MEDIOKER


            Aku selalu penasaran dengan sosok itu. Seorang kakak yang tak terlalu dekat dengan adiknya. Saudara yang lebih  memilih diam ketimbang mengomel sewaktu adiknya rese atau bergabung dengan obrolan kakaknya hanya sebagai pemerhati.

            “Mas, nggak kepengin nyari pacar gitu?”  ucapku setelah memberanikan diri menyerobot masuk ke kamarnya. Demi apapun aku jarang sekali menampakan kaki di ruangan ini, auranya agak suram mungkin? Aku melihat sekitar, poster karakter anime kurumi tokisaki yang terpampang jelas dengan senyum sinis seperti meledekku seolah dia lebih berkuasa di kamar ini.

          Mas Ali tampak terkejut karena kemunculanku tapi dengan cepat raut mukanya ia kondisikan seperti biasanya. “Apa?”

           “Nggak nyari pacar?” tanyaku ulang. Mas Ali sempat tersenyum meremehkan lalu kembali fokus dengan laptopnya sampai-sampai baru 5 menit aku baru mendapat jawaban, “Nanti.” Seperti biasa singkat dan padat.

            Aku memikirkan topik obrolan berusaha agar kami terlihat sebagai ‘selayaknya.’ kakak-adik. Tapi nihil aku tak bisa berpikir keras alhasil aku hanya duduk di kasurnya sambil  membuka instagram. Persetan dengan kakakku yang pendiam itu. Aku melihat postingan dari akun instagram club basket sekolah ternyata mereka berhasil masuk ke final pertandingan tahunan yang bergengsi. Mengetahui itu aku jadi teringat Vero, si kapten tim basket yang ambisius. Menyandang jabatan sebagai kapten membuat Vero seperti ingin membawa tim basketnya ke Liga NBA. Oke aku mungkin terlalu berlebihan, tapi untuk poin ambisiusnya dia itu benar.

            Setiap sore aku pasti melihat anak-anak basket yang berlatih jauh hari sebelum pertandingan. Di pemandangan itu pasti aku menemukan  sosok Vero dengan semangatnya yang membara dari pemanasan sampai hampir semua anggotanya menjadi loyo. Tapi Vero bukanlah kapten yang egois dia tetap tahu batasanya. Dia hanya berusaha membawa trofi kemenangan untuk sekolah. Aku yakin dia bisa melakukannya. Tinggal menunggu saja hasil pertandingan final, lalu dia akan mengoceh sepanjang hari memamerkan kemenangannya padaku.

            “Dek, ayo makan!”

         Yang tadi itu ibuku yang bilang. Jangan harap Mas Ali memanggilku dengan sebutan ‘Dek‘ apalagi mengajakku untuk makan dahulu.

         “Iya, Mah” sahutku kemudian beranjak dari kasur. “Ayo makan Mas udah ditunggu mama,” ajakku kepadanya. Dia berdehem kecil, “Duluan Mas nyusul.”

            Di meja makan sudah ada papa, mama, dan Mas Revan, kakak sulungku. Di keluarga ini hanya ada satu anak perempuan yaitu aku. Oh haruskan aku merasa bangga?

         “Ali mana?” tanya papa saat melihat hanya aku yang keluar dari kamar. Belum sempat aku menjawab Mas Ali sudah menampakan wujudnya. Makan malam itu berlangsung dengan damai sampai papa angkat bicara lebih tepatnya bertanya.

            “Gimana hasil tes CPNS kamu, Rev?” Mas Revan berhenti mengunyah lalu diam sejenak. Papa ini memang perusak suasana handal. Cumi saus tiram yang tadinya menggugah seleraku sekarang terasa hambar gara-gara obrolan ini.

          “Revan gak lolos, Pa” jawab Mas Revan. Alis papa naik merasa ragu, “Kamu serius nggak lolos?” tanya papa tidak percaya. Mas Revan menganggukan kepala, aku merasa kasihan dengannya. Sekalipun bukan keinginanya, dia tetap melakukan semata-mata untuk membuat papa bangga.

      “Dua kali kamu nggak lolos. Kamu ini lulusan PTN Top 3 loh. Kamu beneran niat kan ngerjainnya,” ujar papa dengan nada kecewa. “Terus kedepannya gimana? masih mau betahan dengan kerjaan di perusahaan kecil itu?” lanjutnya.

             Mas Revan menghela nafas pelan, “Revan nyaman disitu, Pa.”

            “Tapi kan…”

        “Lagian ngapain si ngebet jadi PNS. UKT anaknya entar dapet golongan tinggi enggak bisa banding.” Aku menyela tiba-tiba karena sedikit geram. Semua mata tertuju padaku, termasuk papa. “Iya kan?” sejujurnya aku sudah ketar-ketir ditatap papa seperti itu, tapi aku masa bodoh. Mama mencubit pahaku membuatku meringis dan mau tak mau berhenti nimbrung dalam obrolan itu.

         “Papa harap kamu masih mau pergunakan kesempatanmu lagi. Pikirkan untuk masa depan kamu yang lebih baik Revan.”

