Review Film "Zootopia" (2016)

 Membongkar Ketidakadilan Melalui Dunia Hewan:  “Zootopia” (2016)

Oleh: Grei - Sosiologi 2023



Film Zootopia yang dirilis pada tahun 2016 oleh Walt Disney Animation Studios ini mengangkat kisah Judy Hopps, seekor kelinci kecil yang bercita-cita menjadi polisi di kota metropolitan Zootopia, dan Nick Wilde, seekor rubah penipu yang kemudian menjadi partnernya, film ini menggambarkan perjuangan dua karakter yang berusaha melawan stigma dan prasangka yang melekat pada diri mereka. Film animasi yang biasanya dianggap sebagai suatu tontonan yang menghibur bagi anak-anak ini nyatanya juga bisa menjadi sarana refleksi sosial yang tajam. Meski latar dari film ini adalah dunia hewan, pesan yang disampaikan sangat manusiawi dan relevan dengan kenyataan sosial kita saat ini. Dengan mengangkat isu diskriminasi, stereotip, dan kesetaraan dalam sebuah kisah petualangan Judy dan Nick dalam menyampaikan pesan mendalam mengenai cara kerja masyarakat, kekuasaan, dan identitas sosial.

Dilihat dalam konteks sosiologi, film ini dapat dianalisis melalui Teori Labeling dari Howard Becker dan Teori Gender yang berakar dari pendekatan feminisme. Kedua teori ini memberikan kerangka untuk memahami bagaimana individu dan kelompok seringkali terjebak dalam sistem sosial yang tidak adil akibat pelabelan serta stereotip berbasis identitas sosial,baik itu spesies dalam film maupun ras dan jenis kelamin dalam dunia nyata.

Howard S. Becker, salah satu pelopor teori labeling ini menyatakan bahwa penyimpangan bukanlah sesuatu yang melekat pada tindakan, tetapi hasil dari reaksi masyarakat atau sosial terhadap tindakan tersebut. Dalam Ahmadi dan Nur’aini (2005), teori labeling menjelaskan bahwa individu yang terus-menerus menerima label negatif, terutama dari lingkungan sosialnya, lama-kelamaan akan kehilangan citra diri aslinya dan menerima label tersebut sebagai identitas baru, meskipun awalnya mereka menolak. Dalam teori ini terdapat satu pemikiran dasar, yaitu seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devians dan diperlakukan seperti orang yang devians akan menjadi devians.

Dalam film Zootopia, konsep ini terlihat sangat jelas melalui karakter Nick Wilde. Sejak kecil, Nick memiliki cita-cita menjadi anggota kelompok pramuka. Namun, karena ia seekor rubah dan dalam kelompok tersebut hanya dia seoranglah yang predator, teman-temannya menaruh rasa curiga bahkan memperlakukannya dengan memakaikan moncong pengekang, seolah-olah ia adalah hewan yang liar dan berbahaya. Peristiwa itu sangat membekas dalam dirinya, dan membuatnya merasa bahwa masyarakat tidak akan pernah menerima rubah seperti dirinya, apapun yang ia lakukan.

 “If the world’s only going to see a fox as shifty and untrustworthy, there’s no point in trying to be anything else.” - Nick Wilde

Ucapan Nick pada menit 59:55 ini mencerminkan bagaimana ia telah menerima label negatif yang diterimanya sejak kecil. Alih-alih melawan, ia memilih untuk menyesuaikan diri dengan label negatif tersebut dan menjadi penipu jalanan. Ini adalah gambaran nyata dari bagaimana labeling bekerja dan mempengaruhi perilaku seseorang secara mendalam.

Tidak hanya itu, dalam film ini juga ditunjukkan bagaimana label sosial dapat bekerja secara kolektif, tidak hanya kepada individu, tetapi kepada seluruh kelompok. Dalam alur cerita, predator yang merupakan salah satu spesies dalam Kota Zootopia, secara bertahap mulai dijauhi dan dicurigai karena beberapa dari mereka menjadi “liar”. Masyarakat non-predator mulai merasa terancam dan media serta politikus memanfaatkan situasi ini untuk menciptakan ketakutan massal. Hal ini bisa dilihat dalam scene Clawhauser yang merupakan seorang resepsionis di Kantor Polisi Zootopia dipindahkan pekerjaannya karena masyarakat tidak ingin predator-lah yang mereka lihat pertama kali saat ke kantor polisi.

