Oleh: Itsnain
Ginanjar Bagus S. (Sosiologi
2010)
“Ibu,
aku mau rambut aku dilurusin kaya yang di iklan itu. Mamah, aku pengen pasang
behel kaya yang di sinetron itu biar trendy. Bu, aku ingin beli sabun ini, biar
putih kaya artis”, pinta remaja perempuan zaman sekarang kepada ibunya.
Bukan
lagi hitungan tahun, kini hitungan hari, trend atau gaya hidup bisa berubah dan
berganti setiap hari. Dari sekian banyak merek dagang yang membanjiri hidup
kita mayoritas adalah diperuntukkan untuk seorang perempuan. Hampir semua
bagian dari tubuh perempuan bisa dijadikan sebuah komoditas. Mulai dari rambut
hingga ujung kaki. Pantaslah jika kaum hawa kini terus dieksploitasi oleh para
pemain pasar. Cepatnya proses penyebaran gaya hidup ini pun didukung oleh media
kini, yang semakin efektif efisien. Apapun itu bentuk medianya, mulai dari
konvensional hingga yang paling mutakhir. Media menjadi sarana penebar racun
yang paling efektif, dan televisi adalah garda depannya.
Televisi,
baik dengan program acara maupun iklan yang ditayangkan, memang menjadi
sarana produksi kebudayaan yang ampuh. Kebudayaan pop, begitulah ungkap
kritikus Mazhab Frankfurt. Diproduksi bukan oleh masyarakat, dan dijadikan
komoditas serta menjadikannya tidak auntetik, manipulatif, disinilah titik
tekan Mazhab Frankfurt akan kebudayaan pop, yang mengistilahkannya dengan
‘Industri Kebudayaan’. Menurut Adorno dan Horkheimer, industri kebudayaan ini
nantinya akan membubuhkan stempel yang sama atas berbagai hal. Keragaman produk
industri pun hanya satu ilusi
untuk sesuatu yang disediakan bagi semua orang sehingga tak seorang pun bisa
lari darinya. (Adorno dan Horkheimer,1979;;123).
Mengamini
perkataan Adorno dan Horkheimer, berarti ada semacam sesuatu yang berkuasa dan
menginginkannya terproduksi dan tertanamnya suatu kebudayaan atas kelas yang
lebih lemah. Antonio Gramsci menjelaskan persoalan tersebut dengan bahasanya
yang kita kenal dengan hegemoni. Otoritas dan superioritas akan penciptaan dan
reproduksi kultural maupun ideologi, terhadap kaum inferior. Begitulah hegemoni
secara sederhana bisa kita pahami. Dalam konteks media, praktik hegemoni
Gramsci, bisa kita interpretasikan seperti perusahaan dagang mencoba
menghegemoni para penonton atau masyarakat untuk memakai atau menjadi sesuatu
yang dijualnya. Hal ini dilakukan dengan tanpa paksaan kekuaatan secara
langsung atau ancaman, melainkan dengan ‘pemaksaan tak sadar’, dan akhirnya
yang muncul setiap individu akan berkeinginan atau sukarela menjadi sesuatu
yang industri budaya inginkan. Konsep hegemoni Gramcsi dapat direkflesikan
kepada para ikon pop yang menjadi sosok panutan atau pahlawan bagi fans
beratnya dalam hal ini bisa dikatakan ikon pop sebagai kolompok yang dominan.
Iklan
sebagai sebuah hegemoni
Entah
apa yang dijadikan alasan, perempuan selalu dijadikan obyek yang menarik untuk
dieksploitasi dalam sebuah iklan. Dan mayoritas kaum perempuan pun mengikuti
dan menuruti apa yang dimau iklan tanpa sungkan. Ini berarti sudah ada sebuah
hegemoni kultural dan ideologi terhadap kaum perempuan dewasa ini, dan iklan
terutama dalam media audio
visual adalah alat pelanggeng
hegemoni ini.
Sebuah
paradoks akan alasan eksploitasi perempuan dalam sebuah iklan pun muncul.
Ekonomi yang bergerak dari ‘politik ekonomi komoditi’ (kapitalisme era Marx) ke
arah ‘politik ekonomi tanda’ (kapitalisme lanjut) dan kini menuju ‘politik
ekonomi hasrat’ (libdynal economy) menjadi alasan eksploitasi perempuan
dalam sebuah iklan. Dari paradoks inilah, kemudian iklan hadir dan bahkan
keberadaannya mejadi kewajiban yang tak pernah absen dalam riwayat kinerja
sebuah produksi (baik barang maupun jasa). Dalam artian, iklan tidak hanya
terbatas sebagai elemen pelengkap, tetapi ia malah menjadi main course. Artinya eksistensi
iklan di dalam format ekonomi kapital merupakan bagian dari motor penggerak
komoditas yang amat efektif, yang sudah terbukti mampu sebagai penyumbang
terbesar terhadap dorongan nafsu dan hasrat (desire) daya beli sebuah
produk di masyarakat.
