Aku
memandangi lembaran foto di tanganku dalam waktu yang cukup lama. Sosok yang
ada di dalam foto itu merupakan seseorang yang aku sukai sejak satu tahun yang
lalu. Jika kalian bertanya asal foto tersebut aku dapatkan dari
mana, jawabannya adalah pada saat dia sedang bermain
futsal. Memang tidak baik untuk memotret orang lain secara diam-diam. Namun,
hal tersebut tetap aku lakukan dengan nekat karena aku menyukai kakak tingkat
itu.
Kakak
tingkat itu bernama Ezra Mahesa. Kak Ezra satu jurusan denganku di jurusan
hukum. Meskipun kami satu jurusan, rasanya sangat mustahil membuat laki-laki
itu mengetahui keberadaanku. Bagaikan langit dan bumi, Kak Ezra yang populer
tidak dapat disandingkan dengan mahasiswa kutu buku yang kaku sepertiku. Hal
itu membuatku semakin tahu diri untuk bisa mengenalnya lebih jauh.
Aku
memasuki ruang kelas pertamaku di hari Senin. Langkah kakiku mendadak terhenti
setelah melihat sosok yang familiar itu. Iya, aku melihat kakak tingkat yang
kudambakan itu di antara bangku-bangku yang sudah dipenuhi oleh teman
jurusanku. Aku terdiam sejenak. Butuh waktu beberapa detik untuk meyakini diriku
bahwa aku tidak salah memasuki ruang kelas.
"Aya,
ngapain kamu berdiri di dekat pintu?" Tanya gadis berambut pendek yang
bernama Divka itu kepadaku.
"Jangan
ngalangin jalan, ayo masuk." Divka menarik tanganku dan membawaku masuk ke
dalam kelas. Aku melihat bangku-bangku lain yang sudah terisi penuh, hingga
yang tersisa hanya di bagian belakang saja.
"Yah,
sial banget. Dapetnya paling belakang." Divka menyeletuk kepadaku. Namun,
aku tidak mengubrisnya, karena aku sibuk melihat Kak Ezra yang juga duduk di
bagian belakang.
"Permisi
Kak, aku izin duduk di sebelahnya ya." Lontaran itu keluar dari mulutku
untuk pertama kalinya kepada Kak Ezra.
Aku
melihat kakak tingkat yang sudah mengangguk kecil kepadaku. Merasa telah
dipersilahkan, aku langsung duduk di bangku tepat di sebelah Kak Ezra. Sekali
lagi, tepat di sebelah Kak Ezra.
Deggg...
Jantungku
berdetak tidak seperti biasanya. Kali ini, adrenalinku berpacu dengan sangat
cepat dari sebelumnya. Aku khawatir, suaranya akan terdengar oleh Kak Ezra.
"Ay,
kamu demam? Kenapa diem aja dari tadi?" Tanya Divka yang terheran-heran
kepadaku.
"Engga
kok Div, aku engga kenapa-napa." Aku melihat Divka hanya ber-oh ria di
sana.
"Eh,
gue boleh pinjem pulpen engga?" Aku melihat ke arah kanan-kiri untuk
memastikan bahwa laki-laki di sebelahku ini benar-benar mengajakku berbicara.
"Saya Kak?"
"Iya,
Elo. Ada pulpen engga?" Detak jantungku semakin tidak karuan mendengar Kak
Ezra yang memulai percakapannya denganku.
'Please,
Aya. Dia cuma minjem pulpen bukan ngajak pacaran. Jadi kamu harus biasa aja.' Ucap batinku.
"Ada
engga, pulpennya?" Tanya Kak Ezra dengan pertanyaan yang sama kepadaku.
Namun kali ini dengan nada yang sedikit meninggi.
"Ada
Kak, bentar ya saya ambilin dulu." Aku langsung merogoh tempat pensil
untuk menemukan pulpenku. Merasa telah menemukan pulpen lebih, membuatku langsung
mengacungkan pulpen itu di hadapan Kak Ezra, "Ini Kak, pulpennya."
Pulpen
itu tidak langsung diambil oleh Kak Ezra. Melainkan, Kak Ezra hanya menatap
dalam ke pulpen yang masih setia kugenggam itu.
"Serius?
Lo ngasih gue pulpen warna pink?" Aku mendengar lontaran Kak Ezra
yang ketus itu membuatku sedikit terkejut.
"Maaf
Kak, saya cuma ada pulpen itu." Ucapku yang tidak berani melihat wajah Kak
Ezra di sana.
"Kak,
maaf ya. Gue tau lo kating. Cuma kata-kata lo tadi terlalu kasar buat temen
gue." Timpal Divka yang sudah melemparkan pulpennya ke arah Kak Ezra.
Plak
Aku
melihat pulpen itu mendarat tepat di dahi Kak Ezra. "Eh lo, perempuan
sinting! Maksud lo apa?!"
