Ketika Simbol Berbicara

Oleh : Oji Hanafi (Sosiologi 2011)

Sumber: Google
Pria berkumis itu terlihat sibuk bekerja di sebuah pabrik besi. Tak ada waktu untuk bersantai, karena masih banyak baut yang harus dikencangkan. Bila melakukan kesalahan, maka pengawas pabrik tak segan-segan untuk memberinya peringatan.



Apa boleh buat, itulah kehidupan buruh. Lagipula, menjadi buruh di waktu itu sudah untung. Di luar sana jutaan orang terlunta-lunta tanpa pekerjaan. Resesi ekonomi memporak-porandakan dunia, membuat jutaan orang harus mengerutkan dahinya untuk  sekedar memikirkan perut.
Di sisi kota yang lain, terlihat seorang wanita dengan sigap mencuri buah-buahan dari sebuah kapal kecil di tepi pelabuhan. Hasilnya lumayan, satu sisir pisang ia dapatkan. Kiranya sesisir pisang cukup untuk mengganjal perut adik dan ayahnya yang kelaparan. Maklumlah, wanita tersebut adalah pengangguran. Ia tidak memiliki cara lain untuk bertahan hidup kecuali dengan mencuri.

Singkat cerita, kedua insan ini akhirnya dipertemukan. Sang pria telah dikeluarkan dari pabrik, sementara sang wanita tetap konsisten sebagai pengangguran. Keduanya akhirnya merajut hubungan dengan dilandasi oleh tujuan yang sederhana, yaitu mendapatkan pekerjaan dan hidup dengan layak. Hubungan mereka diwarnai dengan lika-liku kehidupan di era krisis ekonomi. Sedikit kesempatan untuk bersantai dan saling bercerita, karena mereka harus terus bergegas memenuhi panggilan perut.

Kisah kedua insan tersebut merupakan sepenggal cerita dari sebuah film komedi. Komedi...? Ya, Modern Times judulnya. Sebuah maha karya dari seorang aktor, komedian, sekaligus sutradara yang bernama Charlie Chaplin. Siapa yang tidak kenal Chaplin. Pria kelahiran London 1977 ini merupakan salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam era “film bisu”.

Untuk menyampaikan maksud dari setiap filmnya, Chaplin menggunakan simbol berupa gerakan-gerakan tubuh, atau yang biasa disebut pantomim. Dengan pantomim, ia bercerita kepada dunia.
Modern Times dirilis pada tahun 1936. Film ini menggambarkan kondisi masyarakat barat di tengah depresi besar ekonomi yang terjadi pada tahun 1930an. Sama seperti film Chaplin lainnya, ia juga menyampaikan pesan dalam film ini melalui bahasa-bahasa tubuh.

Tokoh utama film ini adalah The Tramp, seorang pria miskin yang selalu bertindak konyol. Jas kesempitan serta celana yang sedikit kedodoran selalu menjadi pilihannya dalam berbusana. Kumis ala Hitler rapih bersandar diantara hidung dan mulutnya, dan tongkat kayu selalu menemani perjalanannya. Ia berbusana layaknya para bangsawan. Namun sayangnya, perilakunya tidak mencerminkan hal itu. The Tramp dihadirkan bersama tokoh perempuan, A Gamin. Seorang wanita pengangguran ini hidup serabutan. Seringkali mencuri menjadi pilihan terbaik. Mereka berdua merupakan simbol dari rakyat miskin di eropa ketika era 1930an. Mereka tidak memiliki pekerjaan tetap dan hidup diantara ketidakpastian. 

Modern Times dibuka dengan penggambaran yang sungguh ironis. Chaplin menyajikan adegan sekumpulan domba yang sedang digiring masuk ke kandang. Setelah itu, gambar beralih menjadi sekumpulan manusia yang sedang berjalan menuju daerah industri. Chaplin membuka filmnya dengan tamparan terhadap industrialisasi dan modernisasi. 

Adegan tadi seolah-olah menganalogikan kehidupan manusia dengan kehidupan domba. Di zaman modern, manusia berbondong-bondong menghampiri pabrik untuk memproduksi barang demi makanan. Tak ada bedanya dengan segerombolan domba yang memproduksi kain wol di sebuah peternakan domba.
Analogi Chaplin menyiratkan makna bahwa modernitas telah “membunuh” kemanusiaan. Manusia kini bukan lagi menjadi makhluk bebas yang dapat bekerja sesuai bakat dan minatnya. Kini manusia ibarat domba yang terombang ambing oleh sang pengembalanya, yaitu modernitas.  

