Judul : Kontestasi Habitus di Sekolah Publik
Penerbit : PT Rajagrafindo Persada
Penulis : Nanang Martono, Sulyana Dadan, Elis Puspitasari, dan Mintarti
Cetakan : Ke-1, Februari 2019
Jumlah Halaman : XIV, 88 Halaman
Ketika kita membicarakan pendidikan, kita selalu memfokuskan diri pada hak setiap
manusia mendapatkan pendidikan. Baik pendidikan formal maupun non-formal, memang pada
hakikatnya manusia memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Di Indonesia sendiri,
pemerintah mewajibkan setiap anak untuk menempuh wajib belajar dua belas tahun. Walaupun
pemerintah akui bahwa wajib belajar setiap anak di Indonesia belum
maksimal. Tetapi sebenarnya, masalah Pendidikan jauh lebih dalam bahkan lebih kompleks
permasalahannya. Tidak hanya sekedar belajar maupun mendapatkan ijazah semata, di sisi lain ada ketimpangan maupun isu dalam pendidikan yang jarang sekali dibahas dan diangkat
isunya.
Isu yang dibahas dalam buku, sering dianggap sebagai suatu permasalahan yang tidak serius karena masalah yang
diakibatkan oleh ketimpangan ini tidak akan terasa dalam jangka waktu dekat atau dapat langsung
menimbulkan masalah. Tetapi, permasalahan seperti ini tentunya tidak boleh dianggap remeh ataupun disepelekan karena akan menyebabkan permasalahan dalam jangka panjang. Menjadi
permasalahan yang akan terus terjadi dari generasi ke generasi. Isu ketimpangan sosial dalam
pendidikan yang dimaksud adalah ketimpangan antar kelas. Sudah bukan rahasia lagi bahwa
beberapa kebijakan pendidikan sering kali mendiskriminasi individu dari kelas tertentu.
Sehingga akses mereka pada fasilitas pendidikan pun menjadi sangat terbatas.
Memang hingga saat ini, pemerintah terus berupaya membuat kemudahan agar siswa miskin dapat menikmati pendidikan, salah satunya melalui program beasiswa. Namun, hal tersebut
belum ampuh mengatasi semua permasalahan pendidikan di Indonesia. Ketika siswa miskin berhasil masuk
ke sekolah yang diklaim sebagai “sekolah favorit” atau identik dengan “sekolah mahal”. Maka siswa tersebut harus berhadapan dengan kelompok “mayoritas” di sekolah. Yaitu, siswa kaya yang berasal dari latar belakang tingkat ekonomi tinggi. Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial, dan mereka “dipaksa”
mempelajari budaya kelas atas yang tentu saja berbeda dengan budaya mereka.
Buku ini berisi ketimpangan sosial dalam pendidikan, fokus yang ada dalam buku ini
adalah Kontestasi Habitus. Habitus sendiri adalah kebiasaan, gaya hidup atau budaya. Ketika
siswa kelas bawah dipaksa mengenal, menyesuaikan diri, bahkan melakukan habitus. Secara
Sosiologis, hal tersebut merupakan sebuah bentuk kekerasan simbolik yang terjadi di sekolah.
Pada buku ini kita akan mengetahui penyebab terjadinya Kontestasi Habitus. Lebih lanjut, sang penulis membuktikan isu ketimpangan sosial ini melalui sebuah penelitian yang melibatkan
berbagai siswa dan para akademisi. Hal inilah yang menarik karena penelitian dalam buku ini
menggunakan metode kualitatif.
Penelitian ini ingin menggambarkan bagaimana siswa memahami
situasi sosial di sekolah ketika banyak siswa dari latar belakang sosial yang berbeda. Kemudian
penelitian ini juga menggambarkan berbagai upaya yang dilakukan siswa kelas bawah
menghadapi dominasi habitus kelas atas di sekolah. Selain itu, menggambarkan
proses interaksi sosial siswa miskin, yang mendapatkan beasiswa dan
bersekolah di sekolah “favorit”. Sehingga mereka merasakan betul apa yang terjadi dalam proses
belajar maupun interaksi mereka.
Hal lainnya yang menarik dari buku ini adalah studi yang dilakukan sang penulis tidak
hanya dalam satu sekolah saja, melainkan beberapa sekolah
yang ada di Kota Purwokerto dan Cilacap. Sehingga data yang didapat akurat dan tidak hanya
berada pada satu titik saja, melainkan dalam jangka luas. Hasil dari penelitian yang terdapat di
buku ini pun cukup mengejutkan bahwa hampir semua siswa yang berasal dari kelas bawah, merasakan ketimpangan dalam Habitus dari kelas atas. Seperti merasa minder ketika harus berinteraksi dengan temannya yang
berasal dari kelas atas. Kemudian mereka (kelas bawah) juga menghadapi kesulitan ketika tidak
memiliki perlengkapan sekolah yang lengkap seperti yang dimiliki temannya. Sehingga hal
tersebut menyebabkan siswa merasa diasingkan. Inilah yang menyebabkan isu permasalahan
dalam pendidikan khususnya dalam isu Habitus/ Kebiasaan.
Komentar
Posting Komentar