"Lo
alay si, cuma karena pulpen warna pink aja drama banget. Najis!" Mataku melebar setelah melihat aksi heroik yang
dilakukan Divka yang sangat berani itu.
Aku
melihat Kak Ezra hanya terdiam di sana. Bukan tidak berani melawan. Namun, pada
saat ini dosen telah memasuki kelas kami.
Kelas
terus berjalan, akan tetapi aku merasakan tekanan yang sangat hebat di
sebelahku. Dalam waktu singkat, keberadaan Kak Ezra yang awalnya membuatku
senang, langsung berubah menjadi seram.
"Bilangin
ke temen lo, nanti jangan pulang dulu." Bisik Kak Ezra di tengah-tengah
kelas yang membuat bulu kudukku berdiri.
Selama
kelas berlangsung, aku kehilangan konsentrasi karena kehadiran Kak Ezra yang
membuatku sedikit tertekan.
"Baik,
pertemuan kita sampai di sini dulu. Sampai bertemu pada pertemuan selanjutnya
rekan-rekan mahasiswa." Ucap dosenku yang langsung meninggalkan kelas.
"Eh
lo, urusan kita masih belum selesai!" Seru Kak Ezra kepada Divka.
"Ngapain
gue harus repot selesaiin? Nih, temen gue aja yang selesaiin. Gue ada rapat." Ucap Divka tanpa rasa bersalah
itu langsung mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Butuh beberapa menit untuk
memahami maksud dari Divka itu. Hingga akhirnya, hanya tersisa aku dan Kak Ezra
di dalam kelas ini.
Divka
memang sudah mengetahui dari awal bahwa aku menyukai kakak tingkat yang ada di
hadapanku saat ini. Namun, siapa sangka anak itu ingin membuatku mati muda
dengan membiarkan situasi seperti ini?
Suasana
hening menyelimuti kami berdua. Aku mengumpulkan keberanianku untuk bisa
memulai percakapan dengan kakak tingkat itu.
"Kak,
saya minta maaf banget ya soal pulpen tadi. Terus, saya juga minta maaf soal
temenku yang kasar ke Kakak." Lontaran itu sukses kulakukan hanya dengan satu
tarikan napas. Setelahnya, aku mencoba melihat ke arah Kak Ezra yang sudah
memasang raut wajahnya yang datar.
"Harusnya
gue yang minta maaf." Ucap laki-laki itu sambil mengalihkan wajahnya
dariku, “g-gue engga maksud kasar sama lo dan juga temen lo.”
"Sebenernya,
gue sedikit sensitif sama warna merah jambu karena trauma yang gue punya. Jadi,
sekali lagi gue minta maaf sama lo." Tambahnya lagi dengan memasang
wajahnya yang tanpa ekspresi itu sambil menatapku.
"Oh
iya Kak, gapapa. Saya juga minta maaf ya, saya engga tau tentang trauma yang
Kak Ezra alami."
"Bentar-bentar.
Kok lo tau kalau nama gue Ezra?" Mendengar hal tersebut, spontan aku
langsung mengalihkan pandanganku dari Kak Ezra. Aku mengutuk diriku karena
tidak sengaja menyebut nama kakak tingkat itu.
"Mm...A-anu.."
Mulutku mendadak membisu akibat ulah konyol yang telah kubuat.
"Gue
terkenal juga ya. Keren banget gue." Timpal Kak Ezra sambil membanggakan
dirinya itu seolah-olah tidak memperdulikan jawabanku.
"Gue
mau nebus kesalahan gue. Bisa engga, kalau siang ini gue ajak lo makan?"
Ajakan Kak Ezra itu langsung membuatku merasakan banyak kupu-kupu berterbangan
di perutku.
"Harus
mau sih, soalnya gue maksa." Sekujur tubuhku mendadak membeku. Lagi-lagi
Kak Ezra tidak memperdulikan jawabanku dan langsung mengambil kesimpulan.
"Ayok!" Ajak Kak Ezra yang sudah melangkah keluar kelas
terlebih dahulu. Saat ini, aku hanya mendapatkan pemandangan punggungnya yang
sedang berjalan. Aku baru menyadari, bahwa kakak tingkat itu memiliki bahu yang
lebar serta tubuhnya yang sangat tinggi menjulang.
Aku
tidak mengetahui pasti. Namun, pada saat ini aku berkali-kali mencubit kecil
tanganku untuk memastikan bahwa semua ini bukan mimpi. Benar, ini kenyataannya.
Untuk pertama kalinya aku dapat berbincang, bahkan jalan berdampingan dengan
Kak Ezra.
Langkah
awalku untuk mengenal Kak Ezra seolah-olah terwujud seperti bunga tidur yang
selalu kuinginkan. Semua itu berkat pulpen berwarna merah jambu yang telah
kubawa hari ini.
*) Penulis merupakan mahasiswa Sosiologi FISIP Unsoed angkatan 2019
Komentar
Posting Komentar