Oleh: Hierly Hidayat (Sosiologi 2011)
“Persentase iklan junk food di Indonesia bahkan mencapai 90% [Litbang
KOMPAS, 2009]”
Zaman
ini zaman globalisasi, informasi bisa cepat diterima baik dari media cetak
maupun elektronik. Dimana batas-batas antar negara pun jadi kabur. Penyebaran
faham dan pemikiran pun jadi cepat dan mudah diterima. Konsumerisme,
kapitalisme seakan menjadi suatu yang wajar dan dipandang baik, karena dikemas
sedemikian rupa sehingga bisa mengkonstruk pikiran masyarakat. Masyarakat pun
menjadi tidak sadar apa yang mereka beli itu menjadi kebutuhan atau tidak.
Pengkonstruksian pemikiran dari sejak mereka kecil bahwa kebutuhan manusia ada
tiga jenis, yaitu kebutuhan primer yang pertama harus dipenuhi, kebutuhan
sekunder yang dipenuhi setelah kebutuhan primer, dan kebutuhan tersier yang
menjadi kebutuhan mewah dipenuhi setelah dua kebutuhan diatas dipenuhi. Hal itu
menjadi konstruksi pemikiran di masyarakat, dimana jika mereka tidak memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tadi masyarakat dikatakan tidak sejahtera. Banyak hal yang
cepat berubah karena globalisasi yang mana globalisasi menganggap apa yang ada
di belahan dunia lain menjadi lebih baik dari apa yang dimiliki saat ini. Ini
seperti “penyamaan” semua hal yang ada. Sosiolog George Ritzer menyebut hal ini
sebagai “rasionalitas irasional”.
Gambar-gambar
di media massa dibuat sensasional dan seakan masuk akal, seperti pada saat ini
dimana mobilitas masyarakat tinggi maka makanan fast food seperti
KFC, CFC atau Mc Donald, seakan menjadi kebutuhan. dan iklan-iklan
restoran-restoran fast food yang ada pun menampilkan makan
bersama keluarga atau merayakan ulang tahun di restorant fast food menjadi
suatu hal yang baik. Dan slogan-slogan Seperti “berbagi bersama di pizza
hut” atau “i’m lovin it” seakan menjadi pembenaran hal tersebut. Survey
yang dilakukan di Palembang saja, terdapat sebesar 41,3% responden memilih slogan atau pesan dalam
iklan sebagai daya tarik. sisanya 37% responden memilih kemasan produk
dan 21,7% memilih public figure atau model iklan sebagai daya
tarik.
Daya tarik iklan di media dalam mempengaruhi pikiran manusia
memang sangat hebat, dalam kasus ini walaupun junk food punya
manfaat buruk bagi kesehatan manusia, tetapi media mengemasnya dalam bentuk
yang baik, sehingga junk food itu menjadi suatu yang prestisius dan bahkan
dianggap menunjukan status sosial bagi orang-orang yang mengkonsumsinya.
Apalagi bagi remaja yang sedang mencari jatidiri, pengaruh iklan dalam mengkonstruksi
pikiran sangat kuat. Senyatanya, hasil
survei Consumer International menunjukkan sebagian besar
remaja menyukai iklan dan mempercayai informasi yang dimuat di
dalamnya. Sekarang ini, iklan-iklan junk food semakin
banyak di media Hasil Survei Internasional menyatakan bahwa 67% siaran iklan di
televisi 11 negara didominasi oleh jenis iklan junk food, atau dua
per tiga dari total tayangan iklan makanan di televisi adalah iklan junk
food. Menurut Harian
Kompas (2006), persentase iklan junk food di Indonesia
bahkan mencapai 90%. Sedangkan hasil penelitian Raharjo (2008) menunjukkan
persentase iklan junk food menduduki porsi sebesar 60–70% dari
total penayangan iklan.
Kenyataan gizi
yang terkandung di dalam junk food tidak memadai, dan jika memakan makanan
dengan kandungan gizi yang tidak memadai dan hal itu dijadikan gaya hidup, apa
yang terjadi? Menurut WHO jika mengkonsumsi junk food terus
menerus maka berefek mengganggu kesehatan. Junk food tersebut
mengandung kadar lemak dan garam yang tinggi dan rendah vitamin dan mineral.
