KARMA
Karya: Akmal Nabil Farras
Aku bertemu mantanku di Instagram. Zaman memang sudah sangat berkembang canggih dan praktis sekali. Aku bisa selingkuh sembunyi-sembunyi dengan gampang tanpa diketahui oleh pacarku.
Pacarku berkuliah di Universitas yang sama denganku, hanya saja kami beda Program Studi. Kesibukan masing-masing membuat kami jarang bertemu, bahkan ketika kencan pun hanya sangat sebentar. Kebanyakan waktu dihabiskan untuk menyelesaikan tugasnya sendiri-sendiri. Hal ini membuatku bosan dan berpaling kembali ke mantanku.
Aku sering kali di ajak oleh pacarku ke perpustakaan, awalnya selalu aku terima untuk menemani ia mengerjakan pekerjaannya. Tapi semenjak aku selingkuh, pasti ku tolak dengan berbagai alasan. Sama seperti hari ini, aku beralasan ingin kerja kelompok bersama temanku. Agar pacarku yakin, aku menyuruh sahabatku membuatkan alibi yang masuk akal. Beres, sangat mudah sekali menipu dan membodohi wanita polos seperti dia.
Namun hari ini tidak berjalan seperti rencanaku. Ketika aku hendak pergi kencan dengan mantanku, ternyata pacarku sudah menunggu di depan kostku dengan mata melotot.
“Kau! Kau selingkuh, kan?!”
“Hahaha, kau bicara apa?” Meskipun aku melempar tawa, tapi hatiku menciut. Namun yang terpenting sekarang adalah menyangkalnya dengan berbagai cara. Ini adalah peraturan pertama dalam berselingkuh.
Penampilan pacarku saat ini terlihat berbeda. Mengenakan make up yang tebal, berpakaian ketat, dan menata rambutnya. Seolah sedang berusaha menyaingi mantanku. Dadaku sedikit sakit.
“Kau kemarin menginap di OYO daerah Kota Lama bersama perempuan, kan?”
Kenapa dia tahu?
Aku sedikit gugup, tapi aku tidak boleh menunjukannya sampai dia mengeluarkan bukti yang telak. Posisiku tetap sebagai orang yang tidak bersalah. Ini adalah peraturan kedua dalam berselingkuh.
“Dasar bodoh. Memangnya kau punya bukti? Atau jangan-jangan kau menyewa detektif untuk menguntit? Sungguh keterlaluan!” kataku mencoba menyelidiki pacarku.
“Detektif? Mana mungkin.”
“Nah, makanya jangan menuduh yang tidak-tidak.” Syukurlah. Kalau begitu, dia tidak punya bukti.
“Zaman secanggih sekarang tidak perlu detektif.”
Pacarku mengeluarkan ponselnya dari kantong tasnya. Dia mengoperasikan ponsel tersebut dengan cekatan lalu menunjukannya padaku. Tampak peta daerah Kota Lama di layarnya. Tanda panah berwarna merah menandai berbagai tempat di sana-sini.
“Apa ini?” tanyaku.
“Pukul 19.00 kau masuk Tol Citampi, sejam kemudian kau keluar dari pintu DreamLand, dan setengah jam setelahnya kau sampai di OYO daerah Kota Lama bukan?”
Aku terkesiap. Bukankah itu adalah kegiatanku semalam?
“GPS. Karena kau agak aneh belakangan ini, jadi aku membeli transmiter lalu memasangkannya di mobilmu.”
Kalau begitu kegiatanku selama ini sudah ketahuan? Namun aku tidak boleh mengakuinya. “Ah... kemarin aku pergi minum-minum dengan teman SMA-ku, Anton. Kau pasti mengenalnya kan?”
Anton pasti akan membantuku andai pacarku menelponnya saat ini juga.
“Hmm... kau bersama Anton semalam?”
“Iya. Kalau tidak percaya, telepon saja dia.” Aku membusungkan dada.
Namun sekali lagi pacarku mengotak-atik ponselnya dan berkata “Kalau Anton, bukankah semalam ia berada di tempat karaoke?” sembari menatapku dengan tajam.
“Ka-karaoke? Kenapa kau tau tentang-”
“Ada kok di Instagram. Dia memposting-nya semalam.”
Ah. Zaman sekarang, mengarang alibi tanpa adanya dukungan bukti teknologi tidaklah bisa diandalkan. Gawat.
“Ah, aku ingat! Kemarin aku meminjamkan mobilku pada Najib. Kau pasti juga tau kan? Dia orangnya memang suka ke tempat seperti itu.”
“Hmm... masih berpura-pura bodoh, ya?” Pacarku mendengus. “Kalau begitu ini apa?”
