Oleh: Azmi Fajar Maulana (Sosiologi 2008)
“Pada tahun 2005, tingkat bunuh diri di Indonesia dinilai masih
cukup tinggi. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2005,
sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan tindak bunuh diri tiap tahunnya.
Dengan demikian, diperkirakan 1.500 orang Indonesia melakukan bunuh diri per
harinya."[1]
Kejenuhan Modernitas
Keramaian gelap gulita bunyi keyboard kletak-kletuk,
terdengar hilir mudik motor-mobiltak jelas, handphone-pun menggetarkan meja di
tengah kesunyian, berisi pesan-pesan jejak kehidupan seorang manusia dalam
hiruk pikuknya. Kelelahan manusia terasa saat malam menyengat mata dengan ngantuk-nya,
gelak tawa menjadi hening dan terang matahari jadi lamunan malam. Sebuah
refleksi menggelayut seorang manusia ‘modern’, kehidupan dilalui berjuta potret
terhanyut bunyi berderingnya handphone Blackberry. Spiritualitas
hanyalah angin berhembus yang menyejukan hati dan pikiran yang kehilangan
esensi ajaranya.
Modernitas menyuguhkan kemegahan gedung-gedung beton. sedangkan
makananpun ‘kehilangan’ esensi lezat-nya dalam kegundahan lidah saat kesibukan
kerja mengkurung seorang manusia. Bagaimana bisa Ben Agger mengatakan kehidupan
modern sulitlah dilepaskan daripada agama kita? Kerasukan macam apa dia ataukah
itu memang benar adanya? Kesibukan kita adalah kesibukan terkonstruk, memang
dibuat untuk kesibukan manusia memadati bumi ini. Kata Motivasi, sebuah vitamin
kesegaran didalam panasnya kesibukan manusia dan candu yang memuaskan manusia
yang “meminumnya”.
Logika Hasrat (Desire Logic) memang telah mendarah daging
peradaban masyarakat modern. Keangkuhan manusia terhadap alam telah kita lalui
dalam peradaban yang usang ini. Kapitalisme merenggut hasrat manusia dalam
hiruk pikuknya. Kapitalisme berdiri kokoh dan tangguh menempuh badai krisis
abad 18 hingga sekarang. Asas Hak milik pribadi (Private proverty rights)
melahirkan kemiskinan dan kelaparan ditengah kelimpah ruahan produksi makanan.
Bagaimanapun kita secara tidak sadar atau sadar melanggengkan
kapitalisme. Kebosanan bercampur kegalauan diratapi dengan senangnya
mendengarkan motivasi dari Mario Teguh ataupun Tun Desem Waringin dkk.
Kesulitan hidup ini menghilang dan mari nikmati hidup ini. Begitulah kata Mario
Teguh. Melanjutkan hidup seperti apa? Bekerja? Untuk siapa? Siapa penonton
Mario Teguh di Metro TV? mayoritas adalah pengusaha besar atau karyawan kantor
atau artis dan tentu intelektual penerus era kapitalisme. Kapitalisme selalu
mereproduksi apa saja yang dapat membuat kapitalisme itu tetap berjaya bahkan
dengan “mulutnya” sang motivator atau secara umum adalah sekotak Televisi.
Semangat Kapitalisme ala ESQ 165
“Orang yang berhasil bukan orang yang super. Keberhasilan tidak
memerlukan kecerdasan yang luar biasa. Keberhasilan tidak disebabkan oleh
keberuntungan. Keberhasilan ditentukan oleh ukuran dari keyakinan anda untuk
meraih kemenangan. Kesuksesan juga ditentukan oleh ukuran pemikiran dan
cita-cita seseorang. Bercita-citalah setinggi-tingginya” ESQ (Rahasia
Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual) halaman 82
Tak elak agamapun diperdagangkan demi sebuah fantasi motivasi di
usangnya usia bumi ini. ESQ adalah contohnya, dengan sekitar tarif 800 ribu
seorang dapat mengikuti training basic (dasar). Dengan dalil-dalil
agama rasionalitas religius menjadi barang dagangan yang mahal demi terciptanya
“Indonesia Emas” versi ESQ tahun 2020. Dengan cerah, murungnya wajah para
peserta ESQ 165 keluar dari ruang penuh tangis dan kelegaan bak Nabi
Muhammad dibersihkan hatinya oleh malaikat jibril bahkan merasa berdosa seperti
nabi Adam memakan buah khuldi di Surga. Tentang hidup, ESQ tidaklah berbicara
bagaimana menyelesaikan masalah itu dan nasehat-nasehat itupun
mengawang-ngawang yang mudah terhapus oleh hiruk pikuk kehidupan manusia. ESQ
adalah bentuk komodifikasi agama sendiri dengan menawarkan nasehat dan motivasi
semata dengan dalil-dalil agama.
Ditengah keresahan modernitas manusia sisi spiritualitas menjadi
pengobat ampuh demi berjalannya sistem kapitalisme yang ada saat ini. Jika
agama hanya seperti ESQ bicarakan, maka “Tuhan” (nilai-nilai agama) dan uang
(kapitalisme modern) terkait erat, tanpa bisa terpisahkan. ESQ mengkaburkan
Semangat pembebasan Islam terhadap perbudakan yang tergeser dengan tumbuhnya
semangat kapitalisme sendiri.
Sosok Ramah Kapitalisme Bernama Motivator
Dengan suara yang tegas dan halus motivator membujuk penonton
untuk sekedar berasumsi-asumsi yang disederhanakan maka motivator. Geraknya pun
bak orang bijaksana yang sedang berdiskusi dua arah kepada responden dengan
antusias menonton acara tersebut. Penonton diajak ‘memikirkan kembali’ dengan
rasionalitas motivator tersebut.