 “Fear always works. And it’s always sold.” -Judy Hopps

Pernyataan Judy ini mengungkapkan bagaimana label sosial dapat menjadi alat kekuasaan. Ketakutan terhadap kelompok tertentu dijadikan komoditas, dijual dalam bentuk narasi/berita, dan kebijakan publik yang diskriminatif. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa film Zootopia ini mengkritik cara kerja sistem sosial yang seringkali tidak adil terhadap kelompok minoritas.

Selain teori labeling, Zootopia juga sarat akan isu gender dan dapat dianalisis dengan teori gender dari sudut pandang feminisme. Feminisme melihat bahwa ketimpangan antara laki-laki dan perempuan bukan hanya semata karena perbedaan biologis, melainkan karena konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki sebagai superordinat dan perempuan sebagai subordinat (patriarki). Dalam sistem patriarki ini, perempuan seringkali dianggap lemah, emosional, serta tidak kompeten untuk memegang tanggung jawab besar.

Judy Hopps, sang tokoh utama, adalah seekor kelinci perempuan yang menjadi simbol perlawanan terhadap struktur patriarki. Ia adalah kelinci pertama yang diterima di akademi kepolisian, sebuah lembaga yang di dalam film didominasi oleh hewan besar seperti singa, kerbau, dan gajah yang direpresentasikan sebagai sosok laki-laki yang kuat dan dominan. Meskipun Judy lulus sebagai lulusan terbaik di angkatannya, ia tidak mendapatkan kepercayaan dari atasannya karena ia seekor kelinci kecil.

 “Life isn’t some cartoon musical where you sing a little song and your inspid dreams magically come true. So let it go.” -Chief Bogo

Ucapan Chief Bogo pada menit 31:44 menggambarkan sikap meremehkan Judy seekor kelinci perempuan yang bercita-cita tinggi. Ia memandang Judy sebagai sosok naif yang tidak cocok bekerja di lapangan, terlebih polisi. Judy pun ditempatkan sebagai petugas parkir, pekerjaan yang tidak mencerminkan kapasitasnya meski ia menjadi lulusan terbaik. Ini adalah sebuah bentuk diskriminasi institusional yang umum dialami perempuan dalam dunia kerja nyata.

Judy bukanlah kelinci yang mudah menyerah begitu saja. Ia tetap bekerja keras dan membuktikan dirinya mampu menyelesaikan kasus besar yang tidak bisa diselesaikan oleh polisi lain.

“I don’t know when to quit!” -Judy Hopps

Kutipan ini memperlihatkan tekad dan perlawanan terhadap sistem yang bias gender. Dalam perspektif feminis, Judy adalah representasi perempuan yang melawan narasi “ketidakmampuan” dan menunjukkan bahwa keberhasilan tidak bergantung pada ukuran tubuh atau jenis kelamin, tetapi pada kompetensi dan ketekunan.

Secara keseluruhan, Zootopia adalah film yang menyuarakan kritik sosial yang tajam. Film ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menyindir dunia nyata bahwa masyarakat kita penuh dengan prasangka, stereotip, dan ketakutan yang dibentuk oleh sistem. Film ini juga menunjukkan bahwa keberagaman dan harmoni sosial hanya akan tercapai apabila masyarakat mau untuk membongkar label sosial dan membuka ruang inklusif yang setara bagi semua pihak.

 “Change starts with you.”-Judy Hopps

Pernyataan Judy pada akhir film ini menyampaikan pesan yang kuat, yaitu perubahan sosial harus dimulai dari diri kita sendiri. Masing-masing diri kita memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya menolak label dan stereotip, tetapi juga aktif menciptakan lingkungan yang inklusif dan adil.

Dengan menggabungkan elemen hiburan dan pesan moral, Zootopia berhasil menjadi film yang mendidik serta menginspirasi. Melalui teori labeling, kita dapat belajar bahwa pandangan masyarakat dapat membentuk identitas seseorang. Sementara melalui teori gender, kita diingatkan bahwa perempuan dan kelompok minoritas masih harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan kesempatan yang sama. Zootopia tidak hanya mengajarkan bahwa “Siapapun bisa menjadi apapun.” tetapi juga mengajarkan bahwa dunia yang ideal adalah dunia yang membongkar batas-batas sosial demi mewujudkan kesetaraan dan keadilan.



Daftar Pustaka

Ahmadi, D., & Nuraini, A. (2005). Teori penjulukan. Mediator: Jurnal Komunikasi, 6(2), 297-306.


Komentar