Selamat Hidup Di Senang Yang Tidak Ada Aku
Karya: Frenita Lian Sari
“Di antara megahnya siluet senja, di ujung pasir putih pada garis pantai yang anggun. Kutatap lekat penuh tanya dan pinta. Bayangan seulas senyum itu menyingkap begitu menawan akan dirimu. Kalaulah boleh bertanya, apa kabar dirimu di sana?”
-Zeein-
Angin malam menerpa wajah seorang gadis yang sedang berdiri mematung di balkon rumah, ia menatap kosong semua pemandangan malam di depannya. Deretan bunga Krisan yang tumbuh di pot bunga pun tampak sayu, bahkan dinginnya air hujan yang turun juga turut menyusup hingga ke tulang sang gadis itu, ia menggigil, namun enggan untuk beranjak dari lamunan. Sayup-sayup terdengar suara memanggil namanya.
“Ran, kehidupan itu seperti roda, ada kalanya ia berputar dan kita mesti mengikuti perputaran itu.”
Rani hanya diam di tempat, bahkan matanya pun malas berputar melihat sumber suara, ia masih membisu dengan tatapan kosong.
“Sudahlah Ran, mau sampai kapan kamu mengutuk diri? untuk apa kamu masih mencintai lelaki itu, bahkan kamu tahu sendiri, bukan? dia lebih dari menyakiti hatimu tapi harapan juga hidupmu.”
Gadis yang menerima suara itu terisak, air matanya membasahi pipi, bahkan ia seperti beradu deras dengan air hujan malam ini. Sakit yang ia terima tidak pernah mengungguli rasa cinta dan sayang ia pada seorang lelaki yang berhasil membuatnya jatuh hati sekaligus patah hati yang teramat sangat. Sialnya, ia masih berharap akan kata “kembali”, berharap ada segulung benang beserta jarumnya yang akan kembali merajut mimpi-mimpi dan harapan seorang gadis bernama Rani Azhari. Baginya dunia tidak adil, ia yang pernah begitu tulus menemani kekasihnya namun harus terkalahkan dengan perempuan lain yang berhasil merebut hati sang lelaki itu, bahkan penghianatan telah ia terima dari orang yang paling dicinta. Sakitnya, gadis itu harus menerima kenyataan takdir dengan kehilangan orang yang ia sayang sepenuh hati. Jahatnya, sang lelaki justru lebih memilih perempuan yang belum lama ia kenal. Namun begitu, rasa cinta yang terlanjur dalam telah menutup kebencian Rani pada mantan kekasihnya, hingga ia tersiksa dengan caranya sendiri. Hati, harapan dan hidupnya telah termakan cinta dengan butanya.
“Apakah dirimu bahagia di sana? apa yang telah membuat dirimu meninggalkan aku? lupakah kita pernah bahagia?”
Gadis itu hanya bermonolog tanpa menjawab kalimat temannya. Ia malah kembali terisak merasakan cinta dan sakit yang beradu dalam hati serta pikiran.
“Dan ..., kamu bisakah diam saja?” ucap Rani lirih di tengah isak tangisnya.
“Aku akan berbicara sekali lagi, tolong dengarkan. Kamu akan seperti ini sampai kapan? banyak sekali orang terpuruk dan gila karena cinta, apakah kamu ingin merasakan itu juga? Apa katamu sebagai bukti ketulusan? Tidak benar, itu cara yang salah, harusnya kamu buktikan bahwa kamu baik-baik saja tanpa dia, buktikan kalau kamu bisa berjalan tanpa dia, seberharga apa pun dia, kamu pernah dilukai sedemikian rupa, bukan? Kamu ingat-ingat itu. Aku sedang berbicara denganmu, dengarkan baik-baik, aku terlalu banyak tahu tentang kalian, bagaimana bisa aku membiarkan temanku sendiri merasakan sakit?”
Rani membuang napasnya gusar, ia berbalik badan menatap temannya, Sarah. Kemudian, memeluknya erat hingga air mata gadis itu berhenti keluar.
