Politik Uang dalam Pilkades




(Siti Khoiriyah, 2012)

Tahun 2014 merupakan tahun politik bagi Bangsa Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke rakyat Indonesia merasakan gempita demokrasi yang berkoar kesana kemari. Demokrasi itu dapat dilaksanakan dalam Pemilu yang memilih wakil rakyat di tahun 2014. Wakil rakyat inilah yang harus dipilih oleh rakyat untuk menentukan nasib masa depan Bangsa Indonesia 5 tahun ke depan. Setelah pemilihan para wakil rakyat yang terdiri dari DPR, DPD, dan DPRD, rakyat Indonesia harus melakukan pemilihan yang lain, yaitu pemilihan Presiden Indonesia. Pada pemilihan Presiden ini tidak memungkiri terdapat ketegangan antara kubu Indonesia Hebat yang di dalamnya terdapat Jokowi dan JK dengan kubu Merah Putih yang di dalamnya terdapat Prabowo dan Hatta. Keduanya bersaing ketat untuk mendapatkan perhatian rakyat Indonesia. Beragam janji pun dilontarkan kedua kubu untuk mendapatkan simpati dari masyarakat Indonesia. Embel-embel atas nama demokrasi, rakyat Indonesia hanya dijadikan alat dari sebagian penguasa untuk mendapatkan kekuasaan di tanah Bumi Pertiwi ini. Alhasil, setelah mengalami beberapa permasalahan yang mengiringi proses pemilihan Presiden dan wakil Presiden Republik Indonesia, Jokowi dan JK pun terpilih dan telah dilantik untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia hingga pada tahun 2019. Terlepas dari kepentingan para elite politik, prinsip rakyat kecil Indonesia hanyalah siapapun yang menjadi Presiden mereka tidak peduli yang penting mereka bisa makan sehari-harinya.


Proses Pemilu tidak hanya dirasakan oleh mereka yang ada di kalangan elite politik saja, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat yang ada dalam pedesaan. Baru-baru ini masyarakat Pati khususnya di Desa Tluwuk Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini tepatnya tanggal 28 Maret 2015. Suasana gempita menjelang Pilkades kian terasa di tengah masyarakat Desa Tluwuk. Suasana kultur desa yang sangat berbeda dengan perkotaan membuat masyarakatnya jua berbeda dalam pola pikirnya mengenai pesta demokrasi rakyat ini. Pola pikir rakyat desa ini sangat kental ketika menyangkut pesta demokrasi rakyat ini. Pemikiran yang kental itu dapat dibuktikan dengan pernyataan salah satu warga Desa Tluwuk, sebut saja Zaenab bahwa Pilkades itu sama saja masyarakat Desa menikmati panen duit. Alasan mengapa dikatakan panen duit karena para calon Kades yang maju pada Pilkades akan membagikan Cuma-Cuma uang untuk para warga desa agar memilih calon Kades tersebut. Penulis sempat terheran ketika mendengar pernyataan seperti itu, tetapi warga desa semua berfikiran sama mengenai musim Pilkades. Rata-rata para calon Kades yang maju dalam putaran Pilkades akan membagikan per orang 50ribu sampai 100ribu.Melihat fenomena ini, apa sih yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat kita? Terutama orang desa yang mungkin pola pemikirannya masih tertinggal jauh dalam mengartikan proses demokrasi di Indonesia.

Berbicara demokrasi yang dibumbui oleh poltik uang sebenarnya bukan hal yang baru lagi terjadi di Indonesia. Pemahaman masyarakat yang kurang mengenai demokrasi disertai dengan tidak adanya penanganan khusus mengenai pelanggaran ini, membuat politik uang semakin menjamur layaknya lumut yang tumbuh di musim hujan. Politik uang sendiri merupakan suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Hukum yang mengatur mengenai politik uang juga telah diterapkan yaitu Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999 yang berbunyi : "Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu." Ibarat anjing yang menggonggong kafilah berlalu, faktanya yang ada dalam masyarakat menganggap bahwa pemberian uang dari calon Kades merupakan hal yang biasa dan dianggap wajar.

Sosiologisnya jika orang yang ingin mendpatkan sesuatu harus rela untuk mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan keinginannya atau yang dalam istilah sosiologisnya disebut dengan teori pertukaran. Teori ini pertama kali dicetuskan oleh Homans atas dasar apa yang dilakukan oleh seseorang terhadap lingkungannya itu akan mempengaruhi perilaku seseorang tersebut di masa yang akan datang. Fenomena Politik uang di setiap musim Pilkades bukan merupakan hal baru, melainkan sudah menjad suatu fenomena yang mendarah daging di masyarakat.  Hal ini dikarenakan bahwa pertukaran sosial yang dilakukan antara calon kepala desa dengan warga desa sama-sama menguntungkan keduanya, disisi lain calon kepala desa mengharapkan dukungan warga desa untuk memilihnya dalam Pilkades, dan di sisi lain warga desa menganggap bahwa uang pemberian calon Kades merupakan rejeki tersendiri yang jarang-jarang terjadi. Ditinjau dari segi sosiologi politik fenomena bantuan politis ini dipahami sebagai wujud sistem pertukaran sosial yang biasa terjadi dalam realitas permainan politik. Karena interaksi politik memang meniscayakan sikap seseorang untuk dipenuhi oleh penggarapan timbal balik (reciprocity). Dengan kata lain, relasi resiprositas merupakan dasar bagi terciptanya sistem pertukaran sosial yang seimbang ( Sabilal Rosyad, 2009).

Mengenai permasalahan politik uang yang menjangkiti masyarakat pedesaan memang tidak lantas dapat diatasi dengan begitu mudah. Tetapi setidaknya para elit yang berpengalaman haruslah memberikan sosialiasi mengenai pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Sosialisasi yang benar akan dapat meminimalisir pelanggaran dalam pemilihan umum kepala desa. Selain itu di perlukan juga komunikasi yang aktif antara perangkat desa dengan penduduk yang ada dalam desa tersebut. Jika pada dasarnya politik uang menjadi hal yang wajar dalam masyarakat, setidaknya para elite politik lebih mengetahui dampak dari politik uang tersebut. Bisa jadi dampak yang ditimbulkan akan sangat panjang yaitu dapat menciptakan korupsi para elite yang akan menyebabkan kerugian sendiri bagi rakyat. Oleh karena itu, memang sekilas politik uang dapat dinikmati dengan begitu mudah oleh mereka yang menerima ibarat kata sebagai hasil panen, namun di balik itu semua ada bahaya yang menggerogoti, yaitu munculnya tindak korupsi.

Daftar Pustaka:

Komentar