***********

        Aku sekarang berada di kamarku. Kejadian di ruang makan membuatku moodku jelek. Tiba-tiba handphoneku berdering ada panggilan masuk rupanya.

       “Halo Nis, Vero udah pulang belum? Tadi tim basket kalah di final. Gue takut kakak lo kenapa-kenapa soalnya dia kelihatan frustasi banget habis pertandingan” Dimas, teman satu kelasku yang juga merupakan anggota tim basket membawa kabar yang sialnya buruk.

        “Belum Vero belum pulang. Finalnya selesai jam berapa?”tanyaku cemas   

      “Dari dua jam yang lalu. Harusnya kakak lo udah pulang.” Aku menatap jam dinding yang sudah menunjukan pulul 10 malam. Kemana siamang ini pergi sih?

        Setelah mematikan telepon itu. Aku menghampiri kamar Mas Revan dan mengetok pintunya, baru aku membuka bibir Mas Revan sudah menyela dengan nada lelah, “Mas lagi nggak mau diganggu, Dek.” Setelahnya pintu itu ditutup. Aku paham dan aku tidak mungkin memaksa Mas Revan untuk ikut mencari Vero apalagi suasana hatinya sedang tidak bagus.

      Aku memandang pintu kamar Mas Ali. Haruskah? Dengan ragu aku mengetok pintu kamarnya  terlebih dahulu bersikap sopan tidak seperti tadi menjadi adik durhaka.

          “Vero belum pulang?” ketika aku memunculkan wajahku Mas Ali malah bertanya dulu mengenai Vero.

      “Iya Mas. Kita coba cari?” Mas Ali langsung menganggukan kepala dan mengambil jaketnya sedangkan aku menunggu di luar.

        “Tapi aku nggak tau posisi dia di mana sekarang,” tanyaku saat hendak menaiki motor Mas Ali. “ Mas tau,” jawabnya .

          “Hmm?” responku bingung

        “Mas pasang GPS di motornya Vero,” jelasnya setelah itu motor melaju membelah jalan menuju lokasi.

        Motor Mas Ali berhenti di sebuah bar. Aku baru tahu kalo Vero termasuk manusia yang berani menjajaki tempat seperti ini. Untungnya aku sudah memiliki KTP jadi aku bisa ikut masuk mencari siamang itu. Cukup mudah mencari Vero karena bar sedang tidak terlalu ramai. Cowok itu berada di counter bar. Ketika aku dan Mas Ali menghampirinya dia terlihat sudah hangover.

        “Ayok pulang,” ajak Mas Ali tapi Vero malah bergumam tidak jelas. Mas Ali menepuk pipi Vero dan menarik lengannya agar berdiri tapi Vero masih setia menundukan kepalanya.

        “Vero Pulang.” kali ini nada Mas Ali terdengar tegas. “Gue mau disini dulu. Gue nggak mau lihat tatapan orang-orang itu,” jawabnya. Vero mengangkat wajahnya yang merah dan matanya yang sayu, “Gue nggak berguna, gue ngecewain banyak orang. Kayak gini aja gue kalah.”

        “Pulang lo ngelindur.”

        “Gue payah, lemah, gue udah kalah gue harusnya bisa ---“

        Apa yang selanjutnya terjadi membuat aku terhenyak. Mas Ali menampar Vero membuatnya tidak melanjutkan kata-kata lagi. “Sadar Ro, lo cuman kalah kali ini. Trofi lo yang lain udah banyak berjejer di etalase sekolah. Jangan karna kekalahan lo ini jadi bikin lo bego sampai mabuk kayak gini.”

       “Mas ngomong gitu karna mas nggak pernah ngerasain---“

     “Iya gue nggak pernah ngerasain. Gue bukan lo yang atlet berbakat atau Revan yang cerdas yang sering jadi harapan orang tua. Gue juga bukan Anis yang bakalan nerusin Revan. Tapi gue ada di tengah-tengah kalian. Jangan lo lupain itu, Ro”

     Aku bisa merasakan sesuatu yang tersembunyi yang Mas Ali coba keluarkan. Mungkin itu dirinya yang selalu memilih untuk diam. Entahlah suasana ini sangat sensitif bagiku.

    Kini aku dan Vero berada di  dalam taksi menuju rumah. Setelah dibujuk akhirnya Vero mau melangkah keluar dari bar. Di perjalanan aku selalu teringat kalimat yang dilontarkan Mas Ali tadi. Pribadinya yang dari dulu terkesan tak mengejar apa-apa, tidak menginginkan sesuatu yang besar dalam hidupnya. Dia cukup untuk dirinya sendiri. Tidak punya perihal untuk menjadi istimewa. Hidup biasa seperti tanpa beban tanpa ada ekspetasi yang mengikutinya . Awalnya aku merasa kalo dirinya egois, tak punya mimpi untuk membanggakan orang tua atau mungkin sebenarnya dia punya. Entahlah terlalu banyak kata mungkin untuk sosok Ali. Yang jelas medioker itu selalu ada untuk kami. Bisa menjadi teman  untuk kami yang dituntut berambisi.


*) Penulis merupakan mahasiswa Sosiologi FISIP Unsoed angkatan 2021

Komentar