Serta banyak pengawet, pewarna dan perasa buatan dari bahan kimia, dimana bahan
kimia tersebut menjadi zat karsinogenik bagi tubuh. Jika junk
food seperti mc Donald dijadikan gaya hidup, menjadi suatu yang
prestisius bahkan dikonsumsi terus menerus maka beresiko terkena obesitas,
penyakit jantung, bahkan kanker. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka
obesitas di tingkat anak-anak dan remaja di Amerika serikat dan Eropa (eric
schlosser:2002:302).
Gaya
hidup mengkonsumsi junk food seperti KFC,Pizza Hut CFC, dan Mc
Donald yang tidak menyehatkan itu saat ini malah menjadi suatu yang wajar bagi
anak-anak dan remaja di Indonesia, karena iklan-iklan yang ada seakan mengemas
isi yang sebenarnya buruk menjadi suatu yang baik. Makan di restorant fast
food seakan menjadi sesuatu yang prestisius di kalangan masyarakat.
Jadi masyarakat tidak mengkonsumsi berdasar manfaat tetapi karena tanda, (Baudrillard:1970:20) Konsumsi dilakukan karena adanya
tekanan psikologis dan sosial, seperti menikmati makanan merk tertentu seakan
menjadi bagian dari masyarakat yang direpresentasikan oleh merk tersebut.
Saking berpengaruhnya junk food dikalangan
remaja, sosiolog George Ritzer pun sampai mengeluarkan pembahasan
tersendiri tentang McDonaldisasi, yaitu istilah
yang diambil dari logika restoran McDonald, sebuah efisiensi(pemenuhan rasa lapar dalam waktu cepat),
penekanan aspek kuantitatif produk yang dijual(yang besar dan banyak lebih baik
tanpa melihat kualitas), daya prediksi(kepastian bahwa semua rasa makanan
sama), kontrol yang tinggi. yang telah merambah dan mengakar ke semua unsur
masyarakat dunia termasuk Indonesia.
Memang
McDonaldisasi nampaknya rasional tapi sebenarnya irrasional karena masyarakat
yang terjangkit virus McDonaldisasi ingin semuanya serba instant, hasilnya
banyak, dan semua pasti. Contoh kasusnya mahasiswa
yang selalu ingin semua instant, saat mengerjakan tugas atau skripsi tidak mau
bersusah payah mengerjakan malah mencari “jalan pintas”. Jadi, dalam praksisnya malah menjadi dehumanisme atau
pengurangan arti kemanusiaan. ini terjadi karena adanya perubahan sikap manusia
akibat dari penyimpangan tujuan pengembangan kebudayaan yang dipengaruhi budaya
asing. Manusia
tidak memikirkan prosesnya baik atau tidak yang penting tujuannya tercapai,
seperti restoran junk food semacam KFC, CFC, pizza hut, maupun
Mc Donald, mereka tidak memikirkan baiknya makanan diolah seperti apa melainkan
mereka hanya mengejar keuntungan saja, tidak peduli produk mereka diolah secara
baik dan benar, aman atau tidak.
Menurut
Haryatmoko, dosen pascasarjana filsafat dan pascasarjana Ilmu Komunikasi
Universitas Indonesia, hukum pembaharuan barang adalah distinction,
yang secara diam-diam mengatur konsumsi yang penyebaran konsumsi memanfaatkan
media massa. Jadi pilihan konsumen adalah bentuk penerimaan gaya hidup
masyarakat. Hal tersebut menjadi nilai sosial yang berlaku. Sehingga konsumsi
dapat berperan sebagai ideologi. Jadi lifestyle masyarakat
yang mengkonsumsi junk food itu sebenarnya lebih karena
mereka membeli tanda dan agar status sosial dan eksistensinya diakui dalam
masyarakat. Padahal sebenarnya ada perbedaan antara dikagumi karena kualitas
yang dimiliki dengan dihargai karena dikaitkan dengan suatu tanda yang
dibentuk.
Globalisasi
seakan menghilangkan batas-batas kebudayaan dan negara, arus informasi dapat
diterima dengan cepat serta gaya hidup masyarakat dunia dapat diketahui oleh
masyarakat, kemudian dapat diikuti, sehingga budaya
masyarakat dunia itu menggeser budaya lokal. Seperti mengkonsumsi fast
food yang sebenarnya tidak sehat tetapi malah dijadikan sesuatu yang
prestisius. Dan masyarakat mengkonsumsinya karena “tanda” yang dikonstruksikan.
"Anda
adalah apa yang Anda makan"
Komentar
Posting Komentar