat karena film mempunyai kemampuan untuk menjangkau sekian banyak orang dalam waktu yang cepat dan kemampuannya memanipulasi kenyataan yang tampak dalam pesan fotografis tanpa kehilangan kredibilitas” (Sholih, 2016: 442).

Dalam kajian postmodernism, Jean Baudrillard menggunakan istilah hiperrealitas (hyperreality) untuk menyebut fenomena semacam ini. Konsep hiperrealitas dikembangkan melalui bukunya In the Shadow of Silent Majorities yang dipublikasikan pertama kali pada 1983. Menurutnya hiperrealitas adalah kondisi di mana orang-orang digiring untuk memercayai suatu citra atau gambar sebagai kebenaran, meski pada faktanya citra tersebut hanyalah realitas yang didramatisasi sehingga terdapat distorsi atau pemalsuan kebenaran (Sigit, tanpa tahun: 11).

Fungsi film sebagai media propaganda untuk mengontrol pikiran (mind control), mencuci otak (brainwashing), ataupun memanipulasi pandangan masyarakat (manipulation) pada dasarnya memang sangat berhubungan erat dengan kepentingan-kepentingan pihak berkuasa guna memperkuat, melegitimasi, serta mengkukuhkan kekuasaannya.

Fenomena seperti ini tidak pelak mengundang segudang kritik yang direpresentasikan juga melalui film itu sendiri. Dalam hal ini lah kemudian fungsionalitas film sebagai kritik sosial secara otomatis hadir. Saya telah menyinggung hal ini ketika menyebut film berjudul The Act of Killing (2012) dan The Look of Silence (2014) pada paragraf sebelumnya. Apabila kita membicarakan film sebagai media atau instrumen kritik sosial, menurut saya pribadi, pembahasan seputar kritik ideologi[10] juga harus dilakukan karena hal tersebut berkaitan erat dan sulit untuk dilepaskan dengannya. Dikatakan berkaitan erat, karena unsur kritik dalam film cenderung merujuk pada ide-ide dominan yang berdiam dalam pikiran mayoritas masyarakat. Lantaran yang disasar adalah ide dominan, maka seringkali banyak pihak-pihak yang akan ‘terganggu’ ketika menonton film yang dasarnya adalah untuk mengkritik ide tersebut. Gagasan seperti ini bisa diperjelas dengan membayangkan: kira-kira, apa yang terjadi jika film The Act of Killing dan The Look of Silence juga ditayangkan secara massal pada ruang publik setiap bulan September seperti halnya film Pengkhianatan G30S/PKI? Tanpa perlu repot-repot menuliskan jawabannya di sini, tampaknya kita secara otomatis akan segera memahaminya.

Umumnya, ideologi memang muncul di pikiran kita secara diam-diam. Ia hadir begitu saja dan ironisnya, kehadiran tersebut kita jaga dan pelihara terus-menerus. Berkaitan dengan ini, Zizek (dalam Sim dan Borin, 2008: 130) juga pernah berkomentar jika “Ideologi itu sukses bukan ia menginterpolasi kita untuk mengerjakan permintaannya seperti robot, tetapi karena kita menginginkannya untuk sukses”. Secara psikologis, kita memang cenderung ingin memastikan bahwa kehidupan kita berada persis di bawah suatu sistem kepercayaan yang konsisten. Sehingga dampaknya, kita mempersuasi diri kita sendiri supaya membuatnya terlihat demikian.

Posisi-posisi Inilah yang terus diserang oleh film yang bermuatan kritik ideologi dalam konteks sosial masyarakat. Pada film They Live[11] yang dirilis pada tahun 1989, kita akan menemukan sebuah kritik yang menggambarkan jika kehidupan kita sejatinya ditopang oleh kebohongan. Begitupun juga dengan film Basis on the Sex yang kurang lebih mengkritik kondisi masyarakat Amerika Serikat yang memiliki tendensi untuk memandang perempuan sebagai ‘manusia nomer dua’ yang posisinya berada di bawah lelaki. Secara kuantitatif pemanfaatan film sebagai media untuk mengkritik kondisi sosial yang dominan dalam masyarakat tidak kalah banyak. Namun, seperti yang sudah tulis sebelumnya, film merupakan suatu karya seni yang memungkinkan untuk kita analisis. Jadi, apakah film itu memuat propaganda atau kritik sosial, seperti Zizek yang menganalisis banyak film dalam The Pervert Guide to Ideology, itu tergantung pada sikap dan pemikiran kita dalam memandangnya.



[1] Meski terdapat kemungkinan bagi saya untuk mengalami bias gender, akan tetapi faktanya adalah demikian. Sebagai salah satu contoh bukti, pada awal tahun 2003 para pemeran bintang dari serial drama Korea Meteor Garden seperti Jerry Yan, Ken Chu, Vannes Wu, dan Vic Chou berkunjung ke Indonesia dan disambut dengan sangat heboh oleh teriak-teriakan dari para remaja perempuan. Lihat lebih lengkap kajian mengenai K-Pop dan asianisasi kaum perempuan dalam Heryanto, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, (Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia, 2015).

[2] Dalam kajian psikologis, masa dewasa merupakan waktu di mana individu mulai mengalami keterasingan sosial yang dapat diartikan sebagai keberadaan semangat bersaing dan hasrat kuat untuk maju dalam karir. Sehingga efeknya yang muncul keramahtamahan dan hubungan sosial dengan kerabat, teman, atau orang lain menjadi renggang. Ini mengindikasikan jika orang-orang dewasa telah mengenal realitas dan cenderung pesimistis terhadap kisah-kisah imaji dalam sebuah karya visual. Lih. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta: Airlangga, 2015), hal. 250.

