Media dan Gerakan 30 September 1965




Oleh: Adhytia Mahendra (Sosiologi 2017)

Pembentukan opini publik sangat bergantung pada proses komunikasi. Masyarakat memperoleh pengetahuan atau informasi tentang persoalan yang terjadi melalui media komunikasi, salah satunya adalah melalui media massa.  Media massa merupakan salah satu alat dalam proses komunikasi karena media massa mampu menjangkau khalayak yang lebih luas dan relatif lebih banyak, heterogen, anonim, pesannya bersifat abstrak, dan terpencar. Media massa sendiri dalam kajian komunikasi massa sering dipahami sebagai perangkat- perangkat yang diorganisir untuk berkomunikasi secara terbuka dan pada situasi yang berjarak kepada khalayak luas dalam waktu yang relatif singkat (McQuail, 1996)
Semakin pentingnya peran media dalam pembentukan opini publik tidak terlepas dari pesatnya peningkatan teknologi informasi dan komunikasi. Masalah sekecil apapun bisa berkembang dengan cepat karena pemberitaan melalui media massa. Televisi, koran, radio sebagai salah satu bentuk media massa, menjadi ikon pembentuk konstruksi sosial.
Berkaitan dengan gerakan yang terjadi pada 30 September 1965, peran media pun sangat andil dalam pembentukan opini publik hingga saat ini. Berbagai macam teori konspirasi bermunculan untuk mencari tahu siapa dalang dibelakangnya. Mulai dari perintah Soekarno karena adanya isu bahwa ketujuh jenderal yang di eksekusi akan melakukan kudeta. Kemudian adanya peran asing yaitu CIA karena tidak ingin Indonesia menjadi bagian penganut paham komunisme. Lebih lanjut, adanya isu mengenai permasalahan internal di TNI AD yaitu Soeharto dan para jenderal yang tewas. Namun, fakta yang dibuat dan berkembang hinggat saat ini kita ketahui adalah peran Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor utama penyebabnya.
Pada saat itu media sangat gencar digunakan oleh pemerintah untuk mempropagandai bahwa PKI adalah sebagai dalang utama. Rangkaian propaganda hitam itu dimulai dengan pidato Jenderal Suharto tentang penyiksaan kejam dan biadab. Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan dongeng horor fitnah keji tentang perempuan Gerwani, yang menari telanjang sambil menyilet kemaluan para jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan dengan hasil visum dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang diserahkan kepadanya pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI, terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan oleh dua koran AD Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Kemudian RRI dan TVRI. (Indoprogress.com, 2007).
Sedangkan koran-koran lain diberangus seperti Harian Sinar Harapan dan Harian Rakyat. Tetapi, koran lain diperkenankan terbit asalkan semuanya harus mengikuti irama dan pokok arahan AD. Sehingga rekayasa ini berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat pada paham komunisme. Kampanye ini benar-benar efektif dengan memasuki dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama.
Setelah lebih dari dua minggu propaganda hitam terhadap PKI dan organisasi kiri lain berjalan tanpa henti, ketika emosi rendah masyarakat bangkit dan mencapai puncaknya dengan semangat anti komunis anti PKI yang disebut sebagai golongan manusia anti-agama dan anti-Tuhan, kafir dst yang darahnya halal. Dan situasi telah matang dan tiba waktunya untuk melakukan pembasmian dalam bentuk pembunuhan massal.
Berbagai peristiwa yang terjadi secara kumulatif ditambah peran media tersebut memunculkan opini di masyarakat. Karena munculnya opini disebabkan adanya suatu masalah yang bersifat kontroversial. Menurut Cutlip dan Center dalam bukunya “Effective Public Relation”, opini publik adalah suatu hasil penyatuan dari pendapat individu tentang masalah umum (Sastropoetro, 1990 : 52). Dampaknya, hingga saat ini kita hanya mengetahui bahwa penyebab terjadinya peristiwa G30S adalah kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, yang kala itu semangat memperjuangkan terjadinya perubahan ideologi di Indonesia. Selain itu, juga para korban selamat yang dianggap sebagai bagian dari PKI mengalami trauma yang sangat mendalam karena opini publik dapat menjadi suatu hukuman sosial terhadap orang atau sekelompok orang dalam bentuk rasa malu, rasa dikucilkan, rasa dijauhi, rasa rendah diri dsb.
Padahal opini publik memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat yang demokratis. Demokrasi diyakini oleh sebagian besar negara di dunia sebagai tolak ukur dari keabsahan politik. Keyakinan bahwa kehendak rakyat adalah dasar utama kewenangan pemerintah menjadi basis bagi tegak kokohnya sistem politik demokrasi.  Oleh karena itu, media harus memiliki keberpihakan pada masyarakat yang tertindas. Memberitakan tidak berdasarkan kepentingan segelintir orang atau bahkan pemerintah. Jaman orde baru dahulu memang faktanya media sebagai tangan kanan pemerintah untuk melanggengkan kekuasaanya. Namun kini, semenjak reformasi kebebasan pers menjadi angin segar bagi kita semua. Selain menjadi bagian dari empat pilar demokrasi, media pun pemberi informasi yang aktual yang tentunya menambah wawasan. Tetapi  tentunya kita harus tetap skeptis dan kritis dalam menerima informasi.


Daftar Pustaka

Harsutejo, (2007, 28 September). G30S. Dikutip 30 September 209 dari Indoprogress:
https://indoprogress.com/2007/09/g30s/
McQuaill, Dennis. 1996. Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar, Edisi Kedua,
 Agus Dharma & Aminuddin Ram. Jakarta : Erlangga.
Sastroputro, Santoso. 1990. Pendapat Publik, Pendapat Umum, dan Pendapat Khalayak
Dalam Komunikasi Sosial. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya



Komentar