Essai "Paradoksal Dilema: Mahasiswa Sosiologi di Tengah Kapitalisme dan Neoliberalisme Pendidikan Tinggi"

 Paradoksal Dilema: Mahasiswa Sosiologi di Tengah Kapitalisme dan Neoliberalisme Pendidikan Tinggi

Oleh: arkan_ash


 Tulisan ini merupakan upaya refleksi kritis atas pengalaman dan dilema paradoksal bagi mahasiswa sosiologi di tengah penetrasi neoliberalisme dalam pendidikan tinggi. Menghadirkan analisis pesimistis atas kondisi hari ini, tulisan ini mengajak kita untuk merefleksikan logika kapitalisme bekerja secara halus namun sistematis dalam membentuk subjektivitas, membungkam ruang kritis, dan mereproduksi ideologi dominan di balik program MSIB. Bukan sekedar kritik, tapi undangan untuk mempertimbangkan kembali arah perjuangan intelektual hari ini.


Pendahuluan

 Masih tergambar jelas di benak kita gambaran suasana kelas semester dua sambil mempelajari bobroknya sistem kapitalisme. Alienasi Marx, ekstraksi nilai tambah, konsumerisme dan kesadaran palsu menjadi bagian kehidupan kita. Semester ke semester pemahaman akan kapitalisme dan neoliberalisme terus diasah hingga menempatkan kita pada posisi reflektif atas realitas. Di samping itu, bagi mereka yang menyelami bagaimana budaya intelektual sosiologi, akan menemukan lebih banyak paradoks realitas lain. Kekuasaan, pengetahuan, ideologi, hegemoni, dan dominasi bergerak sebagai instrumen yang mewacanakan konstruksi common sense di tengah masyarakat. Di luar itu, implikasi logis dari penyematan label mahasiswa bagi kita, setidak-tidaknya diharapkan dapat menjadi agent of change (agen perubahan sosial), social control (kontrol sosial), iron stock (generasi penerus) dan moral force (suri tauladan) bagi masyarakat (Cahyono, 2019).

 Temuan Salim et al. (2023) memetakan praktik neoliberalisme pendidikan di Indonesia melalui deregulasi dan privatisasi yang membentuk paradigma kekuatan pasar. Bagi neoliberalisme, pendidikan dapat diperjual belikan selayaknya komoditas, sehingga institusi pendidikan dapat berdaya saing bisnis. Penerapan kurikulum MBKM melalui MSIB menjadi perbincangan beberapa tahun terakhir, sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pasar. Implikasi dari praktik demikian, fakultas serta pihak birokrat kampus berperan sebagai penyedia layanan dan mahasiswa menjadi konsumen (Cannella dan Koro-Ljungberg, 2017).

Merdeka Belajar Kampus Merdeka dengan Magang dan Studi Independen Bersertifikat sejak 2020 guna menghubungkan universitas dengan industri (link and match). Dapat dikatakan universitas penyedia tenaga kerja murah, negara sebagai penjual, dan dibeli oleh perusahaan. Boli (2022) menunjukkan bahwa MSIB membentuk proses pendidikan berorientasi pragmatis-materialistis dengan dibalut nilai-nilai neoliberalisme dan kapitalisme. Ini sejalan dengan argumentasi bahwa pendidikan lambat laun direduksi dengan distorsi ke arah kepentingan ekonomi praktis semata (Giroux, 2007).

 Program Studi Sosiologi Unsoed menyambut hangat program ini dengan restrukturasi kebijakan, memberikan kemudahan konversi nilai satu semester dan berbagai privilege lainnya. Studi Insannia et al. (2024) menunjukkan lebih dari 200 mahasiswa sosiologi angkatan 2019-2020 memberikan respons positif, mempertontonkan paradoks realitas yang mengkhawatirkan. Paradoks termanifestasi secara kontradiktif: kita yang mempelajari kritik Marx terhadap komodifikasi tenaga kerja justru antusias mendaftarkan diri untuk dikomodifikasi melalui MBKM. Kita berlomba menyiapkan Curriculum Vitae, branding, dan "menjual diri" untuk nilai A otomatis, sementara mahasiswa reguler bekerja keras untuk nilai sama. Gramsci mungkin akan menyebut ini hegemoni efektif di mana kelas yang didominasi secara "sukarela" mereproduksi ideologi kelas dominan.