“Maafkan aku,” ujar Rani melepas pelukannya. “Aku akan mencoba menghilangkan rasa ini, tolong bantu aku.”
Sarah hanya tersenyum dan mengangguk pada temannya.
***
Hari berganti, bunga krisan merah jambu yang menguning terlihat gugur diterpa angin malam yang dingin, lalu lalang kendaraan kota masih ramai mengisi jalanan sepanjang 1 km dari rumah sakit Siloam Hospitals. Pancaran sinar bulan tampaknya tidak terlalu terang malam ini, bahkan sangat temaram. Bintang-bintang malam juga yang biasa bertaburan tidak terlihat satu pun.
Seorang gadis terbaring lemah di ruang serba putih, bau obat-obatan sudah menjadi aroma khas tempatnya orang sakit. Selang infus melekat di tangan kanannya. Dia masih belum tersadar setelah mengalami koma tepat satu minggu sampai malam ini. Sarah tidak pernah menyangka bahwa temannya itu harus dirawat karena kondisi tubuhnya semakin hari semakin lemah, Sarah tertegun, ternyata cinta yang terlalu dalam begitu membawanya pada kehilangan semangat hidup sampai merusak kehidupannya. Sarah yakin, dengan kehadiran lelaki itu mungkin bisa membantu menyadarkan Rani, ia mondar-mandir menunggu kedatangan lelaki itu, untungnya, sang lelaki bersedia menjenguknya.
“Akhirnya datang juga, tolong bicaralah dengannya, hanya namamu yang dia sebut-sebut setiap hari. Aku minta tolong padamu, Zeein.”
Lelaki itu hanya diam dan memasuki sebuah ruangan tempat Rani terbaring lemah. Ditatapnya gadis itu lekat-lekat, seseorang yang pernah mengisi hidupnya dengan berbagai warna, namun ia pernah memberi luka hingga tidak disangka membuatnya sakit hati hingga raganya. Langkah Zeein terhenti, kemudian ia duduk di kursi sebelah ranjang, tangannya menggapai jemari lentik milik Rani, ia mengelusnya, mendadak air mata Zeein menetes.
“Maafkan aku Ran, jujur saja aku masih mencintaimu, dengan siapa pun aku sebelumnya, dia tidak seperti dirimu, aku tahu cintanya tidak sebesar dirimu untukku, begitupun aku, tidak bisa sepenuhnya mencintai dia. Selalu ada ruang untukmu di hatiku, sayangnya aku tidak tahu harus berbuat apa, aku menyadari betapa brengseknya aku. Tolong bangunlah, Sarah sudah menceritakan semua tentangmu, aku menangis mendengar itu, aku sekarang di sini untukmu, aku berubah untukmu Ran, aku sedang tidak dengan siapa pun. Bangunlah, kamu masih mencintaiku kan? Maaf atas luka yang aku berikan. Bangunlah, aku yakin kamu mendengar ini.”
Hening, lima menit berlalu tanpa suara. Namun, tiba-tiba ada pergerakan pada jemari Rani, pelan-pelan matanya terbuka, menatap wajah lelaki yang sangat dicintai ada di sisinya. Air mata itu kembali keluar dari persembunyian.
“Aku masih mencintaimu, Ran.”
“Aku masih lebih mencintaimu,” balas Rani lirih, bahkan hampir tidak terdengar. Zeein langsung mendekap tangan Rani erat.
“Tapi, aku kehilangan tenaga untuk bisa kembali seperti dulu, aku benar-benar kehilangan semangat hidupku.”
“Aku di sini, Ran.”
“Maafkan aku Zeein, nanti jika aku pergi selamanya, aku ingin kamu memberikan mawar putih untuk pemakamanku. Saat ini, cukup itu yang aku minta, terima kasih sudah bersedia menjenguk gadis malang sepertiku.”
Mata gadis bernama Rani Azhari berlahan menutup, beberapa detik kemudian napasnya telah terhenti. Masa hidup gadis itu telah berakhir bersama cinta yang membunuhnya.
Komentar
Posting Komentar