Pesan selanjutnya yang ingin Chaplin sampaikan pada film ini adalah alienasi yang dialami oleh seorang buruh. The Tramp bertugas untuk mengencangkan baut-baut di dalam pabrik. Tangannya dengan sigap memutar-mutar baut untuk memastikannya terpasang dengan baik. Ketika The Tramp beristirahat, tangannya terlihat masih saja berputar-putar, seolah ia masih mengerjakan pekerjaannya. Penggambaran situasi tersebut menyimbolkan seorang buruh yang dikekang, kehilangan dirinya sebagai manusia yang bebas. Pikiran dan tenaga yang telah dikuras selama kerja, seolah masih terbawa ketika sang buruh beristirahat. Tak ada lagi kebebasan buruh untuk mengerjakan apa yang ia suka. Tekanan kerja membelenggu kesadaran buruh, hingga tak ada lagi kehendak bebas dari seorang buruh sebagai manusia. 

Belum selesai The Tramp beristirahat, sang pemilik pabrik memintanya menjadi kelinci percobaan dari sebuah mesin baru. Mesin tersebut merupakan mesin pemberi makan otomatis. Mesin tersebut mendekap The Tramp dengan erat, lalu ia dipaksa makan oleh mesin tersebut. Akhirnya The Tramp menjadi frustrasi dan membuat kekacauan di dalam pabrik.  Situasi ini menggambarkan posisi manusia yang terkerangkeng oleh modernitas. Kebudayaan yang diciptakan manusia pada akhirnya akan memangsa diri manusia sendiri, tanpa bisa dikendalikan. Adegan lain juga menunjukkan bagaimana seorang mekanik yang terjebak didalam mesin raksasa di dalam pabrik. Hal ini juga menyimbolkan ketidakberdayaan manusia dalam menguasai ciptaannya. Kondisi ini merupakan gambaran masyarakat eropa di tengh industrialisasi. Manusia tunduk terhadap mesin. Akhirnya manusia mulai tergantung dengan alat-alat ciptaannya, melupakan kemampuan alamiah manusia sebagai makhluk yang sadar dan aktif

Pesan lain yang ingin disampaikan Chaplin adalah maraknya tindakan represifitas negara yang dilakukan terhadap rakyatnya. Sekumpulan buruh yang terlihat sedang melakukan aksi massa dibubarkan paksa oleh polisi. Polisi sebagai alat negara melakukan pengekangan terhadap aksi protes. Hal ini merupakan perwujudan dari repressive state apparatus, atau aparatur negara yang berfungsi untuk melakukan tindakan represif. Hal ini ditujukan untuk menjaga statu quo negara bersama para pemilik modal sebagai koleganya. Aksi massa sebgai protes tentu saja akan membahayakan kestabilan negara dan para pengusaha besar. Untuk itu, pengekangan adalah jalan terakhir yang bisa dilakukan negara. Tindakan pembubaran paksa yang dilakukan polisi inilah wujud dari repressive state apparatus.

Secara keseluruhan, Modern Times hadir untuk mengkritik industrialisasi di tahun 1930an. Melalui pantomimnya, Chaplin sebenarnya ingin menunjukkan kegagalan industrialisasi yang dilakukan oleh negara dan pengusaha. Industrialisasi gagal mensejahterakan rakyat. Mulai dari kemiskinan yang diakibatkan oleh pengangguran, hingga bentuk kekerasan terhadap masyarakat menjadi tontonan sehari-hari di zaman itu. Namun, terpuruknya kondisi tersebut tidak membuat Chaplin pesimis. Di akhir film, Chaplin dengan tegas berbicara, “Buck Up! Never say die! We’ll get along!”. Adegan tersebut diakhiri dengan perjalanan The Tramp dan A Gamin menuju sebuah jalan yang lurus. Mereka berdua terus berjalan dengan senyuman di wajah. Chaplin ingin menyuntikkan semangat kepada kita. Baginya, pasrah bukanlah jawaban. Kita harus terus berjalan dan berusaha, karena perubahan tidak datang begitu saja dari langit.  

Itulah Chaplin. Ia berbicara lewat tubuhnya. Gerak-geriknya mengisyaratkan makna. Filmnya berteriak dalam kebisuan. Simbolnya menari-nari membongkar realita. Humornya menampar zaman. Ia ingin menyadarkan kita dengan isyarat yang sederhana. Tak perlu data statistik atau sekarung argumentasi, cukup dengan gerakan dan tarian. Ketika The Tramp sudah didepan layar, biarkan simbol yang berbicara!

Komentar