Herbert Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama
interaksionisme simbolik, yaitu tentang pemaknaan (meaning),
bahasa (language), dan pikiran (thought). Premis ini nantinya
mengantarkan kepada konsep ‘diri’ seseorang dan sosialisasinya kepada
‘komunitas’ yang lebih besar, masyarakat.
Pemaknaan dari bahasa dan gesture (gerak tubuh)
serta pemikiran sang motivator tidaklah dapat dipisahkan ketika semua media
massa bahkan ruang intelektualitas menyediakan tempat bagi motivator-motivator
untuk menularkan asumsi-asumsi dia, menjadi identitas diri para penonton
ataupun peserta training. Artinya motivasi itu bukanlah impuls sebenarnya
terhadap refleksi kehidupan mereka yang mungkin muak akan tuntutan dunia modern
ini.
Kapitalisme dan Media Massa
Industri
media sangat erat kaitannya dengan tumbuhnya semangat kapitalisme. Munculnya
konglomerasi media, satu perusahaan besar menaungi beberapa media sekaligus
seperti misalnya MNC dan Trans Corp, dianggap sebagai aktivitas
pemusatan modal dalam industri media. Pertanyaan yang seringkali diajukan
adalah apakah industri media memberi andil besar menyebarkan semangat
kapitalisme dalam urat kehidupan masyarakat. Atau justru semangat kapitalisme
yang mengawali tumbuh suburnya industri media raksasa, di samping faktor
regulasi.
Industri
media yang dibangun dengan semangat kapitalisme tentu akan menghasilkan pesan
atau produk media yang berorientasi pada bertambahnya modal. Bukti untuk produk
media berorientasi modal adalah banyaknya iklan komersial dan besarnya pengaruh
iklan dalam penentuan suatu program. Mungkin sebagian besar isi media tidak
secara eksplisit menunjukkan keberpihakannya.
Semangat Kapitalisme dan Maksimalisasi Produktifitas
Singkatnya kapitalisme sebagai pandangan hidup dan kerja terlahir
dari kelas saudagar (borjuis) yang berhasil mewujudkan kekayaannya bukan karena
warisan tetapi karena semangat bekerjanya sendiri. Kapitalisme juga menggeser
feodalisme, bukan saja dalam hubungan antar masyarakat, melainkan juga dalam
cara bekerja. Dalam era feodalisme, seorang anak tuan tanah mungkin tidak susah
bekerja sampai mengeluarkan keringat untuk menikmati kekayaan dan keberhasilan,
sebaliknya seorang anak buruh tani harus membanting tulang setiap harinya hanya
untuk hidup sekedarnya. Dalam masyarakat kapitalis, keluarga-keluarga kelas
borjuis tidak berpandangan seperti itu. Setiap anak harus berpendidikan dan
bekerja keras untuk dapat berhasil dan bersaing di dunia kerja dan anak buruh
pun dapat menikmati mobilitas sosial ke atas bila ia mau bekerja keras.
Kapitalisme hanya dapat lahir dan bertahan, jika produktivitas
terus meningkat. Sementara produktivitas bisa meningkat, jika orang bekerja
dengan sumber daya minimal untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam arti
ini kerja haruslah dipahami sebagai tujuan pada dirinya sendiri, sesuatu yang
pada dirinya sendiri berharga dan luhur.
Aktifitas manusia mencari uang telah menyibukan manusia ratusan
tahun. Cita-cita adalah konstruk rapi, mimpi-mimpi yang mungkin hanya sebatas
hasrat masa kecil yang terucap ketika ibu guru menanyakan “apa cita-citamu dek?”.
Bagaimana masa depan kehidupan manusia jika semua ini adalah konstruk? Sekolah
yang kita tempati, cita-cita kita, hasrat kita bahkan jalan kita mungkin
konstruk yang terbentuk dari pengalaman manusia dan masyarakat.
Pragmatisme
Di tengah sistem kapitalisme ini, semua orang dituntut untuk
bekerja dan menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya? Sistem kapitalis sendiri
berawal dari asas kepemilikan pribadi yang memuat keegoisan manusia dalam
menumpuk modal sebanyak-banyaknya. Kapitalisme sendiri beranggapan selama ada
kepemilikan pribadi maka modalpun masihlah digenggaman mereka. Produktifitas
kapitalis sendiri adalah produktifitas pekerja sendiri yang sifat dasar manusia
yaitu perlunya refleksi diri dan penuh rasa emosi pribadi.
Demi produktifitas kerja dan bertahanya sistem kapitalis sendiri,
maka tahap “kapitalisme hasrat” atau “Desire Capitalism” menjadi
penjajahan baru. Hasrat dan nurani manusia merupakan jajahan mereka, dan
komoditas mereka adalah tanda-tanda yang mungkin makanan manusia sehari-hari.
Dengan hiburan-hiburan serta fantasi motivasi, sedangkan kapitalisme bekerja
dibawah sadar mereka.
NB : pernah saya dengar dari motivator “kekesalan atau
kemarahan atasan, janganlah ditanggapi dengan kemarahan karena itu adalah
pemecut semangat bekerja”
Referensi
Agustian, Ary Ginanjar. 2001. Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Jakarta: Arga Wijaya Persada.
Berger, P. 1990. Revolusi Kapitalis, (terjemahan). Jakarta: LP3ES.
Weber, Max. 2006. Etika Protestan & Spirit Kapitalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George dan Douglas J. Godoman. 2004. Teori Sosiologi :
Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial
Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Agger, Ben. 2009. Teori Sosial Kritis Kritis: Penerapanya dan
Implikasinya.Yogyakarta: Kreasi Wacana.
[1]. http://nasional.vivanews.com/news/read/110420-kasus_bunuh_diri_di_indonesia
Komentar
Posting Komentar