Rakhmani (2024) membaca praktik ini melalui tiga wacana dominan: otonomi, daya saing, dan kewirausahaan yang mengubah orientasi pendidikan dari mencerdaskan bangsa menuju memenuhi kebutuhan pasar. Kita dihadapkan pada dilema struktural, mempertahankan idealisme kritis dengan risiko tertinggal ekonomi, atau mengadaptasi logika pasar dengan konsekuensi kehilangan kapasitas kritis. Antonio Gramsci dalam Prison Notebooks mungkin akan mengatakan ini menjadi bagian hegemoni efektif, kelas yang didominasi secara “sukarela” menerima, bahkan mereproduksi ideologi kelas dominan (Gramsci, 2020).

Membongkar Hegemoni Halus dengan Melihat Bagaimana ”Pilihan Bebas” Diproduksi

a. Hegemoni Gramsci

Prison Notebooks karya Grmasci merupakan catatan harian selama ia dipenjara rezim Musollini pada tahun 1929-1935. Karya ini membahas hal-hal berkaitan sejarah, nasionalisme Italia, revolusi Prancis, fasisme, dan yang terpenting lahirnya pemikiran mengenai hegemoni. Gramsci membedakan antara dominasi yang beroperasi melalui koersi dan paksaan langsung, sementara hegemoni bekerja melalui produksi persetujuan (consent) dan pembentukan akal sehat baru (Gündoğan, 2008).

Jika pada masa Orde Baru mahasiswa dibungkam dengan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan, melalui SK Mendikti No.0156/U/1978 dan represi fisik. Kini kita memilih sendiri untuk tidak kritis melalui mekanisme halus namun efektif. Mahasiswa tidak lagi dilarang berpolitik, melainkan ditarik masuk ke logika kompetisi pasar melalui MBKM. Seperti yang dianalisis Gramsci, civil society bukanlah ruang netral, melainkan arena perebutan kesadaran di mana kelas dominan berupaya mempertahankan hegemoninya (Amsalis, 2022). MBKM menciptakan common sense baru, bahwa kesuksesan kita diukur dari keterhubungan mereka dengan dunia industri. Diterima di perusahaan besar kini dianggap sebagai prestasi akademik, bahkan oleh mahasiswa sosiologi yang justru mempelajari kritik terhadap sistem tersebut. Ini menjadi bentuk hegemoni yang subtil bukan karena kita dipaksa, tetapi karena kita percaya bahwa itu yang terbaik.

b. Mekanisme Produksi Consent (Persetujuan)

Hegemoni paling efektif ketika yang dikuasai merasa tidak dipaksa, bahkan diuntungkan. Sistem reward MBKM dan MSIB menunjukkan hal ini dengan jelas, nilai A otomatis untuk satu semester penuh bukanlah sekadar tawaran administratif, melainkan suap halus yang membuat kita secara ”rasional” memilih program tersebut dibanding mata kuliah reguler yang menuntut kerja keras intelektual. Praktik modern ini bekerja melalui internalisasi yang persuasif tanpa unsur paksaan agar subjek tidak merasa didominasi (Fiani, 2019).

