Oleh: Srie Mustika Rahayu (Sosiologi 2011)
![]() |
Sumber: Google |
“Bukan
penyakit ini yang membuat kami sangat menderita, namun justru stigma
masyarakat-lah yang membunuh kami..” ODHA (Orang Dengan
HIV/AIDS)
AIDS.
Menyeramkan rasanya mendengar sejumput kata ini. Entah darimana asalnya.
Faktanya saat ini AIDS merupakan salah satu penyakit yang
ditakuti sepanjang masa. Begitupun dengan disleksia, penyakit
yang sebagian besar orang menganggap pengidapnya adalah orang aneh dan sakit
jiwa hingga tak pantas untuk dijadikan teman. Sama halnya dengan penyakit yang
sangat dianggap memalukan yaitu kusta, berapa banyak penderita kusta yang telah
dibuang dan dijauhkan dari keluarganya sendiri. Takut. Semua orang merasa ketakutan. Para
penderitanya diasingkan, bahkan dikucilkan.
Para penderita penyakit
seringkali dianggap mengerikan oleh sebagian besar orang, hingga pada
akhirnya timbul semacam diskriminasi terhadap kelompok yang seharusnya
didekati dan diselamatkan ini. Seperti yang diungkap oleh salah satu ODHA yang
saat itu ditemui dalam sebuah seminar HIV, “Bukan penyakit ini yang membuat
kami sangat menderita, justru stigma dari masyarakat-lah yang membunuh kami..”
betapa kata yang ia gunakan untuk menggambarkan bagaimana dampak stigma
terhadap diri mereka begitu luar biasa. ‘Membunuh’, memang sudah tepat untuk
menggambarkannya. Toh tanpa pandangan masyarakat pun lama-lama mereka tetap
akan terbunuh, dan masyarakat telah membantu untuk tak hanya membunuh mereka
secara fisik, namun juga peran dan status mereka dalam kehidupan sosial.
Fakta
ini mungkin bisa menyadarkan kita, bahwa selama ini tidak pernah terpikir oleh
kita untuk merangkulnya dan memberikan motivasi serta semangat, padahal justru
itulah yang sangat mereka butuhkan. Hal itu tampaknya sudah menjadi hal yang
biasa dan seakan tidak perlu diresahkan lagi. Lebih jauh dari itu, nampaknya
hanya sedikit sekali yang masih peduli untuk memikirkan orang-orang tersebut. Nyaris
bisa dihitung oleh jari. Kebanyakan masyarakat lebih suka menganggap mereka
tidak ada. Justru disinilah letak kesalahan yang bisa menimbulkan kerusakan
nilai dalam sistem masyarakat.
Sakit
dan sehat itu hanya soal persepsi. Perilaku sehat diperlihatkan oleh
individu-individu yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu
mereka betul-betul sehat, begitupun sebaliknya. Orang yang sakit tidak dapat
menjalankan tugas-tugasnya di lingkungan kerja dan keluarganya sehingga
fungsinya itu harus digantikan oleh orang lain. Kadang-kadang peranan orang
yang sakit itu sedemikian luasnya sehingga peranan yang ditinggalkannya itu
tidak cukup digantikan oleh satu orang saja melainkan harus beberapa orang.
Padahal orang yang berpenyakit, belum tentu orang sakit dan belum tentu
mengakibatkan perubahan perannya dalam masyarakat. (Notoatmodjo &
Sarwono, 1986) “Kami mohon, jangan asingkan kami, jangan anggap kami lain..”
inilah teriakan hati para penderita aids, disleksia, kusta, sakit jiwa, dsb.
Ternyata sang penderita pun bisa merasakan bahwa dirinya telah dianggap
‘berbeda’, dan tendensi negatif telah melekat ke dalam diri mereka.
Bagaimana
seorang pengidap HV AIDS dikucilkan dan dipandang sebelah mata oleh orang-orang
di sekitarnya, bagaimana si penderita disleksia yang sudah sulit dalam
kemampuannya memahami tulisan harus disulitkan pula dalam memahami mengapa
orang-orang enggan bergaul dengan dirinya, mengapa orang tuanya tidak mampu
memahami kekurangannya, mengapa malah ia dianggap bodoh dan idiot oleh semua
orang di sekelilingnya, bagaimana ia harus tertekan oleh semua sikap yang
menjauhkannya dari akal sehat. Lalu bagaimana si pemilik kusta harus hidup
sendirian demi orang-orang sekitarnya tidak tertular olehnya, bagaimana ia
harus mengorbankan diri dan usaha kesembuhannya demi supaya tidak banyak lagi
orang ‘menjelma’ seperti dirinya, padahal ia mampu keluar dari jerat penyiksaan
terhadap mentalnya jika saja orang-orang mampu menerimanya dengan tangan
terbuka dan menganggapnya sama, sehingga besar kemungkinan ia mampu memiliki
semangat berjuang untuk sembuh. Masih ada lagi seorang yang mengalami gangguan
kesehatan jiwa, yang kebanyakan orang lebih senang menyebutnya ‘gila’.
