Penyalahgunaan Dextro Kian Menyerang Anak Muda



Oleh: Srie Mustika Rahayu (Sosiologi 2011)

“Terkait Dextro, kami tidak bisa memprosesnya. Ini tidak dapat disebutsebagai tindakan kriminal karena bukan narkotika”

Bandung mencatat kasus penyalahgunaan Dextro yang terjadi pada laki-laki berusia 19th dan 12th mengalami kritis dan sering tidak sadarkan diri setelah meminum Dextro dalam dosis yang berlebihan pada Mei 2009. Di tahun yang sama, dua bulan sebelumnya yaitu pada Maret 2009 tiga orang laki-laki yaitu Asa (26), Agus (18), dan Ryan (25) meninggal dunia akibat obat ini. Blitar mencatat pada tahun dan kasus yang sama, dua orang laki-laki Yongki Prasetyo (14) dan Hafid R (20) meninggal dengan mulut berbusa akibat mengonsumsi obat ini secara berlebih.



Sebenarnya apa itu Dextro? Dextromethorphan atau pil Dextro sebenarnya merupakan bahan aktif dalam obat anti batuk. Namun dalam takaran berlebihan, obat ini bisa menjadi alat pencabut nyawa, khususnya di kalangan remaja yang hobi menenggak minuman keras oplosan. Karena harganya yang mampu dijangkau oleh para anak muda yang kurang mampu.

Banyaknya contoh kasus yang terjadi dibeberapa wilayah membuktikan bahwa penyalahgunaan Dextro telah menjalar dimasyarakat kita terutama bagi anak muda. Ternyata dextro ada dimana-mana. Tidak perlu jauh-jauh, di Purwokerto saja, kini Dextro sudah marak dan telah menjadi kebutuhan bagi beberapa kelompok anak muda terutama yang masih dibawah garis kemiskinan. Hal ini telah menarik perhatian salah seorang mahasiswi sosiologi 2007, Fatimah Arsalan Nisa Hasanah, untuk lebih jauh lagi meneliti mengenai Dextro dan asal-usulnya sebagai bahan kajian skripsinya.

Berdasarkan hasil penelusurannya, Nisa (panggilan peneliti) bertemu dengan banyak pengguna Dextro dan berhasil membaur dengan mereka. Purwokerto, nyatanya memiliki kasus yang bahkan jauh lebih besar dibandingkan kota lain, anak muda hingga anak SMP yang masih remaja pun mengenal Dextro bahkan hingga mengonsumsi dalam dosis yang tinggi. Bagaimana tidak, 40 orang yang berhasil ditelusuri bisa jadi membawa 30 anak lagi untuk ikut menggunakan Dextro, dan 30 ini pun mengajak entah berapa puluh lagi anak sehingga jumlah pengguna Dextro akan mampu menembus angka yang cukup tinggi

Dalam satu konser di Purwokerto saja Nisa berhasil mengumpulkan tumpukan bungkus obat Dextro hingga mencapai 70 cm tingginya. Bayangkan, hampir satu meter bungkusan obat yang dikonsumsi hanya dalam satu konser. Sementara konser-konser semacam itu di Purwokerto bisa tiga sampai empat kali dalam satu bulan. Berapa banyak yang bisa dihasilkan dari penemuan beberapa konser?
Pada kenyataannya, penyalahgunaan Dextro ini tidak hanya saat event-event tertentu saja, dalam keseharian mereka pun tidak terlepas dari Dextro yang dikonsumsi bersama teman-teman sepermainan, bahkan ada yang mengonsumsi bersama dalam satu keluarga. Bisa dibuktikan dari hasil wawancara Nisa dan penemuan bungkus Dextro yang tidak hanya di lokasi konser, di jalanan-jalanan umum juga Nisa sering menemukannya secara tidak terduga. Tak hanya Nisa, KBMS juga pernah menemukan bungkus Dextro sepulang dari kegiatan musker dan upgrading di BBI Tambaksogra. Penyalahgunaan Dextro kini tidak asing lagi, bisa didapati bahkan di tempat-tempat yang tidak hanya dilalui oleh kelompok-kelompok tertentu saja.

Darimana mereka mendapatkan pil Dextro ini, faktanya, Dextro begitu mudah didapat, toko obat biasa pun bisa menjualnya secara bebas, bahkan sampai ada freelancesales yang menjajakan pil ini tanpa apoteker. Siapapun bisa dengan gampang membeli Dextro karena aksesnya cukup luas. Padahal, seharusnya perlu dampingan asisten apoteker untuk bisa mengeluarkan Dextro. Mengapa hal ini bisa terjadi, Nisa kemudian mencoba mencari keterkaitan antara distribusi obat-obat tersebut dengan lembaga yang seharusnya terlibat atas kewenangannya.