[3] Film ini sebenarnya merupakan sekuel dari The Pervert’s Guide to Cinema yang rilis enam tahun sebelumnya.

[4] Sebagai catatan, Slavoj Zizek bukan merupakan seorang praktisi pada industri perfilman. Ia dikenal sebagai seorang kritikus budaya berkebangsaan Slovenia. Selain itu, ia juga dianggap sebagai salah satu figur yang paling memprovokasi bangunan dasar dari kajian postmarxism.

[5] Menurut analisis Zizek, serangan hiu dalam film tersebut merupakan metafora dari pihak atau kelompok seperti imigran kelas bawah yang mengancam Amerika Serikat. Namun, di sisi lain Zizek juga menjelaskan jika Fidel Castro menganggap Jaws merupakan sebuah film marxis kiri. Hiu yang ada dalam film tersebut tidak lain adalah metafora untuk penetrasi kapitalisme yang mengeksploitasi habis-habisan rakyat Amerika itu sendiri. Slavoj Zizek dalam The Pervert’s Guide to Ideology, 2012.

[6] Zizek melihat jika karakter Jack Dawson (Leonardo DiCaprio) merupakan representasi dari masyarakat kelas bawah, sementara Rose DeWitt Bukater (Kate Winslet) adalah kelas atasnya. Rose dianalogikan sebagai seorang borjuis yang berhubungan dengan masyarakat kelas bawah (Jack Dawson) hanya karena ia ingin mendapat keuntungan semata atau dalam istilah Zizek: merevitalisasi dirinya sendiri. Slavoj Zizek, ibid.

[7] Istilah ini diperkenalkan oleh penyair terkenal Romawi, Quintus Horatius Flaccus. Melalui istilah tersebut, Horatius melihat jika sebuah karya seni (termasuk film) harus lekat dengan sesuatu yang memuat keindahan, menyenangkan, dan menghibur ketika dilihat oleh penikmatnya. Lih. Sujarwa, Model & Paradigma Teori Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019), hal. 10.

[8] Film ini kerap kali ditayangkan di berbagai ruang publik setiap setahun sekali pada bulan September.

[9] Dalam berbagai kasus film propaganda, menurut saya serial film Rambo yang paling menarik. Pada film pertamanya, Rambo: First Blood (1982) lebih berfokus pada alur ceritanya yang lebih mengkritik pemerintahan AS. Namun, di film-film selanjutnya, film Rambo lebih mengarah pada propaganda AS. Selengkapnya, pada artikel https://tirto.id/gjDJ

[10] Dalam sejarah intelektual, ada banyak pengertian ideologi yang digagas oleh para pemikir seperti Antoinne Destutt de Tracy hingga Louis Althusser. Namun, di sini saya merujuk pada gagasan dirumuskan oleh Raymond Geuss yang memandang jika ideologi adalah suatu ide yang dipeyorasikan oleh pihak tertentu dan diberlakukan kepada masyarakat umum. Dalam arti yang lebih singkat, ideologi adalah sesuatu yang sifatnya khayal dan negatif. Lih. Geuss, Ide Teori Kritis: Habermas dan Mazhab Frankfurt, (Jogjakarta: Panta Rhei Books, 2004), hal 27-28.

[11] Saya sendiri pernah menulis tentang muatan kritik ideologis pada film tersebut. Selengkapnya pada https://www.rumahsosiologi.com/tulisan/artikellepas/256-membaca-budaya-populer-film-they-live-dan-representasi-kritik-ideologi.


REFERENSI

Ahmadi, Anas. 2019. Psikologi Jungian, Film, Sastra: Archetype, Anima/Animus, Ekstrovert/Intorvert. Mojokerto: Temalitera.

Diamandis, Pia. 2021. “Bagaimana Rambo Berubah dari Simbol Anti-Perang ke Propagandis AS?”. https://tirto.id/gjDJ (diakses pada Kamis, 21 Oktober 2021).

Geuss, Raymond. 2004. Ide Teori Kritis: Habermas dan Mazhab Frankfurt. Terj. Robby H. Abror. Jogjakarta: Panta Rhei Books.

Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Seni dan Sastra. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Heryanto, Ariel. 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Terj. Eric Sasono. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Hurlock, Elizabeth B. 2015. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Airlangga.

Sholih, M. Syaifuddin. (2016). PROPAGANDA AMERIKA ATAS KEKALAHAN PERANG VIETNAM DALAM FILM “RAMBO II: FIRST BLOOD PART II”: ANALISIS WACANA KRITIS MODEL VAN DIJK. PROSIDING PRASASTI, 442-354.

Sigit, Rokhmad. Konstruksi Realitas, Media Liberal Kapitalis. Diterbitkan oleh Pinterpol.

Sim, Stuart dan Borin van Loon. 2008. Mengenal Teori Kritis. Terj. Tim Resist. Yogyakarta: Resist Book.

Sujarwa. 2019. Model & Paradigma Teori Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 

The Pervert's Guide to Ideology. Directed by Sophie Fiennes. Written and presented by Slavoj Zizek. Zeitgeist Film, 2012. 

*) Penulis merupakan mahasiswa Sosiologi FISIP Unsoed tahun angkatan 2019

Komentar