Review Buku: Pendidikan Kaum Tertindas


REVIEW BUKU

Judul : Pendidikan Kaum Tertindas
Penerbit : Pustaka LP3ES Indonesia
Penulis : Paulo Freire
Penerjemah : Tim Redaksi
Cetakan ke : Ketujuh, Oktober 2011
Jumlah halaman : xxxvii, 221 halaman

Buku ini berisi pemikiran Paulo Freire di bidang pendidikan sebagai refleksi kritis untuk mencapai humanisasi di masyarakat.

Pemikirannya tersebut merupakan hasil refleksi atas pengalaman hidup yang dialaminya yang lahir di wilayah miskin dan terbelakang. Pengalamannya dalam menghadapi kirisis ekonomi di keluarganya menyebabkan ia ingin terlibat dalam perjuangan melawan kesengsaraan, ketidakberdayaan anak-anak yang lain. Pada masa hidupnya Friere merupakan seorang direktur Pelayanan Kultural Universitas Recife yang menerapkan program kenal aksara di kalangan petani di daerah timur laut guna sebagai usaha peningkatan kesadaran berpolitik bagi penduduk Brazil saat itu. Hakikat pendidikan menurut Freire yaitu proses membangkitkan kesadaran kritis sebagai upaya mendewasakan manusia untuk menentukan nasibnya sendiri. Konsientisasi merupakan istilah yang digunakan Freire yang berarti sebuah proses membangkitkan kesadaran kritis (adanya refleksi dan aksi). Kajian Freire mengarah pada upaya humanisasi, ia beranggapan bahwa  pengkucilan orang yang tidak berdaya di segala bidang terjadi juga di negara yang sudah maju.

Pada bab pertama buku ini membahas mengenai kebutuhan akan pendidikan bagi kaum yang tertindas. Pendidikan tersebut merupakan kebutuhan untuk mencapai humanisasi atau memanusiakan manusia. Kaum tertindas merupakan kaum yang tereksploitasi dan mendapatkan ketidakadilan oleh kaum penindas. Mereka sudah selayaknya berjuang untuk mendapatkan kebebasan dan merenggut kembali kemanusiannya yang telah dirampas. Ada hal yang unik dalam perjuangan humanisasi ini yaitu  tidak hanya untuk membebaskan kaum yang tertindas melainkan juga membebaskan kaum penindas maksudnya yaitu kaum tertindas nantinya tidak boleh berbalik sebagai penindas. Meskipun kaum penindas seakan memberikan tertib sosial sejatinya itu hanyalah kamuflase belaka untuk mempertahankan kekuasaan yang telah dimilikinya. Penindasan ini menyebabkan terbatasnya persepsi akan peran yang dialami kaum penindas, mereka hanya melihat 2 peran saja yakni penindas dan tertindas, jadi pada tahap awal mereka melihat pembebasan sebagai pembalikan peran. Berdasarkan hal tersebut, pendidikan diperlukan untuk memberikan pemahaman akan situasi yang mereka hadapi. Pendidikan merupakan upaya melawan penindasan yang ada untuk mencapai kebebasan, pendidikan ini merupakan tahap awal untuk mengembangkan kesadaran akan penindasan yang dialaminya.

Bab kedua buku ini membahas mengenai bagaimana proses pendidikan kaum tertindas. Sistem lama yang berkembang di dunia pendidikan bisa disebut sebagai gaya bank dimana siswa dijadikan sebuah objek pembelajaran dan guru sebagai subyek yang memiliki pengetahuan untuk diberikan. Tidak adanya komunikasi interaktif antara guru dengan siswa, siswa hanya diajarkan untuk meniru dan menghafal. Pendidikan ini mencerminkan penindasan yang terjadi di masyarakat, alat untuk menjinakkan kaum yang tertindas. Dengan melihat realitas seperti itu, Freire mengupayakan adanya perubahan sistem yang dinamakannya “problem-posing education” (pendidikan hadap masalah). Sistem ini membutuhkan konsientisasi dalam proses pembelajaran, guru dan murid merupakan subyek untuk berpikir bersama. Dalam hal ini dibutuhkan dialog interaktif antar keduanya. Pada mulanya guru berperan penting dalam merangsang daya pikir siswa untuk menjawab tantangan-tantangan akan pengetahuan. Menurut Freire pengetahuan adalah keterlibatan. Dengan adanya keterlibatan tersebut, siswa dapat secara mandiri untuk menentukan nasibnya sendiri dalam memperjuangkan humanisasi.

Bab ketiga buku ini membahas tentang dialog sebagai unsur pendidikan kaum tertindas. Dialog diwujudkan dengan kata. Kata sejatinya tidak hanya sekadar refleksi melainkan juga di tindaklanjuti dengan aksi yang memungkinkan manusia untuk mengubah dunia. Dialog ini dapat terwujud manakala setiap manusia memiliki hak untuk ber-kata, kemauan untuk belajar dari orang lain, memperlakukan orang lain dengan sama, kepercayaan terhadap orang lain, cinta kasih. Dialog ini mencerminkan keberanian untuk mencapai kebebasan dengan melibatkan diri dengan interaksi sosial sekaligus menciptakan semangat peduli. Dialog merupakan bentuk pengakuan kalau manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang belum selesai, dalam keadaan yan belum selesai. Jika dikaitkan dengan ketidakadilan tertib sosial yang dialami kaum tertindas, keberanian untuk berdialog ini akan memunculkan semangat perjuangan merenggut kembali kemanusiaan mereka. Program pendidikan yang bersifat dialogis yang diwujudkan Freire yaitu melalui metode kenal aksara yang dilakukan melalui tahap  kampanye  kenal  aksara dan tahap kampanye sesudah kenal aksara. Tahap mengenal diantaranya mengumpulkan kata-kata apa saja yang berlaku  pada masyarakat setempat, menyusun daftar kata-kata generatif, dan penggambaran akan situasi eksistensial yang didukung dengan bahan-bahan visual. Hasilnya yaitu kemampuan masyarakat untuk membaca, menulis, berdiskusi meningkat masyarakat lebih percaya diri. Tahap kampanye sesudah kenal aksara mencakup tema-tema yang tercakup dalam situasi manusia dalam berhadapan dengan batas antara ada dan menjadi lebih manusiawi (situasi batas) atau sebagai bentuk tindakan pembebasan.

Bab ke-empat buku ini membahas tentang pertentangan teori tindakan dialogik dengan teori tindakan antidialogik. Dialogik menunjukkan adanya kesatuan antara pemimpin dengan masyarakat dalam mewujudkan kebebasan dengan adanya perombakan struktur kaum penindas. Teori antidialogik menunjukkan adanya penguasaan kelas penindas untuk mempertahankan status quo, menghambat daya kritis kaum tertindas untuk lebih percaya terhadap mitos-mitos yang diciptakannya dan menciptakan rasa rendah diri.

Dalam buku ini dijelaskan bahwa kebebasan menurut Freire merupakan keharusan dan hanya dapat dicapai dengan usaha pembebasan dari ketidakadilan dan penindasan yang bersifat struktural. Humanisasi  tidak  terhenti  begitu  saja melainkan akan terus dijalankan. Kebijakan pendidikan yang ada harus senantiasa kita kritisi dengan bijak.

Komentar