Sistem wajib 120 kredit poin mengoperasikan mekanisme serupa dengan menciptakan pressure struktural yang memaksa kita memilih kegiatan penunjang karir individual daripada keterlibatan dalam isu sosial kritis. Lebih problematis, logika pasar dalam ruang akademik dinormalisasi dengan memperhitungkan return on investment dari setiap aktivitas akademik, mengoptimalkan CV untuk employability, dan memandang pendidikan sebagai human capital investment. Hegemoni neoliberal berhasil mengubah subjektivitas kita, bahkan dengan kerangka berpikir sosiologis sekalipun.

c. Transformasi MBKM ke Kampus Berdampak

Ketika program MBKM dievaluasi kurang relevan dengan kebutuhan industri, respons institusional bukan kembali ke misi pendidikan kritis, melainkan memperdalam orientasi pasar melalui transformasi ke Kampus Berdampak. Ini menunjukkan ”transformisme” kemampuan sistem dominan menegosiasikan kritik dan mengubahnya menjadi instrumen pembaruan hegemoni. Rebranding ini menggunakan terminologi progresif yang sejalan dengan aspirasi mahasiswa untuk berkontribusi pada perubahan sosial, namun dalam operasionalisasinya, dampak yang dimaksud tetaplah dampak ekonomi, kontribusi terhadap pertumbuhan regional, penyerapan lulusan industri, dan efektivitas menghasilkan inovasi komersial. Pergantian nama dan penyesuaian program tidak mengubah esensi fundamental kita tetap didorong menjadi subjek market-oriented. Kampus Berdampak adalah evolusi, bukan revolusi, dari proyek neoliberalisasi pendidikan tinggi, membuktikan bahwa hegemoni efektif adalah yang mampu beradaptasi tanpa mengubah struktur fundamental kekuasaan.

Pembentukan Diri: Cara Mendisiplinkan Mahasiswa ”Memilih” Ruang Korporatif

a. Sistem Kredit Poin sebagai Upaya Disiplin

FISIP Unsoed menerapkan kebijakan wajib 120 kredit poin sebagai syarat kelulusan, mengoperasikan logika disiplin Foucaultian yang mengubah kita menjadi subjek self-surveillance secara konstan (Nur et al., 2023). Kehidupan kampus dikuantifikasi, seminar 5 poin, lomba 10 poin, magang 20 poin, mereduksi aspek proses kemahasiswaan menjadi metrik ekonomi yang dapat diukur dan dibandingkan. Aktivitas yang tidak menghasilkan poin seperti diskusi kritis informal, gerakan sosial, atau berorganisasi untuk isu sosial politik tidak lagi dipandang produktif. Kita mengatur diri sendiri tanpa pengawasan dosen, menciptakan docile bodies yang patuh dan dapat diatur tanpa paksaan eksternal (Zaidan, 2020). Sistem ini berhasil menciptakan autodisiplin yang jauh lebih efektif daripada kontrol eksternal, di mana kekuasaan modern beroperasi bukan melalui hukuman fisik melainkan melalui disiplin yang membuat subjek mengawasi dan mengendalikan diri sendiri.

b. Pembentukan Subjek Korporatif

Kita didorong percaya bahwa kesuksesan atau kegagalan karir adalah hasil usaha pribadi, bukan konsekuensi sistem struktural ekonomi. Program MSIB menguatkan competitive individualism antar mahasiswa, alih-alih bekerja sama menganalisis dan memecahkan masalah sosial sebagai core competence sosiologi, kita didorong berlomba mendapatkan magang di perusahaan prestisius. Proses seleksi kompetitif, sistem ranking berdasarkan prestasi, dan kultur networking individual menciptakan mentalitas orang untuk dirinya sendiri yang bertentangan dengan semangat solidaritas sosial. Double consciousness W.E.B Du Bois (Bruce, 1992) membantu membaca dilema kita yang berada di antara dua sistem nilai kontradiktif, konflik internal intens terjadi antara kesadaran kritis dari pembelajaran kelas dengan tekanan praktis untuk laku di pasar kerja.