Sayangnya, Dinas Kesehatan Kab. Banyumas menyatakan, “Kami tidak mempunyai data soal itu, karena prosedur beredarnya obat itu dari pabrik lalu ke PDF (Pusat Dagang Farmasi), lalu baru ke Gudang Farmasi Dinkes. Dari dinkes itu nanti ke Puskesmas”. Dinas Kesehatan berkelit dan kemudian melemparnya ke Balai Besar POM di Semarang. Ditelusuri ke Balai POM pun mereka menjawab sama, bahwa mereka merasa tidak memiliki data tersebut. Akhirnya polisilah yang mereka ajukan kepada Nisa untuk ditanyai lebih lanjut perihal tersebut. Apa jawaban yang diterima dari polisi? Lagi-lagi, “Kami tidak bisa memprosesnya, ini tidak dapat disebut sebagai tindakan kriminal karena bukan narkotika”.

Ada apa sebenarnya? Tidak ada hukum yang menaungi soal ini. Satu yang belum terjawab adalah dari PDF, namun peneliti belum mampu menembus PDF karena selain membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama, PDF merupakan konglomerasi yang tentu sulit ditemui.

Salah satu kasus terburuk yang pernah terjadi di Purwokerto adalah ketika salah satu pengguna Dextro mengalami overdosis karena menelan 40 pil sekaligus dan harus dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan kritis, namun pada akhirnya ia tidak terselamatkan. Anehnya, pihak dokter tidak membenarkan bahwa pengguna tersebut meninggal overdosis akibat Dextro, dan sampai sekarang tidak ditemukan data yang menyatakan bahwa ada korban yang meninggal akibat overdosis Dextro.

Fakta yang lebih mengherankan lagi, setiap kali bungkus Dextro ditemukan, tanggal dan bulan produksi yang tertera selalu baru. Di tiap kali Nisa menemukan bungkus Dextro tergeletak diberbagai tempat, selalu saja yang ditemukan adalah Dextro yang diproduksi di bulan tersebut.Betapa pesat serta larisnya Dextro, hampir tiap bulan produksi yang dikeluarkan selalu saja habis, dan harus memproduksi kembali untuk bulan selanjutnya.

Mengapakita harus menyesalkan hal ini bisa terjadi? Sebab para korban dari penyalahgunaan ini adalah anak muda, dan anak mudalah generasi penerus yang tidak seharusnya dirusak.

Berbicara mengenai anak muda, Indonesia sebagai negara dengan piramida ekspansifnya memiliki jumlah anak muda yang fantastis. Representatif UNFPA Jose Ferraris memaparkan jumlah anak muda Indonesia terus meningkat. Saat ini ada 64 juta anak perempuan dan laki-laki berumur 10-24 tahun. Angka ini setara dengan 27 persen dari total penduduk Indonesia. “Meski jumlahnya besar, sebagian besar dari mereka memiliki akses yang kecil dan terbatas atas informasi dan pendidikan,” Pada Indonesia, Babatunde Osotimehin selaku Direktur Eksekutif UNFPA, meminta agar pemerintah memberi perhatian pada masalah kesenjangan akses di kalangan anak muda Indonesia. Pasalnya, sambung dia, anak muda memegang kunci masa depan yang berpotensi mengubah tatanan politik global dan menggerakkan perekonomian melalui kreativitas dan kapasitas mereka dalam melakukan inovasi.

Dapat dibayangkan betapa pentingnya peran anak muda dengan segala potensi yang dimilikinya, apalagi di negara Indonesia yang sudah jelas sumber daya manusianya didominasi oleh pemuda. Tahulah kita bahwa anak muda ataupun remaja begitu diharapkan demi kemajuan bangsa. Bagaimana jika seandainya anak muda sekarang dihancurkan oleh pil obat semacam Dextro ini? Di Eropa telah muncul gerakan yang menolak beredarnya Dextro. Bahkan sampai muncul poster-poster beredar yang menggambarkan logo dextro DXM bertuliskan‘Not for Human’.

Akhirnya, sebenarnya siapa yang pantas bertanggung jawab atas semua ini? Apakah ini hanya kesalahan dari para pengguna saja, atau jangan-jangan sebenarnya ada motif di balik beredarnya Dextro secara bebas, apa ada yang menyadari bahwa anak muda adalah ladang yang empuk bagi bisnis menggiurkan ini?

Komentar