Menyoal Makna Bahasa

Oleh : Srie Mustika Rahayu (Sosiologi 2011)

Sumber: Google

Kontroversi hati.. Konspirasi kemakmuran.. Harmonisasi.. Kudeta.. Labil Ekonomi.. Statusisasi.. Mempertakut.. Mempersuram.. Twenty-nine my age..



Rasanya familiar sekali dengan kata-kata di atas. Hebohnya pemberitaan media tentang sosok yang mempopulerkan istilah-istilah ini tentu tak lepas menjadi salah satu faktor penentu begitu cepatnya kata-kata yang menjadi frasa ini kita hafal di luar kepala. Inilah kekuatan bahasa yang kita punya. Menilik soal bahasa, rupanya kita punya pembahasan yang cukup rumit nan pelik yang hanya bisa dipahami jika kita berkenan terpaksa menyerahkan segenap atensi sampai pada akhir tulisan ini. Hanya sebuah pengantar, untuk pengetahuan yang lebih dalam nantinya.

Bahasa, sering orang mengartikannya sebagai alat berkomunikasi semata. Memang, bahasa merupakan satu-satunya cara manusia untuk dapat mengomunikasikan maksud dan tujuannya pada orang lain. Namun tentunya, ada hal yang lebih dari itu, mengapa bahasa menjadi salah satu aspek budaya yang paling penting dalam kehidupan manusia. Sebagai makhluk yang seringkali orang menyebutnya ‘sosial’, manusia, harus membentuk semacam hubungan dengan manusia lainnya untuk dapat memahami kebutuhannya satu sama lain. 

Well, hubungan semacam itu tak lantas hadir dengan sendirinya. Komunikasi bukan merupakan proses alami manusia jika tidak ada unsur upaya dan sengaja. Hal yang seperti itu tidak mungkin dapat manusia lakukan jika tak ada cara untuk menyampaikannya. Maka, bahasa-lah yang kemudian menjadi hal yang dipilih manusia untuk dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya.  

Namun benarkah bahasa menjadi satu-satunya cara manusia menjelaskan maksud dan keinginannya pada orang lain? Biasanya, yang menjadi kebingungan kita adalah, bahasa tidak selamanya mengidentifikasikan sesuatu hal secara signifikan, bukan? Karena ternyata, ada jenis bahasa yang dinamakan pula dengan bahasa tubuh, yang digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi bagi kaum tuna wicara dan tuna rungu. Dengan adanya bentuk bahasa yang kemudian telah menjadi sebuah konsensus bersama itulah, maka jika ada teori yang menyebutkan bahwa hanya bahasa yang secara lisan diungkapkan yang merupakan simbol paling signifikan, agaknya perlu ditinjau ulang kembali. Nyatanya, bahasa tubuh yang digunakan sebagai cara berkomunikasi orang-orang yang memiliki kekurangan initetap bisa digunakan sebagai simbol signifikan bagi sesama mereka. Padahal, bahasa tubuh dapat  digolongkan kepada jenis gesture yang disebut dalam kajian ilmu sosiologi. 

Sedikit mengenai gesture tersebut, ia merupakan semacam penggolongan simbol dalam interaksi manusia yang termasuk pada simbol yang diklaim tidak signifikan. Contoh gesture bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti gerak tubuh, kemudian isyarat berupa gerakan tangan, dan lain sebagainya. Mengapa demikian? Sebab seperti yang kita tahu secara massal, bahwa penafsiran tiap orang terhadap simbol ataupun tanda adalah berbeda-beda. Setiap orang memiliki pemaknaan yang belum tentu sama pada suatu simbol maupun tanda. Hal ini sama halnya seperti pembacaan setiap kepala terhadap teks yang hampir pasti berbeda rupa.

Pada pertanyaan selanjutnya ialah, bagaimana jadinya sebuah simbol seperti bahasa dapat dikatakan sebagai simbol yang signifikan, sementara terdapat jenis bahasa yang justru tergolong ke dalam bentuk simbol yang tidak signifikan, yaitu gesture, yang kita kenal sebagai bahasa tubuh tersebut? Seyogyanya, kita perlu pahami betul bagaimana mencoloknya sesuatu antara simbol yang signifikan dengan yang tidak signifikan ini terjadi. Kita dapat menyebut bahwa bahasa akan menjadi lebih signifikan dibanding simbol lainnya ketika pada saat itu gesture sedang menjadi sebuah simbol yang tidak signifikan. Artinya, sebetulnya, keberadaan sebuah simbol itu dapat disebut sebagai signifikan atau tidaknya itu terletak bagaimana posisi simbol pada saat penafsiran manusia itu berlangsung.

Hal inipun sudah dijelaskan oleh Ritzer dalam bukunya, bahwa isyarat fisik dapat menjadi simbol yang signifikan, namun secara ideal tak cocok dijadikan simbol yang signifikan karena orang tidak mudah melihat ataupun mendengarkan isyarat fisiknya sendiri. Jadi, ungkapan suaralah yang paling mungkin menjadi simbol yang signifikan, meski tidak semua ucapan dapat menjadi simbol yang signifikan. Nah, kumpulan isyarat suara yang paling mungkin menjadi simbol yang signifikan itu dinamakan bahasa. (dalam Ritzer: 278)

Jika mau dicermati lebih dalam, untuk dapat menjelaskan bagaimana konsep bahasa tubuh itu dapat dikatakan sebagai bahasa yang signifikan, sebetulnya titik perbedaannya ialah terletak pada kesadaran dari pelaku pengguna bahasa tersebut. Dalam kondisi tak sadar, seseorang yang tanpa bicara menggerak-gerakkan tangannya tanda ia marah ataupun kesal, akan tidak selalu ditangkap sama maknanya oleh orang lain. Sedangkan seseorang yang menggerak-gerakkan tangan sambil berbicara ataupun berbahasa sesuai dengan caranya sendiri, akan menyadari kemarahannya karena diucapkan, dengan begitu ia pun sudah memikirkan responnya sendiri terhadap reaksi orang lain karena kemarahannya tersebut. 

Seorang tokoh sosiologi, Mead dalam pemikiran pragmatisnya juga dapat melihat fungsi dari isyarat dan simbol signifikan, dan ia menyimpulkan bahwa isyarat percakapan yang disadari atau yang signifikan adalah mekanisme yang jauh lebih memadai dan efektif untuk saling menyesuaikan diri dalam tindakan sosial, ketimbang isyarat percakapan yang tidak disadari atau yang tak signifikan. (Mead, 1934/1962:46)

Fenomena unik yang terjadi pada Vicky Prasetyo berakar dari penggunaan bahasa yang dipilihnya. Dalam hal ini bisa kita amati secara mudah yaitu contoh riil bagaimana bahasa itu menjadi sebuah simbol yang kurang signifikan. Ketika istilah-istilah yang dipilihnya tak sesuai dengan konsensus yang ada di dalam masyarakat, apa yang ia maksudkan pun menjadi buram makna sehingga banyak orang yang tidak memahaminya dan menganggap bahwa ia seseorang yang menyimpang dari nilai yang dihargai dalam masyarakat. Betapapun bahwa bahasa merupakan simbol yang paling signifikan dibanding yang lainnya, namun tetap dalam beberapa hal, bahasa dapat dimaknai sebagai simbol yang kurang signifikan.

Komentar