Anarkisme Sama Dengan Kekerasan?

Oleh : Yoshua Abib Mula Sinurat


“Negara hadir untuk membatasi rakyat dengan otoritas hukumnya, tetapi kaum anarkis ada untuk membebaskan rakyat untuk menciptakan kedamaian.”



Pesan SBY Kepada Pimpinan Serikat Buruh, “Demo Jangan Anarkis”, “Anarkisme Bukan Jiwa Pemuda Indonesia”,  “Anarkis Bukan Produk Demokrasi, Tetapi Kelunturan Semangat Pancasila”, dsb. Kumpulan judul berita di atas sangat marak pada pemberitaan di media massa. Atau sesekali kita dengan kritis membaca koran, menonton berita televisi bahkan dalam tayangan gosip infotainment, begitu pula bila kita menonton film – film, biasanya produksi film barat. Nah, pastilah perasaan kita seakan berada dalam sebuah dunia yang demikian brutal, dimana anarkisme atau anarkis menjadi sebuah kata yang bemakna kekerasan, kebrutalan, penghancuran atau tindakan protes dengan kemarahan yang merusak.

Coba lagi kita lihat dengan kritis, anarkis selalu diartikan tindakan-tindakan yang menganggu aktivitas rakyat, kerumunan massa yang saling mendorong-dorong, mengganggu aktivitas jalan, dan membuat pengrusakan seperti membakar ban, mencoret-coret dinding. Dengan tuntutan protes inilah yang selalu dilihat masyrakat sebagai bentuk tindakan anarkis.  Bahkan, ketika beberapa orang sedang berbincang-bincang tentang anarkis, cenderung mereka memahami anarkis itu adalah tindak kekerasan. Makna yang selalu keluar pun dari masyrakat pastilah makna yang cenderung kepada tindakan yang negatif. 

Lagi lagi berita tentang aksi protes akan selalu dengan tayangan para pemerotes yang bergandengan tangan mendorong pagar atau barikade polisi dan bahkan polisi yang memukuli mereka dengan kayu, melontarkan gas air mata atau kadang tembakan peluru karet. Yang dengan lucunya bahwa tayangan tersebut seolah tindakan buruk.

Kesalahpahaman filosofis anarkisme pun ternyata telah dilanggengkan oleh media-media yang ada di Indonesia. Media, terutama televisi dan surat kabar acap kali menayangkan berita berita yang menggembar-gemborkan anarkis sebagai tindakan rusuh. Konotasi makna negatif ini akibat media yang sealalu memberitakan tindakan anarkisme kedalam tindakan kekerasan, bahkan keburukan–keburukan berpikir dan keburukan kebebasan tanpa tanggung jawab. Kebenaran filosofi anarki itu sendiri bertentangan dengan filosofi yang media tayangkan. Bisa dikatakan bahwa media saat ini masih lemah akan sikap jurnalistiknya. Media hanya menyajikan agar berita itu siap di tonton oleh penonton.

Ditambah lagi multitafsir yang dikonsumsi pembaca ataupun penonton dalam  hal ini adalah masyarakat, yang telah memahami istilah anarkis kedalam konotasi negatif. Nah, ini yang kemudian melanggengkan anarkisme sebagai tindakan kekerasan. Akibat dari kesalahpahaman inilah pada akhirnya muncul anjuran untuk waspada terhadap segala bentuk tindakan anarkis, yang saat ini telah menjadi hampir kesepakatan dalam masyrakat. Singkat kata, bahwa masyrakat sudah memandang anarkisme sebagai sesuatau yang perlu di amputasi atau dilenyapkan untuk selamanya. Suatu kewajaran memang jika sebuah paham lama-kelamaan sudah merembes masuk ke dalam masyrakat dan terbelokkan artinya.

Dari kesalahan berpikir diatas pada akhirnya anarkisme kemudian menjadi paham yang sangat ditakuti, sehingga perlu dibrantas habis. Ditambah lagi karena kita tidak paham seutuhnya tentang anarkisme dan apa sebenarnya yang menjadi cita-citanya, yang kemudian kita selalu menangkap bahwa anarkis itu haram hukumnya.

Makna filosofis yang terdapat dalam kata Anarkisme sudah diselewengkan. Perlu kita tahu bahwa, anarkis adalah tindakan yang didasarkan ketidakpercayaan atas segala bentuk negara dan kekuasaannya, dalam hal ini kita sebut dengan Otoritas negara. Kaum anarkis mengamini bahwa kekuasaan negaralah yang menumbuhsuburkan penindasan terhadap rakyat, maka negara harus dihilangkan dan dihancurkan.  Kebebasan tanpa otoritas yang memang tujuan akhir dari kaum anarkis nyatanya makin dipersulit saja. Jelas , karena manusia adalah mahluk yang terlahir bebas.

Coba teman-teman pahami kutipan tulisan Alexander Brekman ini,
“Anarkisme bukan Bom, ketidakteraturan atau kekacauan. Bukan perampokan dan pembunuhan. Bukan pula sebuah perang di antara yang sedikit melawan semua. Bukan berarti kembali kekehidupan barbarisme atau kondisi yang liar dari manusia. Anarkisme adalah kebalikan dari itu semua.”

Kutipan tulisan diatas sudah seharusnya menyentil perspektif kita, bahwa anarkis bukan ketidakteraturan atau kekacauan. Memang seperti itulah makna anarkisme, dimana semua orang tidak berperang dan selalu bekerja sama sesuai dengan kemampuannya tanpa adanya otoritas yang mengatur-atur, apalagi memanfaatkan hasil kerja orang lain untuk kepentingannya sendiri, keadaan anakrisme inilah keadaan dari sisi alamiah manusia.

Bandingkan dengan tindakan anarkis yang sering masyrakat artikan dengan korupsi yang dilakukan oleh para birokrat negara. Menguras uang rakyat, menyelewengkan dana pembangunan, kebijakan-kebijakan yang tidak memihak pada rakyat, penggusuran PKL, bahkan jika berbicara lebih luas, kita bisa memaknai bahwa korporasi asing sudah menghisap tenaga rakyat dan SDA. Semuanya merupakan tindakan yang tidak memihak pada kebebasan rakyat. Hal ini nggak fair kan, ketika kita memahami anarkis tetapi tidak memahami keburukan –keburukan yang negara lakukan. Negara ada untuk membatasi masyrakat dengan otoritasnya tetapi kaum anarkis ada untuk menciptakan kebebasan yang berujung kedamaian.  

Terbayangkah jika makna anarkis masih saja bekonotasi negatif dan menghantui pikiran kita? Memahaminya dengan turun kejalan dan menuntut perubahan yang ada? Dan stigma apa yang kita terima ? Pastilah stigma yang dilayangkan kepada kita adalah pelarangan-pelarangan untuk tidak melakukannya. Menyesakkan ketika perjuangan demonstran yang rela turun kejalan, menuntut perubahan kearah lebih baik ini dianggap sebagai tindakan rusuh.


Ini hanyalah salah satu cara, salah satu cara yang sudah menjadi paham oleh kaum anarkis. Cara yang memang bertujuan untuk membebaskan setiap hak dan nurani manusia. Cara yang berbasis pada pemberontakan kepada otoritas Negara.Hal ini yang berat dan perlu dilakukan, manusia haruslah keluar dari zona aman. Zona yang penuh dengan konflik yang semestinya kitalah yang memahaminya, mengkritisinya dan melakukan perubahan. Zona yang memang penuh dengan dilema-dilema yang harus dipilihnya. Pilihannya adalah diam lalu ditindas, atau bangkit dan melawan!

Komentar