Berat rasanya memahami secara teoretis bahwa kita sedang dikomodifikasi, namun secara praktis merasa tidak punya pilihan lain. Sebagian yang memilih MSIB membenarkan pilihan dengan dikotomi ”realistis vs idealis,” ia mengklaim lebih realistis karena kondisi ekonomi sulit, sementara yang fokus pada pembelajaran kritis dianggap terlalu idealis dan tidak praktis. Tekanan konformitas teman sebaya peer pressure turut memainkan peran krusial ketika mayoritas mengikuti MSIB dan memperoleh pengalaman kerja serta sertifikat, yang tidak mengikuti mulai merasa tertinggal. Bandwagon effect ini menunjukkan hegemoni beroperasi bukan hanya melalui struktur formal, tetapi juga tekanan sosial informal yang membuat resistensi semakin sulit dan terisolasi (Hutagalung, 2004).

Pembunuhan Ruang Kritis dan Pertarungan Intelektual Organik

a. Fenomena Kebisuan Intelektual dan Kontradiksi Struktural

Bourdieu mengidentifikasi fenomena mengkhawatirkan dalam analisis neoliberalisme, yaitu kebisuan intelektual (silent intellectuals). Neoliberalisme telah membuat kaum intelektual bersikap membisu dan tidak lagi mampu berpikir kritis. Lebih parah lagi, ternyata hampir semua kalangan seperti seniman, penulis, peneliti, dan bahkan media massa telah terkooptasi neoliberalisme, sehingga ideologi tersebut makin tumbuh subur tanpa ada penentang. Tidak sedikit para ilmuwan maupun seniman yang terbelenggu oleh neoliberalisme, dimana karya-karya mereka lebih dituntun oleh semangat komersil daripada profesionalisme, sehingga melahirkan produk-produk yang cenderung bersifat murahan dan tidak bercita-rasa.

Paradoks ini menunjukkan bagaimana hegemoni neoliberal beroperasi tidak melalui paksaan langsung, melainkan melalui internalisasi nilai-nilai pasar yang membuat calon intelektual organik memilih sendiri untuk melayani kepentingan kelas kapitalis. Organisasi mahasiswa seperti BEM, DLM, UKM dan HMJ yang seharusnya menjadi ruang counter-hegemonic untuk membentuk intelektual organik mengalami degradasi partisipasi karena mahasiswa terbaik tersedot ke program-program berorientasi pasar. Konsep ini menurut Gramsci merupakan gerakan pemikir dari rakyat untuk membebaskan masyarakat dari penindasan (Afandi, 2011).

b. Gerakan Sosial Transnasional dan Reaktualisasi Intelektual Organik

Menghadapi kebisuan intelektual ini, Bourdieu menawarkan solusi radikal dengan membentuk gerakan sosial global yang menggabungkan berbagai kekuatan. Bourdieu mengharapkan kaum intelektual dapat membentuk semacam aliansi dengan melibatkan kelompok lain seperti misalnya aktivis lingkungan hidup, aktivis gender, para pendukung kampanye fair trade, para aktivis ekstrim kiri, kaum buruh, dan sebagainya untuk secara frontal menentang neoliberalisme. Visi Bourdieu ini sejalan dengan konsep intelektual organik Gramsci, namun dengan skala yang diperluas. Jika Gramsci membayangkan intelektual organik bekerja dalam konteks nasional untuk membebaskan kelas tertindas, Bourdieu melihat perlunya aliansi transnasional untuk melawan hegemoni neoliberal global (Hadiwinata, 2006). Konsep ini relevan dengan situasi kita yang seharusnya mampu masuk ke tataran politik tanpa meninggalkan kompetensi akademik.