Di layar ponselnya terpampang foto mobilku di parkiran OYO. Kemudian ia membesarkan gambarnya, tampaklah diriku di dalam mobil sedang berciuman dengan mantanku.
“Oi, oi. Bagaimana kau bisa...? Jangan-jangan kau benar-benar menyewa detektif untuk mengikutiku?”
“Aku tidak sekaya itu sampai menyewa detektif. Aku dikirimi foto ini oleh sahabatku Livy yang semalam kebetulan lewat depan OYO.”
Ugh. Kelihatannya aku tidak bisa mengelak lagi dan harus menyerah. Ini peraturan ketiga dalam berselingkuh. Kalau sudah tertangkap basah, yang penting adalah meminta maaf. Dengan segera, aku memeluk kaki pacarku dan berlutut. “Aku yang salah! Aku hanya bosan dan ingin sedikit bersenang-senang.”
Aku menangis sambil bersujud di lantai. Merengek seperti anak kecil sangat ampuh dan langsung menyelesaikan masalah. Begitu pikirku. Kalau dia memaafkanku, itu sebuah kesempatan untuk memanfaatkan semua media sosial demi membuat alibi baru. Sehingga aku bisa berselingkuh lagi dengan sesuka hatiku. Senyum kemenangan sudah nampak dalam mukaku yang tengah memelas bersedih. Jenius sekali diriku bisa memikirkan ide briliant seperti itu.
“Tanpa dirimu, mana bisa aku hidup? Maafkan aku!” Aku berteriak dan menangis secara berlebihan, bahkan mungkin bisa dikatakan sangat lebay.
“Perempuan buruk rupa itu yang memaksaku berselingkuh, jadi aku juga korban di sini. Aku akan segera putus dengannya dan tidak akan pernah menemuinya lagi. Aku berjanji.”
“Betul? Jadi, kau benar-benar menyesalinya?”
“Tentu saja. Hanya kau yang kucintai sayang.” Aku terus merayu dengan kata-kata manis agar dia memercayaiku lagi.
“Kalau begitu, aku maafkan. Interogasinya cukup sampai di sini.” ujar pacarku dengan lembut. Aku mengangkat wajah dengan ekspresi penuh kegirangan akan kemenangan. Aku tak menyangka akan segampang ini membodohi pacarku yang sangat idiot.
Pacarku berjalan ke arah meja yang ada di depan kostku. Di atas meja itu sudah ada ponsel lain yang diberdirikan dengan posisi kamera menghadap ke kami. Dia menyentuh layarnya.
“Itu...”
“Interogasi tadi aku siarkan secara langsung di Instagram. Aku juga sudah mengumumkan ke banyak orang kalau aku akan membongkar kedokmu. Pasti banyak yang menontonnya. Termasuk “perempuan buruk rupa” itu juga menyaksikannya.
“Apa...??!! Bagaimana kau bisa setega ini? Kau sangat jahat! Dasar wanita jalang!”
“Kenapa pula aku yang menjadi penjahatnya di sini? Bukankah seharusnya kau berkaca diri. Dasar lelaki brengsek, bermuka dua, dan suka playing victim!” ucap pacarku dengan nada tinggi penuh amarah dan tatapan yang menjijikan.
Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Jadi, aibku di siarkan secara langsung ke semua orang?? Dibandingkan menghadapi kenyataan ini, lebih baik aku di tusuk dengan pisau atau membayar uang ganti rugi di persidangan. Aku tak sanggup jika harus menanggung rasa malu ini.
Dengan kejadian ini, pasti mantanku akan memandangku sebelah mata dan meninggalkanku. Belum lagi masyarakat, keluarga, dan teman kampusku... aku pasti akan dijauhi dan menjadi bahan tertawaan mereka.
Sekali lagi pacarku menekan layar ponselnya, lalu menyunggingkan senyum puas.
“Upload di YouTube, X, Facebook, TikTok, dan Instagram sudah selesai. Kira-kira berapa puluh orang atau mungkin ratusan? Ribuan? Bahkan jutaan penonton? Hmm... aku tidak sabar ingin menantikannya. Hahaha.” Suara tawa licik akan penuh kemenangan terdengar dengan sangat riang.
Hancur sudah hidupku. Aku tidak tahu mau ditaruh mana lagi mukaku. Semua orang pasti akan memandangku rendah dan sangat hina. Aku tidak kuat menghadapi semua ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasibku ke depannya. Mengerikan. Begitu mengerikan. Ini adalah hukuman karma sosial melalui perangkat media digital dan kecanggihan teknologi. Kenapa zaman sudah berubah menjadi semengerikan ini??
***
Whow must act mall
BalasHapusnantikan cerpen cerpen lainnya
HapusAkmall, proud of you
BalasHapus