Bagaimana ia hidup telah betul-betul dilepaskan dari peran sosialnya. Dianggap
gila, sinting, edan, dan semacamnya, benar-benar divonis tidak mampu
melakukan apapun layaknya orang sehat, dan tidak pantas menerima perlakuan
lazimnya si sehat. Seringkali kita lihat bagaimana seorang sakit jiwa itu
ditakuti, dianggap sampah. Hal ini juga tidak lepas dari peran media. Di media
kerap digambarkan orang dengan masalah kejiwaan atau yang menderita skizofrenia
secara salah, seperti menyebutnya orang gila.
Dalam
media penyiaran televisi mereka sering digambarkan sebagai pribadi yang kacau,
berbahaya, dan perlu disingkirkan dari kehidupan sosial. (Kompas.com. )Dari penggunaan istilah gila, sinting, edan,
dan semacamnya saja sudah dapat terlihat stigma negatif sebagai contoh yang
paling mudahnya. Padahal sebenarnya masyarakat mampu memperlakukan orang-orang ini dengan
lebih baik. Apabila
opini publik yang terbentuk tidak seperti yang sudah tampak di masyarakat, sebagai contoh sebagaimana
yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kalikarang, Purbalingga terhadap Jatru, salah seorang yang mengalami masalah kejiwaan
disebabkan tidak mampu melanjutkan sekolah karena faktor ekonomi,
masyarakat di sekitarnya tidak ia menganggapnya orang gila, tidak ada perspektif buruk terhadap kegilaan terhadap apa yang dialami Jatru, sehingga Jatru hidup
berkumpul dan bermasyarakat seperti yang lainnya, tidak ada yang memandangnya
sebagai orang aneh dan semacamnya, hingga
akhirnya ia pun mampu bekerja dan menjalankan peran sosial layaknya orang yang
tidak memiliki masalah kejiwaan apapun, bahkan ia sanggup membantu
masyarakat sama halnya seperti orang-orang sehat lainnya.
Dari
sinilah mari berbicara seandainya, untuk pengidap HIV, seandainya saat itu
memang dirinya betul-betul terkena virus HIV namun ia belum mengetahuinya dan
tidak ada seorang pun yang tahu, akankah ia mendapat perlakuan semacam itu?
Jawabannya tidak. Orang masih akan tetap menganggapnya sama dengan yang lain
dan menjadi bagian dari masyarakat. Ia tetap bisa menjalankan peran sosial
sebagaimana mestinya. Karena tidak tampak bedanya ia dengan orang orang
lainnya. Namun berbeda ketika masyarakat tahu bahwa ia seseorang yang ‘sakit’
HIV, apa yang akan terjadi? Perlahan, ia dilepaskan dari peran sosialnya
sendiri. Yang membuat ‘beda’ itu justru adalah masyarakat. Orang yang
menilainya, bukan dirinya sendiri. Namun karena orang di luar sana telah
memandang ia sedemikian rupa mau tidak mau timbul perasaan yang sama mengira
bahwa dirinya berbeda dan telah menjadi lain dari orang-orang di
sekitarnya. Bagaimana bisa? Karena masyarakat disana sini memandang HIV
AIDS itu lain, orang disleksia itu berbeda, penderita kusta itu bukan bagian
mereka.
Begitulah
cara pandang masyarakat. Persepsi. Lagi-lagi ini hanya masalah persepsi.
Sesuatu yang sebetulnya tidak ada. Padahal
banyak orang yang sakit namun tetap melakukan peran sosial layaknya orang-orang
sehat pada umumnya. Mari kita tanya Che guevara, Che adalah seorang pengidap
asma akut, namun lihat bagaimana Che tetap berjuang bahkan melebihi orang yang
sehat sekali pun. Kita coba sapa panglima kebanggaan kita, Jenderal
Soedirman, bahkan dalam keadaan sakit paru-paru yang parah pun ia tetap
dengan gagah berani bergerilya menghadapi musuh-musuh bebuyutan negara ini demi
kebebasan rakyat, demi merdekanya bangsa. Dapatkah terlihat adanya pembeda
disana, orang sakit pun mampu melakukan hal bahkan di atas rata-rata orang yang
‘katanya’ sehat. Saat orang-orang itu mampu melakukan hal lebih, mengapa justru
peran mereka yang dihancurkan? Kesempatan yang seharusnya diberikan kepada
mereka seluas-luasnya justru dirampas oleh sebuah vonis ‘tidak layak’.
Justru dengan adanya justifikasi semacam itu, mereka semakin merasa dijauhkan dari peran sosial yang seharusnya mereka jalankan. Haruskah mereka teralienasi dari kehidupan yang sewajarnya didapatkan?
Komentar
Posting Komentar