Konteks organisasi mahasiswa, ini berarti transformasi orientasi dari self-improvement individual menuju collective action untuk perubahan struktural. Alih-alih berlomba mendapatkan sertifikat MSIB, kita seharusnya turut membangun jaringan lintas kampus, lintas organisasi, bahkan lintas negara untuk melawan neoliberalisasi pendidikan tinggi. Bourdieu menginginkan agar kaum intelektual mampu menempatkan diri ’duduk sama rendah, berdiri sama tinggi’ bersama-sama dengan para aktivis atau bahkan kaum petani maupun buruh, dan menghindari arogansi intelektual.

c. Kontras Realitas: Dari Intelektual Organik menuju Subjek Entrepreneurial

Realitas menunjukkan arah yang berlawanan dari visi Bourdieu. Program MSIB berhasil mengubah orientasi kita dari calon intelektual organik menjadi subjek entrepreneurial. Jika Bourdieu membayangkan intelektual yang menggunakan kemampuan ilmiahnya untuk menciptakan wacana kritis bagi berbagai kalangan, kita saat ini lebih tertarik menggunakan kemampuan akademik untuk personal branding di media sosial dan Curriculum Vitae menarik bagi perusahaan. Transformasi ini hasil dari sistem hegemonik yang secara sistematis menghancurkan ruang-ruang kritis. Brain drain dalam organisasi mahasiswa mencerminkan keberhasilan hegemoni neoliberal dalam membeli loyalitas intelektual muda melalui insentif material dan simbolik. Resistensi yang muncul lemah serta terpecah, sebagaimana dikhawatirkan Bourdieu bahwa perlawanan neoliberalisme masih sangat bersifat lokal dan sporadis.

Ironi fundamental terletak pada institusi pendidikan yang seharusnya menjadi ruang produksi intelektual organik justru berubah menjadi pabrik subjek entrepreneurial. Kita yang secara epistemologis dibekali alat kritik terhadap sistem kapitalis, secara praktis didorong untuk melayani sistem tersebut. MBKM berhasil menciptakan situasi di mana resistensi terhadap sistem justru dipandang sebagai ketinggalan zaman atau tidak realistis. Ia yang memilih berorganisasi dibanding magang korporat dikonstruksi sebagai kurang produktif atau tidak marketable.


Penutup

Kondisi yang tengah kita alami bukan sekadar penerapan kebijakan, melainkan kemenangan telak hegemoni neoliberalisme dalam menaklukkan ruang kritik akademik. Kita merasa merdeka memilih pilihan tanpa paksaan yang padahal bentuk penundukkan subjek. Sistem kredit poin, insentif nilai A otomatis, dan tekanan peer pressure beroperasi sebagai teknologi disiplin menciptakan docile bodies. Counter-hegemonic mengalami pembunuhan sistematis melalui brain drain, di mana mahasiswa terbaik tersedot ke program-program korporatif.

Ketika Antonio Gramsci menulis tentang hegemoni dipenjara Mussolini, ia mungkin tidak membayangkan bahwa hegemoni masa depan bekerja dengan sangat halus, hingga yang didominasi justru bersyukur. Ketika Bourdieu mengkritik kebisuan intelektual di hadapan neoliberalisme, ia mungkin tidak membayangkan bahwa generasi intelektual sekarang dengan sadar memilih untuk dibisukan, bahkan sambil tersenyum dan mengucap terima kasih. Inilah puncak kesempurnaan hegemoni, ketika yang didominasi tidak hanya tidak melawan, tetapi aktif mereproduksi dominasi sambil merasa diuntungkan.

Maka, selamat kepada kita semua. Selamat karena telah berhasil menginternalisasi logika neoliberal dengan begitu sempurna hingga resistensi terhadap sistem dipandang ketinggalan zaman. Selamat karena telah mengubah ruang produksi pengetahuan kritis menjadi pabrik subjek entrepreneurial yang siap dikonsumsi pasar. Selamat karena telah memilih mendandani diri agar laku sebagai pekerja ketimbang mempertahankan kapasitas kritis untuk transformasi sosial. Terakhir, selamat karena kita telah tunduk dan sujud pada sistem raksasa ini dengan kesadaran penuh, bahkan dengan rasa syukur atas privilege yang diberikan.