Penekanan
pada desire atau hasrat ini lah yang akhirnya
menjadi penindasan baru terhadap perempuan. Dimana perempuan semakin dianggap
hanya pemuas nafsu belaka dan stereotip lainnya, dengan tubuh – tubuhnya yang
semakin ditonjolkan dalam setiap iklan. Seperti apa yang tersirat dalam iklan
Lux yang diperankan Tamara Bleszinsky yang mencitrakan dirinya seorang
penggoda. Bibirnya yang dicat merah sehingga menarik perhatian. Bibirnya yang
merah merona itu tidak tersenyum, tetapi warnanya menyiratkan sesuatu. Warna
merah atau tua disini tentu akan berlawanan makna dengan warna muda semisal
pink, yang menggambarkan citra anak gadis baik – baik. Lipstik tua disini tidak
sekedar merepresentasi ‘kotoran’ melainkan juga representasi ‘pengalaman
seksual’. (Prabasmoro, 2003:54).
Disamping
pemaknaan tersebut, ada pula politik bujuk rayunya yang berpotensi besar bagi
pengaburan perihal substansi material dan nilai guna (use value) suatu
produk barang ataupun jasa. Sehingga bukan lagi value yang dijual, tapi mengikuti
hasrat masyarakat.
Tubuh
perempuan adalah komoditi utama
Persoalan
eksploitasi dan ‘pendisiplinan tubuh perempuan’ yang berlebihan adalah sebuah
problema yang terus ada dari dulu hingga saat ini. Dengan sejuta alasan, entah
untuk alasan kesehatan, kecantikan dan lainnya. Seolah menjadi penghalalan
tubuh dan segala tetek bengek
‘onderdil’ kewanitaan
perempuan dieksplorasi dan dieksploitasi sebagai objek tanda , dan
bukannya sebagai subjek. Sebagaimana diungkapkan oleh Rosinta Situmorang, dkk.
(1999) bahwa di dalam wacana iklan media massa, perempuan sering diposisikan
bukan sebagai subjek, tetapi sebaliknya sebagai objek tanda (sign object)
yang dimasukkan ke dalam sistem tanda (sign system) di dalam sistem
komunikasi ekonomi kapital. Media menjadikan tubuh dan fragmen-fragmen tubuh
perempuan sebagai penanda (signifier) yang dikaitkan dengan makna atau
petanda (signified) tertentu.
Dari
berbagai macam pendisiplinan tubuh perempuan yang ada, yang terus
termanifestokan dan abadi adalah universalisme tubuh langsing dan tubuh kulit
putih. Mitos bahwa tubuh perempuan harus langsing adalah sebuah representasi
paling kuat kebudayaan barat terhadap dunia dan mempromosikannya sebagai norma
kultural disipliner (Barker, 2008:268). Alhasil anggapan perempuan harus bertubuh
langsing semakin nyata, dan dilanggengkan dengan berbagai macam iklan mengenai
makanan rendah kalori dan obat diet. Dan hingga kini, kelangsingan adalan
kondisi ideal bagi daya tarik perempuan sehingga perempuan kini akan sangat
menjaga pola makannya. Agar tak mendapat kutukan karena gagal menjaga bentuk
tubuhnya, baik itu obesitas (kegemukan) atau bahkan anorexia (kekurusan).
Persoalan
universalitas tubuh kulit putih pun menjadi ‘penyakit’ lain dalam kehidupan
perempuan. Representasi tubuh kuit putih terus dilanggengkan oleh iklan sabun,
dari awal kemunculannya, tubuh yang ditampilkan adalah kulit putih. Muncul
anggapan bahwa kulit putih adalah sempurna, lambang perempuan baik, cantik, dan
sukses. Dengan dalih ini, kampanye iklan sabun, terus digencarkan. Fantasi
memiliki tubuh kulit putih terus dijejalkan kepada masyarakat. Hal ini pun
menjadi jamur di Indonesia. Dimana maraknya serbuan artis Indo, dengan kulit putih
mulusnya.
Penutup
yang tidak menutup
Hegemoni
yang terjadi memang telah mendarah daging, dan akan cukup sulit untuk
menghilangkannya. Terlebih lagi, ketika menyentuh dan membicarakan kapitalis
atau penguasa modal, semakin peliklah masalah ini. Bagaimanapun, perlu kearifan
dalam menanggapi persoalan ini. Jangan sampai menjadi bias tersendiri ketika
membicarakan dan berusaha menyelesaikannya. Kearifan juga diperlukan agar kita
tidak semakin hanyut dalam hegemoni ini.
Referensi
:
Barker, Chris. 2008. Cultural
Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Ritzer,
George. 2009. Teori Sosial
Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Prabasmoro,
A. Priyatna. 2003. Becoming White, Representasi Ras, Kelas, Feminitas dan
Globalitas dalam Iklan Sabun. Yogyakarta
: Jalasutra
Rosinta
situmorang, Bernadet, dkk. Pemberitaan Kekerasan terhadap Perempuan di Surat
Kabar, dalam Media dan Gender,
Perspektif Gender atas Industri Surat Kabar Indonesia. Yogyakarta: LP3Y dan The Ford
Fondation
Komentar
Posting Komentar