Daftar Pustaka

Afandi, A. (2011). Gerakan Sosial Intelektual Muslim Organik dalam Transformasi Sosial. Religió: Jurnal Studi Agama-agama, 1.

Amsalis, Y. (2022). Antonio Gramsci Sang Neo Marxis. BASABASI.

Boli, M. (2022). Menelisik Budaya Pragmatis dalam Dunia Perguruan Tinggi. 21 Juni 2025 [daring]. Diakses melalui Geotimes: https://geotimes.id/opini/menelisik-budaya-pragmatis-dalam-dunia-perguruan-tinggi/

Bruce, D. D. (1992). WEB Du Bois and the idea of double consciousness. American Literature, 64(2), 299-309.

Cahyono, H. (2019). Peran mahasiswa di Masyarakat. De Banten-Bode: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Setiabudhi, 1(1), 32-41.

Cannella, G. S., & Koro-Ljungberg, M. (2017). Neoliberalism in higher education: Can we understand? Can we resist and survive? Can we become without neoliberalism?. Cultural Studies↔ Critical Methodologies, 17(3), 155-162.

Fiani, V. E. (2019). Depolitisasi mahasiswa era demokratisasi: Tinjauan kritis atas SK DIKTI NO. 26 tahun 2002 terhadap gerakan ekstra kampus di Universitas Gadjah Mada [Skripsi S1, Universitas Gadjah Mada]. Diakses melalui Repository UGM: https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/172105

Giroux, H. A. (2007). Border crossings: Cultural workers and the politics of education. Routledge.

Gramsci, A. (2020). Selections from the prison notebooks. In The applied theatre reader (pp. 141-142). Routledge.

Gündoğan, E. (2008). Conceptions of Hegemony in Antonio Gramsci’s Southern Question and the Prison Notebooks. New Proposals: Journal of Marxism and Interdisciplinary Inquiry, 2, 45-60.

Hadiwinata, B. S. (2006). Bourdieu, Neoliberalisme, Intelektual dan Gerakan Sosial Global. MELINTAS An International Journal of Philosophy and Religion (MIJPR), 22(1), 471-485.

Hutagalung, D. (2004). Hegemoni, Kekuasaan, dan Ideologi. Jurnal Pemikiran Sosial, Politik dan Hak Asasi Manusia, 74(12), 1-17.

Insannia, R. C., Handika, P., Wibisono, S. S., Wahyuni, E., Febrianti, L. C., Utama, R. I. S., ... & Martono, N. (2024). Persepsi Alumni Sosiologi FISIP Unsoed Mengenai Implementasi Program MBKM. Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat Nusantara, 5(4), 6295-6302.

Nur, A. A. J., Gunawan, W., Zakaria, S., Yunita, D., & Lesmana, A. C. (2023). Pengawasan Terhadap Masyarakat: Panopticon Dan Post-Panopticon (Analisis Diferensiasi Pemikiran Michel Foucault-Deleuze & Guattari). Sosioglobal: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi, 7(2), 178-194.

Rakhmani, I. (2024). Reproduksi dan resistensi: Neoliberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia yang terdigitalisasi. 21 Juni 2025 [daring]. Diakses melalui Anotasi: https://anotasi.org/pendidikan/neoliberalisasi-pendidikan-tinggi-di-indonesia/

Salim, A., Manubey, J., & Kuswandi, D. (2023). Neoliberalisme Dan Dampaknya Bagi Pendidikan Indonesia: Sebuah Refleksi. Jurnal Pendidikan, 24(2), 97-115.

Zaidan, Y. F. (2020). Relasi Tubuh dan Kekuasaan: Kritik Sandra Lee Bartky Terhadap Pemikiran Michel Foucault. JAQFI: Jurnal Aqidah Dan Filsafat Islam, 5(2), 134-153.


Komentar